26 March 2023
Tenaga Kerja NTT Terbuka untuk Australia, Kenapa Melulu ke Malaysia?
Opini

Tenaga Kerja NTT Terbuka untuk Australia, Kenapa Melulu ke Malaysia?

Feb 16, 2023

Oleh: Ermalindus Albinus Sonbay, Siswa Rumah Belajar Bokesan NTT-Yogyakarta bekerja di Melbourne

Pasca pandemi Covid-19 Australia secara ekonomi tidak terlalu terganggu dengan luluh-lantaknya perekonomian global . Australia justru merayap di sektor vital terkait tersedianya tenaga kerja dengan kemampuan dasar yang mumpuni.

Secara umum, negara benua yang luas dengan total populasi tidak lebih dari 30 juta penduduk ini masih membutuhkan sekitar 300 ribu hingga 400 ribu tenaga kerja. Jumlah ini  untuk perencanaan nasionalnya hingga 2025 (ABC 5 Oktober 2022).

Australia harus ekstra keras membuka kran-kran imigrasi yang sempat diblokir akibat relasi ekonominya dengan Cina ketika dipimpin PM Scott Morrison. Australia pasca PM Anthony Albanese lebih lunak dan cepat dalam mengisi begitu banyak lowongan tenaga kerja yang kosong. Sekitar 22 kelas izin ketenagakerjaan (lebih banyak di sektor informal) yang dibuka dengan memperhatikan benar analisis-analisis kebutuhan Australia.

Teranyar, setelah visa petani dan pekerja konstruksi (ada 31 entitas pekerjaan), Australia kini ‘melelang’ posisi guru dan tenaga kesehatan. Jaminannya tidak main-main. Izin tinggal dan izin bekerja bisa segera keluar setelah tiga hari pemberkasan selesai. Atau tawaran menggiurkan beberapa perusahaan besarnya di bidang energi, teknologi dan industri pertanian.

Perusahaan-perusahaan ini menjanjikan kelas-kelas magang dan kursus berlisensi internasional bagi para pencari kerja. Bahkan bagi yang tidak memiliki kemampuan detil di bidang-bidang terkait (unskilled labour).

Baca juga: PMI NTT Nonprosedural Terbanyak Meninggal di Malaysia

Dari sisi birokrasi, Australia yang sangat ketat dengan banyak detil dan profesionalisme sudah bersedia memberikan waktu belajar ekstra kepada pencari kerja di seantero dunia.

Beberapa alasan mendasar tentunya harus dikemukakan di sini, terkait Australia yang nekat memberikan banyak sekali “promo” bermanfaat. Misalnya, Australia memiliki rasio populasi dan luas wilayah yang masih proporsional. Ada upaya mengantisipasi semaksimal mungkin efek perubahan iklim global, ekonomi yang lebih ramah.

Kemudian rasio pendapatan per kapita yang cukup bagus di dunia. Potensi dan investasi yang cukup tinggi di berbagai sektor dan arah pembangunan yang ramah lingkungan. Hingga ke posisi egaliter yang mungkin saja kebablasan di banyak lini. Termasuk membangun relasi inter-zona di Asia dan Pasifik. Relasi ini memang telah menjadi fokus Australia sejak negara ini mulai didirikan oleh banyak koloni Eropa. Kami tidak akan membahas semua yang berat-berat itu secara lebih jauh.

Sebagai salah satu tetangga paling dekat dengan Australia, NTT  bisa memaksimalkan potensi dan peluang kerja sama yang ada. Dan pastinya sudah dibuka Australia. Ini penting karena beberapa alasan fundamental sehingga tidak melulu Malaysia, khususnya di bidang ketenagakerjaan.

 

Seorang WNI asal NTT, Robert Raya di kebun ceri milik petani Australia. (Dok. KatongNTT)
Robert Raya, asal NTT bekerja di kebun ceri milik petani di  Australia. (Dok. KatongNTT)
  1. Standar Upah

Australia masuk dalam salah satu negara dengan standar upah tinggi. Gaji per jam untuk kalangan pekerja informal/kasual cukup tinggi. Seorang asisten rumah tangga atau pengantar koran, tukang kebun, atau tukang bersih (cleaning service) rata-rata diupah AUD20-AUD25 setiap jamnya.  Upah ini sudah termasuk pajak dan biaya administrasi yang terkadang dibebankan kepada majikan sesuai regulasi yang ada.

