Oleh Pater Philipus Tule SVD, Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Setiap manusia beragama senantiasa mendoakan, mengharapkan, atau mendambakan kesehatan dan keselamatan diri, umat ataupun bangsanya. Mereka mendambakan kehidupan masyarakat atau bangsa yang adil dan sejahtera atau baldatun thayyibatun. Namun kenyataannya tetap saja kita dihadapkan dengan aneka bencana, wabah dan musibah sebagaimana diamanatkan dalam Quran al-Karim:
Dan sungguh kami akan mencoba kamu dengan suatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan dan sampaikanlah berita gembira kepada orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: sesungguhnya kami milik Allah dan kepada- Nyalah kami kembali” (Al-Baqarah : 155 – 156 ).
Panitia Doa Kebangsaan yang diprakarsai oleh Kementerian Agama ini berikhtiar menumbuhkan semangat kita semua, segenap umat dan warga bangsa untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, meningkatkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air menghadapi aneka tantangan: wabah musibah.
Ada berbagai upaya untuk memperkokoh persatuan Bangsa dan Negara itu. Antara lain melalui Ceramah Kebangsaan untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan kebangsaan dan keagamaan. Yang lain dengan Doa Kebangsaan sebagaimana sedang kita lakukan sekarang ini: bersyukur dan berharap.
Makna Doa : Syukur dan Harapan
Kita mengetahui bahwa kemerdekaan ini diraih berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan juga dengan pengorbanan harta, nyawa dan darah para pahlawan. Maka sebagai insan beriman, patut kita panjatkan doa syukur atas rahmat Allah Yang Mahakuasa itu karena kita telah menikmati kemerdekaan selama 76 tahun.
Makna kata DOA, kt bhs Arab Da’a yg berarti memanggil, du’a /doa yang berarti panggilan. Kita memanggil Allah untuk berkomunikasi atau berbicara denganNya, berterima kasih atas segala keajaibanNya. Tapi juga dalam DOA itu kita memohon perlindunganNya di masa depan. Sebagai generasi penerus kita hendaknya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu dengan kerja keras demi pembangunan menuju Negara yang sejahtera, adil dan makmur (baldatun thayibatun) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Maka teruslah umat Muslim berdoa: “Rabbana, atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar” (Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka. Q. al-Baqarah: 201).
Maka teruslah umat Kristen berdoa: ‘atina hubzana kafafa yawmina, waghfir lana khatayana, kama nahnu naghfiru liman khata’ ilayna…wa tudhilna fi tajarib, wa najina minas sirir// Berilah kami roti setiap hari, ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami; jangan masukkan kami dalam percobaan, tapi bebaskanlah kami dari yang jahat”.
Dalam ceramah kebangsaan dan pendarasan doa bagi kesehatan dan keselamatan bangsa dari wabah musibah, kita berusaha memotivasi diri, segenap rakyat dan umat beragama di Indonesia agar senantiasa memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Di tengah badai dan tantangan beraneka ini, kita harus terus membangun rasa persatuan sebagai putera dan puteri Allah yang Maha Esa. Ini agar Indonesia terus harmonis, tak mudah dikoyak-koyak, meski dibenturkan satu sama lain oleh berbagai hoaks pemecah belah.
Kondisi masyarakat bangsa yang heterogen, pluralis dengan suku, agama, ras dan golongan serta budaya yang berbeda ini seharusnya menjadi potensi dan modal sosial dan spiritual, dan bukan sebagai kendala belaka. Mengapa?
Pertama, karena Allah SWT telah menciptakan kita berbeda-beda supaya kita berlomba-lomba berbuat kebajikan. Quran menegaskan:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Q.5, 48). [Lau sha’a Allah laja’alakum ummatan wahidatan wa lakin liyablukum fi ma atakum fastabiqu al-khayrat. Ila Allahi marji’ukum jami’an. Fayunabi’ukum bima kuntum fihi takhtalifuna].
Kedua, karena Allah SWT telah menciptakan kita laki-laki dan perempuan, menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kita saling mengenal. Allah bersabda: [Ya ayyuha al-Nas. Innana khalaqnakum dakarin wa untha wa ja’alnakum shu’uban wa qaba’ila li-taarafu] (Q. 49, 13).
Maka dalam perspektif agama dan politik, kita semua yang bhineka ini, tetaplah SATU INDONESIA. Keturunan berbeda tetaplah keturunan, kebangsaan berbeda tetaplah kebangsaan di mana kita dilahirkan. Keturunan Cina, keturunan India dan Arab tidak apa-apa. Tapi tak bisa dipaksakan bahwa kita adalah bangsa Arab, India dan Cina, karena kita lahir di Indonesia.
