Kupang – Orang tua yang menyembunyikan anak-anak berkebutuhan khusus atau difabel dari publik atau dari pendataan masih kerap terjadi. Kondisi ini berlangsung di desa-desa di wilayah Provinsi NTT.
Dampaknya banyak difabel yang akhirnya tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bahkan mereka tidak dimasukkan dalam Kartu Keluarga (KK). Dampak berkepanjangan pun terjadi yaitu keterbatasan hak akses mereka terutama soal kesehatan.
Ristha Tnunay dari Swara Parangpuan mengungkapkan ini beberapa waktu lalu di Kota Kupang. Ia menemukan hal tersebut saat melakukan pendataan di bawah Program SIAP SIAGA yang didanai oleh Pemerintah Australia.
“Banyak juga kelompok disabilitas yang disembunyikan oleh orang tua dan itu terjadi. Ada yang benar-benar disembunyikan atau tidak dibiarkan keluar rumah,” ungkapnya.
Baca juga: Dinna Noach, Staf Khusus Gubernur NTT Melawan Stigma dan Diskriminasi Penyandang Disabilitas
Menurut Ristha, perlu bimbingan terhadap para orang tua yang ada di desa sehingga mau mendatakan anak mereka.
“Ini sebenarnya perlu peningkatan kapasitas ke orang tua juga menjadi penting,” ujarnya.
Masalah pendataan ini memang sangat berpengaruh dalam pembangunan suatu daerah sehingga kaum disabilitas pun perlu memiliki data diri.
Ristha menemukan pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan pun tidak mempunyai data jumlah kaum disabilitas. Begitu pendataan dilakukan langsung di lapangan ternyata sangat banyak ditemukan kaum disabilitas misalnya di Buraen, Kabupaten Kupang.
“Sewaktu di Kelurahan Buraen itu waktu ditanyakan apakah ada disabilitas dijawab tidak ada. Jadi kami minta ke kecamatan dan juga tidak ada,” sebutnya.
Hal serupa ditemukan Elmi Sumarni Ismau selaku aktivis Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (Garamin) NTT.
Banyak orang tua yang memang menolak atau tidak mau anaknya diketahui apalagi untuk didata. Orang tua yang menyembunyikan anak disabilitas masih terjadi terutama di desa-desa.
“Desa yang didampingi Garamin NTT juga mendapati ini juga,” tanggapnya saat dihubungi Rabu 15 Februari 2023.
Padahal pendataan ini sangat penting bagi kesejahteraan maupun akses difabel terhadap hak yang harusnya mereka terima, misalnya kesehatan.
Pandemi Covid-19 belum lama ini menjadi pelajaran penting akan hal itu. Tidak adanya dokumen atau data administrasi kependudukan (adminduk) akan menyulitkan kaum disabilitas mendapat bantuan dari pemerintah atau pihak luar.
“Ada yang KTP tidak ada padahal sudah sangat tua, lansia. Apalagi yang teman-teman difabel mental sama sekali tidak punya data atau KTP. Bahkan orang tuanya tidak masukkan anaknya itu ke Kartu Keluarga,” jelas Elmi.

Baca juga: Perluas Akses Masyarakat, Komnas Disabilitas Sediakan Contact Center DITA 143
Difabel di desa-desa umumnya tidak merasakan hak mereka untuk mengakses pendidikan hingga kesehatan, Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki data adminduk.
“Mereka itu tetap warga Indonesia yang harusnya punya adminduk,” sebutnya.
Elmi menduga perbuatan orang tua ini didorong karena rasa malu, mengganggap anak difabel sebagai aib, maupun belum menerima sepenuhnya kondisi anak mereka.
“Itu kita temukan banyak di lapangan bahkan ada anak difabel dari seorang pendeta atau kepala desa, atau juga aparat pemerintah, anak mereka seperti itu,” jelas dia lagi.
Namun orang tua tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan dalam kasus ini karena isu disabilitas sebelumnya tidak disuarakan segencar sekarang. Saat ini memang banyak LSM maupun keterlibatan pemerintah dalam isu disabilitas.
“Kita di NTT sendiri sudah punya kebijakan dengan adanya perda khusus disabilitas dan Staf Khusus Gubernur NTT untuk disabilitas pun sudah ada. Dengan ini adanya kemudahan advokasi hal-hal difabel,” lanjut dia lagi.
Menurut Elmi, permasalahan seperti ini adalah tanggungjawab semua pihak sehingga perlu digaungkan lebih intens terkait inklusi disabilitas.
Belakangan, Dukcapil Kabupaten Kupang juga sudah turun ke lapangan dan melakukan pendataan disabilitas dari rumah ke rumah. Pendataan dilakukan di desa-desa seperti di Kecamatan Nekamese lalu ke Kecamatan Taebenu dan kecamatan lainnya termasuk Amfoang dan Semau.
“Namun kita belum bisa pastikan karena kita bersama-sama Dukcapil kemarin belum mendata secara umum,” sebutnya.
Elmi menyebut kondisi seperti ini tidak saja dialami di Kabupaten Kupang tetapi di wilayah kabupaten lainnya di NTT. Tidak hanya Garamin NTT, organisasi difabel lain pun seringkali mendapati hal ini.
Data disabilitas di desa-desa sendiri juga tumpang tindih selama ini. Misalnya data milik dinas sosial sendiri kerap tidak diperbaharui sesuai data difabel setiap tahunnya.
Baca juga: Pelayanan Publik di Kota Kupang Abaikan Difabel
“Karena misalnya di Kabupaten Kupang pendamping disabilitas hanya satu dan agak kesulitan untuk harus turun nendata di 164 desa,” ujarnya.
Menurut Elmi, untuk tiap kabupaten perlu memiliki fasilitator sehingga dinas sosial ataupun aparat tingkat desa mengetahui jumlah disabilitas setiap tahun.
Sebenarnya perekaman e-KTP pun sudah dapat dilakukan kaum difabel. Bagi difabel netra misalnya, kata dia, akan mendapatkan afirmasi sehingga bisa memperoleh e-KTP.
Selain adminduk pun sarana prasarana ramah disabilitas juga masih minim di tempat-tempat umum maupun di tempat pelayanan publik. Hal ini perlu mendapatkan perhatian besar.
Ia juga mengapresiasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang turut melakukan pendataan terhadap kaum disabilitas di NTT.
Menurut Elmi, survei yang dilakukan sangat baik dan sangat berbeda dengan form yang biasa didapatkan oleh disabilitas dari dinas sosial.
“6 pertanyaan saja yang diberikan yang memang sangat cukup bagus tapi memang banyak yang belum tahu soal pendataan ini dan minim partisipasi. Kita akan edukasi supaya ke depan bisa banyak lagi yang ikuti,” kata dia.
Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 atau LF SP2020 dari BPS NTT mencatat prevalensi disabilitas umur 5 tahun ke atas yaitu sebesar 1,84 persen. Berdasarkan hasil itu diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara prevalensi disabilitas menurut kota-desa maupun antara jenis kelamin.
Sementara berdasarkan kelompok usia sasaran, prevalensi disabilitas pada usia lansia jauh lebih besar dibandingkan dengan usia sasaran lainnya. (Putra Bali Mula)