Dalam seminggu bisa maksimal dengan 40 jam kerja (untuk kebanyakan pemegang visa Australia dengan hak dan kesempatan bekerja), maka seorang pekerja bisa memperoleh Rp 8 juta hingga Rp 10 juta. Dan, tentunya dalam sebulan dengan jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan kemampuan khusus, seorang pekerja bisa memperoleh upah sekitar Rp 40 juta hingga Rp 50 juta.

Hal ini memang sangat ditunjang oleh perbedaan mata uang Rupiah dan Dollar Australia yang cukup tinggi dan stabil. Sekalipun rasio kurensi ini juga memiliki efek yang sama pada standar harga dan standar pengeluaran di Australia. Khususnya nilai sewa hunian yang terus meningkat dari waktu ke waktu, jaminan untuk pengurusan asuransi kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi, dengan sistem yang akuntabel dan profesional, semua pekerja bisa memiliki kesempatan sama menyisihkan sedikit dari sekian banyak penghasilannya.

Ada juga beberapa kelas pekerjaan yang diganjar dengan penghasilan yang cukup tinggi. Terbanyak adalah pekerjaan dengan resiko tinggi dan fatal. Jenis-jenis pekerjaan tersebut acap disebut “Man-Power Work” atau pekerjaan yang benar-benar membutuhkan tenaga manusia. Tidaklah mengherankan jika pekerja konstruksi (buruh atau tukang), teknisi energi, masinis kereta, bahkan satuan pengaman pribadi memiliki gaji yang lebih tinggi dari pimpinan wilayah, anggota legislatif maupun dosen/tenaga pendidikan di perguruan tinggi.

Baca juga: Tahun 2023 Sebulan Berjalan, Sudah 8 Jenazah PMI Dipulangkan ke NTT

Skala-skala pengukuran inilah yang belum maksimal digunakan di Indonesia. Katanya belum masuk dalam penghitungan detil kapitalisme di bidang ketenagakerjaan.

Konklusi untuk poin ini adalah, siapa yang bilang Australia menutup diri terhadap riwayat tak berpengalaman/berpendidikan (unskilled labour) milik begitu banyak orang NTT? Mengapa Australia yang bisa menjamin perbaikan ekonomi yang lebih luar biasa untuk NTT, selalu kalah seksi dengan kebun-kebun sawit di Malaysia yang selalu menjadi musuh aktivis perdagangan manusia?

Belum ada riwayat ‘perdagangan manusia’ yang tebal dalam bentuk peti mati PMI asal NTT yang ‘dipulangkan’ dari Australia. Tidak sebanyak dari Malaysia. Tanpa mengurangi rasa empati kami terhadap para korban keganasan kelompok mucikari PMI, pernyataan ini kami kedepankan hanya untuk membuka mata para pengambil kebijakan mulai dari Jakarta hingga pelosok-pelosok NTT tentang peluang ini.

  1. Jaminan dan Santunan

Sekalipun lebih banyak masih memainkan skenario pasar tenaga kerja yang kapitalistik warisan induk semang Eropa-nya, Australia dalam 40-an tahun terakhir sudah menerapkan sistem rekruitmen, jaminan, pajak, hingga santunan yang manusiawi. Hal ini turut membantu negara besar bentukan imigran ini untuk juga membersihkan persoalan-persoalan keimigrasiannya.

Hampir tidak bisa seorang turis biasa bekerja dan diberi upah layak di Australia. Apalagi imigran ilegal yang tidak memiliki dokumentasi kewarganegaraan yang jelas. Dan ini persisnya bisa sangat meringankan kerja-kerja kawan-kawan yang mengadvokasi kerja-kerja kemanusiaan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.

Akan ada hukuman berat untuk semua yang nekat masuk, nekat mempekerjakan apalagi nekat mengambil keuntungan dengan menjadi calo tenaga kerja di Australia. Hal ini yang membuat Australia menjadi jauh lebih manusiawi dan lebih profesional dibandingkan dengan para toke  pemilik kebun kelapa sawit di Malaysia. Mereka lebih banyak nekat menerima dan mempekerjakan para pencari kerja asal NTT yang nir-dokumen.