Kita harus tahu diri bahwa kita adalah warga bangsa Indonesia yang dicita-citakan menjadi Negeri Idaman yang adil dan sejahtera sebagaimana ditegaskan Quran: …. kuluu mir rizqi rabbikum wasykuruu lahuu baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (QS As Saba’: 15).
Karena itu kita senantiasa membutuhkan Allah yang mempersatukan; kita butuh sesame yang saling mengampuni dan bersaudara (Fratelli Tutti atau al-Ikhwan Al-insaniyah).
Bangsa Yang Senantiasa Dihadang Bahaya.
Mari kita sejenak refleksikan perjalanan bangsa kita, yang memasuki HUT ke-77 pada 17 Agust 2022. Tak dapat disangkali bahwa perjalanan sejarah kita senantiasa ditandai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) baik secara internal maupun eksternal. Kita senantiasa dihadang bahaya: wabah musibah.
Benarlah apa yang diawaskan Presiden Soekarno dalam pidatonya tgl 17 Agustus 1964 (HUT RI ke-19) tentang Anno Vivere Pericoloso (TAVIP = Tahun Vivere Pericoloso) dalam berbagai aspek kehidupan: social, ekonomi, politik, keagamaan.
Pokok pikiran Bung Karno itu lalu menginspirasi penulis Australia (Christopher Koch) menulis novel (1978) “The Year of Living Dangerously”, yang lalu difilmkan (1982) dengan judul yang sama tentang aneka peristiwa di Jakarta sebelum dan sesudah G30S PKI 1965. Film ini diperankan oleh para actor seperti Mel Gibson, Sigoarney Weaver, Linda Hunt.
Pesan moral pidato Soekarno itu tetap relevan bagi semua generasi bangsa Indonesia, khususnya kita sekarang memasuki tahun 2022. Allah sedang mencoba atau menguji iman dan nasionalisme kita dengan aneka bencana: pandemi Covid-19, bencana badai tropis Seroja dan banjir bandang di berbagai tempat; tantangan akan kelanggengan NKRI dan Pancasila oleh ideologi kedaluarsa, radikal dan intoleran, dan lainnya.
Adalah tugas panggilan atau mission kita Kementerian Agama, para tokoh agama, abdi negara dan masyarakat mendoakan bangsa dan rakyat/umat kita, memoderasikan kehidupan dan pemahaman keagamaan kita. Apa artinya? Kita harus mempraktekkan kehidupan beragama yang moderat, rukun dan bersaudara.
Bagaimana caranya? Tak lain dengan menghayati keagamaan yang tak bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Kita dan agama-agama kita harus menjadi Terang dan Rahmat bagi alam semesta; menjadi saudara bagi semua (Luce del Mondo, Gratia del Universo atau Rahmatan lil-alamin atau Fratelli Tutti).
Paus Fransiskus telah mempublikasi Ensiklik Fratelli Tutti pada 4 Okt 2020 di Assisi, tempat lahir dan hidup St. Fransiskus dari Assisi. Ensiklik ini diterbitkan untuk mendorong persaudaraan dan persahabatan sosial sejati, ketika Pandemi Covid-19 muncul sebagai kedaruratan kesehatan global.
“Bahwa tak seorang pun bisa menghadapi hidup ini sendirian”; bahwa waktunya telah tiba untuk mewujudkan mimpi kita semua sebagai satu keluarga umat manusia, di mana kita adalah “saudara – saudari bagi semua” (Fratelli tutti atau al-ikhwan al-insaniyah).
Melalui Ensiklik ini Paus Fransiskus mengajak kita untuk merefleksikan tentang awan-awan gelap yang meliputi dunia (termasuk tanah air kita Indonesia). Di samping wabah musibah, telah banyak terjadi penyimpangan di zaman ini: manipulasi dan deformasi konsep-konsep demokrasi, kebebasan dan keadilan; memudar.
Hilangnya makna komunitas sosial, muncul egoisme dan ketakpedulian terhadap bonum commune. Meningkatnya logika pasar yang hanya memburu keuntungan, sehingga terjadilah pengangguran, rasisme, kemiskinan; ketidakadilan, perdagangan manusia, dan sebagainya.Paus menekankan bahwa masalah-masalah global ini membutuhkan tindakan-tindakan global pula dalam semangat persaudaraan (bdk. bab II).
Karena itu, Paus mengajak kita semua agar keluar dari egoisme dan membuka diri serta menemukan “yang lain”. Hidup keagamaan dan kerohanian kita tak saja diukur dengan kesalehan individual atau dengan radikalisme dan intoleransi. Tapi dengan cinta kasih, yang menuntun kita untuk mencari apa yang lebih baik bagi sesama.
Kehidupan kita harus dikemas menjadi “seni perjumpaan” dengan semua orang, agar kita bisa belajar satu sama lain, karena tak seorangpun yang tak berguna dan harus disingkirkan.
Agama dan Budaya: Wahana Cinta dan Persaudaraan
Dalam ensiklik ini pun ditekankan bahwa agama-agama kita harus melayani persaudaraan global: bahwa radikalisme, intoleransi dan terorisme tidak diajarkan oleh agama manapun. Tapi oleh penafsiran salah terhadap teks-teks agama, yang akhirnya menelorkan berbagai “bencana, kekerasan, penindasan dan ketidakadilan.
Paus Fransiskus juga mengutip “Dokumen tentang Persaudaraan Manusiawi bagi Kedamaian Dunia dan Hidup Bersama”, yang ditanda-tangani 4 Februari 2019 di Abu Dhabi. Paus menyerukan bahwa atas nama persaudaraan manusiawi (al-ikhwan al-insaniyah), dialog harus menjadi jalan, kerjasama menjadi kewajiban, saling pengertian menjadi cara atau metode kehidupan kita.
Lebih awal dari ensiklik Fratelli Tutti, Kristus sendiri telah menegaskan bahwa kamu semua adalah SAHABAT/SAUDARA. “Aku tak menyebut kamu hamba, tapi sahabat/saudara…..(Yoh. 15, 15)”.
Agama Islam dengan Quran al-Karim pun sesungguhnya mengajarkan hal yang satu dan sama yaitu kasih (din al-Mahabah) dan persaudaraan (al-ikhwan al-insaniyah). Agama kita yang satu dan sama adalah Agama Allah (Din Allah) meski diberi nama berbeda seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha.
Surat al-Maidah, ay.48 menegaskan bahwa “Jikalau Allah menghendaki, Dia telah menciptakan satu umat saja di dunia. Tapi dia telah menciptakan umat berbeda-beda supaya mereka berlomba-lomba berbuat kebajikan”. Berbeda-beda nama agama tetapi satu tujuannya. Ila Allah marji’ukum jami’an (bdk. Q. 5,48).
Di samping agama, kebudayaan pun mengajarkan hal-hal mulia. Banyak masyarakat dan suku di Indonesia seperti Bali, Kalimantan, Papua dan NTT (Timor, Sumba dan Flores) sudah lama menghayati kehidupan yang rukun dan toleran antara umat Katolik dan Islam. Ini karena mereka memiliki leluhur, tanah ulayat dan rumah adat yang satu dan sama (bdk. Ambillah contoh masyarakat Kampung Ledesu’a / Lio di Kabupaten Ende, dan memiliki makam keluarganya yang sama untuk anggota keluarga Muslim dan Kristen.
Bahkan mereka mengembangkan konsep teologis populer tentang kehidupan setelah kematian. Ketika kutanya tentang konsepnya tentang kehidupan di surga: apakah ada kawasan surga yang terpisah bagi Muslim dan Kristen?
Dijawabnya: “kami membayangkan kehidupan surgawi itu bagaikan kehidupan kami disini; kami tetap bersaudara, bertetangga sebagai sanak kerabat muslim dan kristen.
Pesantren Tarbiyah Walisanga Ende sudah lama bekerja sama dengan Kongregasi SVD dan STFK Ledalero melalui frater yang menjalani TOP disana. Ada beberapa keluarga Muslim di NTT (dan bahkan Indonesia) yang memiliki puteranya dan sanak kerabatnya sebagai Pastor Katolik atau Suster dan penganut agama lain. Ada budaya membangun masjid dan gereja secara bersama, dan lainnya.
Bangsa kita adalah Rahmat Allah dan ciptaanNya dengan kebhinekaan suku, agama, ras dan budaya. Kebhinekaan itu tak menjadi sumber pertentangan atau persaingan tak sehat, tapi sebagai modal sosial mewujudkan amanat mulia : berlomba berbuat kebajikan (musabaqah al-khayrat), menciptakan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Dalam perspektif teologi politik, agama-agama kita adalah jalan lurus (sirat, straat, street, sirat al-mustaqim) menuju kebaikan/kebenaran sejati; jalan kebenaran dan hidup; agama adalah terang (light, cahaya, al-huda) yang menerangi dunia.
Agama adalah rahmat Allah; maka jadilah rahmat lil-alamin (tanda rahmat Allah bagi alam semesta). Marilah kita berlomba-lomba berbuat kebajikan demi membangun Indonesia sebagai baldatun thayyibatun yang adil dan sejahtera, yang beriman dan berbudaya. (Ceramah Kebangsaan Pater Philipus Tule SVD pada Doa Kebangsaan dengan tema “Melangitkan doa untuk Kesehatan dan Keselamatan Bangsa dari Wabah Musibah”, yang diprakarsai oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT pada 27 Januari 2022)