Kupang – Konsorsium Timor Adil dan Setara NTT mengklaim program Indonesia Women in Leadership (I-WIL) selama 5 tahun di 12 desa di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara telah membuahkan capaian signifikan. Konsorsium berharap dengan selesainya program ini, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur dapat mereplikasikan program ini ke desa lainnya.
Program I-WIL bertujuan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dengan pendekatan mendukung kepemimpinan perempuan, dan penguatan kapasitas kelompok perempuan melalui pemberdayaan ekonomi.
Ketiganya itu disebut sebagai 3 pilar program I-WIL yang dijalankan 7 lembaga non pemerintah yang membentuk konsorsium. Ketujuh lembaga itu adalah LBH Apik NTT, Bengkel APPeK NTT, KPI Sekwil NTT,Lopo Belajar Gender, CIS Timor, YSSP SoE, dan YABIKU NTT.
Baca juga: Ini Tantangan Mewujudkan Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Kupang
Perwakilan Konsorsium, Ansy Damaris Rihi Dara mengatakan, sekalipun kerja Konsorsium telah berakhir pendampingan terhadap 12 desa tetap dijalankan oleh 7 lembaga tersebut.
“Semua praktek baik akan jalan terus bahkan mungkin bisa direplikasi di desa-desa lain. Tentu kita butuh kolaborasi bersama,” kata Ansi kepada wartawan saat penutupan program bertajuk Menenun Kekuatan Perempuan Desa, Exit Strategy Workshop & Closing Project di hotel Kristal, Kupang Senin, 12 Juni 2023.
Ansi lebih lanjut menjelaskan, dalam menjalankan 3 pilar bersama masyarakat dan perangkat pemerintah desa bukan tanpa tantangan. Menurut Ansi, tantangan terberat adalah dalam menjalankan pilar pertama tentang mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kultur patriarki yang masih kuat dipegang masyarakat membuat kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi.
“Pilar satu akan ditindaklanjuti supaya penanganan kasus di 12 desa terus dilaksanakan sesuai alur yang sudah dibuat. Sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dibuat satgas dan paralegal yang mendapat support sepenuhnya dari desa dan dinas terkait, terutama dari masyarakat,” kata Ansi.
Tantangan kedua, ujarnya, adalah political will pemimpin di desa agar tetap merawat apa yang sudah diraih.
“Kami menunggu, kami percaya bahwa semua praktek baik dapat dikembangkan kemudian hari asalkan kita terus bergandeng tangan,” ujar Direktur Eksekutif LBH Apik NTT ini.
Meski menghadapi tantangan berat, pelaksanaan program untuk pilar pertama ini telah menghasilkan sejumlah kemajuan. Ansi dalam pemaparan program I-WIL di 12 desa di Kabupaten Kupang, TTS, dan TTU menjelaskan, capaian dari pilar pertama di antaranya perempuan semakin berani melaporkan kasusnya. Laporan ini didukung keluarganya.
Selain itu, Ansi menjelaskan laki-laki sudah semakin terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan yang dihadapi perempuan dan anak.
Baca juga: NTT Butuh Hotline Tanggapi Maraknya Kekerasan Anak
Begitu pula dengan perempuan, laki-laki, anak perempuan dan laki-laki serta penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan berbasis gender kini dapat mengakses keadilan. Akses dapat dilakukan baik secara online maupun tatap muka.
Selain itu, 12 desa binaan program I-WIL sudah memiliki kebijakan sebagai bentuk pengakuan terhadap kerja-kerja paralegal dalam pendampingan dan penanganana kasus kekerasan berbasis gender melalui surat keputusan paralegal desa, posko pengaduan, SOP penanganan dan Alur Rujukan kasus kekerasan berbasis gender, sistem penanganan dan Form pelaporan kasus kekerasan berbasis gender terkoneksi dengan Aplikasi SIMFONI.
Kepala desa Maubesi, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU Vinsensius, 53 tahun menjelaskan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami perempuan dan anak tinggi di desanya. Dengan mengikuti program I-WIL, dia dan didukung masyarakat menerapkan hukuman sosial kepada pelaku KDRT. Hukuman ini, ujarnya, sebagai bentuk kearifan lokal yang diterima masyarakat Desa Maubesi.
“Pelaku diwajibkan membayar beras dan ternak untuk kemudian dimakan bersama masyarakat sekitar lingkungan rumah. Masyarakat jadi tahu bahwa dia pelaku,” kata Vinsensius kepada KatongNTT.com.
Namun, ujarnya, sanksi adat ini hanya diberlakukan kepada pelaku dengan kasus KDRT yang dikategorikan berat. Untuk kasus kekerasan yang dinilai ringan, Vinsensius melakukan mediasi.
“Tapi kekerasan seksual tidak mediasi, tapi lapor polisi,” ujarnya.
Baca juga: Kota Kupang Peduli HAM, Jauh Panggang dari Api
TTU Sediakan 144 Paralegal di Desa
Capaian lain dari Program I-WIL ini, kata Ansi adalah beberapa pemerintah desa sudah mengalokasikan anggaran bagi paralegal menangani kasus kekerasan berbasis gender di antaranya Kabupaten TTU.
Kepala Bidang Perlindungan perempuan dan anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten TTU, Paula Kono mengatakan, TTU telah memfasilitasi 144 paralegal di 144 desa. Dinas tersebut menganggarkan dari APBD TTU untuk mendukung kerja para paralegal. Penganggaran ini sudah berlangsung selama 3 tahun.
“Kabupaten TTU memiliki 197 desa dan tahun depan bisa tuntas untuk paralegal (setiap desa memiliki paralegal),” ujar Paula di acara penutupan I-WIL.
Menurut Paula, dengan bekerjanya paralegal membuat semakin banyak kasus dilaporkan. Ibarat seperti foneman puncak gunung es. Ini terjadi karena sebelumnya korban kekerasan berbasis gender bingung ke siapa melaporkannya. Korban biasanya diancam pelaku. Sikap apatis masyarakat yang menganggap percuma melapor dan sebagai aib, membuat korban tidak berani melaporkannya.
“Masyarakat sudah mulai sadar tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kasus kekerasan seksual bukan aib, tapi bencana kemanusiaan,” kata Paula di acara penutupan program I-WIL. (Rita/Ruth)