Standar bonus, jaminan, promosi, hingga santunan juga tidak bisa masuk dalam tata kelola tertutup dan “cincai” a la nasib PMI yang dirundung duka selama ini. Ada peluang mengekspresikan diri dalam bentuk pekerjaan lain yang tidak bisa dibatasi dengan dalih apapun. Dan menjadi tidak mengherankan kita menemukan banyak mantan ASN dan pegawai kantoran di Indonesia memilih untuk menjadi pekerja di Australia. Mereka menggunakan visa penghuni tetap (permanent resident/PR). Dan menjadi tidak adil, jika negara dengan kebijakan ketenagakerjaan yang diskriminatif, khususnya Pemerintah Provinsi NTT masih tidak mau memberikan pencerahan paripurna soal ini.

Baca juga: Lapor Penuding ke Polisi, Romo Paschal: Saya Duga Terkait Mafia Pengirim PMI

Tetap ada dilema soal masa depan, nasionalisme, obsesi pada sejarah masa lampau, dan lain sebagainya. Yang menjadi poin utama kami adalah, negara harus bisa juga hadir dengan gambaran mengenai peluang-peluang ini. Ini penting ketimbang hanya ‘melarang di atas’ tetapi ‘membiarkan di bawah’ orang untuk pergi merantau dan memperbaiki nasibnya ke Malaysia.

Hal ini menjadi penting, karena dalam lima tahun terakhir misalnya, Viktor Laiskodat gencar di awal tentang impiannya mengubah NTT. Caranya mengirim 10 ribu orang belajar di luar negeri. Namun dia tidak pernah punya inisiatif untuk ‘bernegosiasi’ dengan kementerian ketenagakerjaan dan PM Australia. Padahal, melakukan kerjasama di bidang ketenagakerjaan juga adalah salah satu syarat perbaikan SDM.

Semua yang dari NTT dan bekerja di Australia, misalnya mereka tidak hanya bekerja, tetapi juga terus-menerus belajar. Dan pada saatnya nanti bisa ‘kembali’ dan berbhakti di, dari atau untuk NTT.

Pemerintah NTT dengan demikian bisa menjadi sandungan awal yang menghambat jaminan manusia-manusia NTT semakin berkembang kualitasnya. Padahal, NTT yang langsung berbatasan dengan Australia selama puluhan tahun tetap menjadi olok-olokan para toke di Malaysia. Negara ini jarak geografisnya sangat jauh dari NTT.

  1. Problem Geoekonomi

Ada beberapa kluster imigran non-Eropa di Australia. Yang paling banyak populasinya adalah India (karena sebagai sesama anggota negara persemakmuran). Australia dan India juga sudah ada dalam relasi puluhan tahun yang berakar dan saling mengisi. Begitu banyak AII (Australia India Institute) hadir di kota-kota besar Australia.

Di urutan kedua ada Cina dengan varian konvik-konvik bawaannya seperti Taiwan, Hongkong. Kemudian ada rumpun Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand). Lalu, rumpun Asia Tengah dan Asia Barat, Amerika Latin dan juga rumpun negara-negara Pasifik.

Baca juga: Kasus Adelina Sau Adalah Masalah Kebangsaan dan Martabat Orang NTT

Semua yang memilih bermigrasi ke Australia  beralasan kemanusiaan. Meski banyak juga yang dilatarbelakangi dengan alasan antara lain perbaikan jaminan kehidupan, pekerjaan, upah.

Nah, menjadi menarik di sisi ini karena NTT tidak pernah menganggap Australia adalah bagian yang  strategis dalam memicu dan membangkitkan kontribusinya dalam pertumbuhan geo-ekonomi di kawasan. Dan persis di sini, negosiasi berkelanjutan NTT dengan Australia harus bisa ditingkatkan levelnya. Bukan lagi sekadar pertukaran ‘tim ahli’ dan mahasiswa studi lanjutan. Australia juga harus bisa menjadi sasaran atau tujuan pangsa pasar tenaga kerja asal NTT.

Kami mengalami betul, bagaimana seorang pengemudi sepeda motor berbayar (ojek motor) di NTT sangat kesulitan mengumpulkan uang Rp.20 ribu  setiap harinya. Sementara seorang ojek makanan (food deliveries) bisa mengumpulkan Rp.2 juta hingga Rp.3 juta setiap harinya di Kota Melbourne.

Atau  seorang teknisi pemanjaat tower turbin angin yang bisa memperoleh Rp.60 juta hingga Rp.80 juta setiap bulannya dengan sedikit risiko kecelakaan kerja. Coba kita bandingkan dengan para pemanjat pohon tuak di NTT yang jauh dari perhatian dan pandangan apalagi kehadiran negara. *****

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *