Kupang – Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan memberikan dampak psikis seperti bom waktu terutama bagi anak-anak yang mengalami atau menyaksikan kasus itu.
KDRT akan berdampak pada anak-anak dalam tumbuh kembangnya sehingga dapat mengalami kesulitan belajar, ketrampilan sosial yang terbatas, depresi dan membangkang.
Mirisnya, anak bisa tumbuh menjadi pelaku atau bahkan pasrah sebagai korban saat dewasa karena memiliki pengalaman atau trauma seperti itu. Hal ini perlu dicegah.
Baca juga : Pasal Karet di UU KDRT Tak Kunjung Direvisi
“Bagi anak yang korban atau bahkan yang menjadi saksi mata di rumah akan mengalami itu,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan, Eni Widiyanti.
Ia menyampaikan itu Selasa 12 September 2023 dalam dialog soal peningkatan upaya pencegahan dan penanganan KDRT yang diselenggarakan Kementerian P3A.
Kekerasan seperti ini dapat berulang kembali atau menjadi kekerasan intergenerasi yang membuat anak bisa menjadi pelaku atau korban lagi.
Baca juga : Anak Kota Kupang Rentan Jadi Korban Kekerasan Online
“Pengalaman tersebut dapat menjadi warisan itu bisa membuat anak menjadi pelaku atau korban lagi ke depannya,” ungkap dia.
Laporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) selama 2022 diketahui tempat terjadinya kekerasan adalah dalam rumah yaitu 73,1 persen. Pelakunya adalah suami dengan presentasi 56, 3 persen.
Pemicunya adalah faktor ekonomi dan ada penyebabnya lainnya seperti cemburu, mabuk, atau tekanan kerja.
Baca juga : UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
Sementara korbannya yang adalah perempuan cenderung melakukan pelarian pada obat tidur, minuman keras bahkan bunuh diri.
“Perempuan yang menjadi korban rentan bunuh diri,” sebutnya.
Kekerasan dalam rumah tangga pun disebutnya masih sangat tinggi berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan di tahun 2021.
Hasil survei itu menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15 sampai 64 tahun pernah mengalami kekerasan selama hidupnya.
Baca juga : LBH APIK NTT Usul Rumah Ibadah dan Sekolah Ramah Anak
1 dari 9 perempuan pun pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangan atau terjadi dalam rumah tangga.
“Bentuk kekerasan yang dilakukan suami adalah pembatasan perilaku 30,94 persen,” ujarnya.
Kondisi ini selaras dengan persepsi dan sikap perempuan yang menyatakan setuju terhadap pernyataan istri harus patuh kepada suami. Budaya patriarki mempengaruhi pandangan itu.
Baca juga : Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Sekolah Naik 3 Tahun Terakhir
Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain atau bukan pasangan 20 persen dengan jenis kekerasan online atau melalui media sosial.
Undang-undang 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT pun sudah berusia 19 tahun dan menuju 2 dekade. Ia berharap UU KDRT dapat lebih efektif mencegah terjadinya kasus ini. ****