Babau – Merasa tak lagi menemukan tantangan di pekerjaan sebelumnya, Nikson Tenistuan memilih hengkang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah ia tekuni selama 10 tahun. Ia kemudian membuka UMKM yang bergerak pada pengolahan kelor NTT.
Kelor diolahnya menjadi teh dan tepung. Ia menamai produknya Meto yang artinya kering dalam Bahasa Timor. Pria 37 tahun ini ingin menunjukkan dari tanah kering di Pulau Timor dapat menghasilkan kelor yang diakui terbaik kedua di dunia.
“Karena orang lain melihat Pulau Timor itu pulau kering, jadi orang lihat gersang ini kira-kira ada kehidupan atau tidak?,” Ucap Nikson saat ditemui di rumahnya di Babau, kabupaten Kupang.
Baca Juga: Kisah Octo Bertahan di Bisnis Camilan NTT Setelah Kehilangan Istri dan “Isabela”
Tanaman ini cocok tumbuh di wilayah tropis, sehingga kelor dapat tumbuh subur di NTT. Di kampungnya di kecamatan Kolbano, kelor tumbuh berlimpah sampai sering ditebang agar lahannya bisa ditanam tanaman lain.
“Ini kelor kan gampang tumbuh. Tidak perlu disiram. Justru kalau kelebihan air dia mati. Jadi kalau mau tanam jagung, mereka tebang pohon kelor. Nah bayangkan pohon yang begitu bermanfaat ditebang tanpa dimanfaatkan,” jelas pria dua anak ini.
Nikson kemudian membentuk kelompok dan memberdayakan kelor yang melimpah agar bernilai jual bagi masyarakat sekitar.
Tanah seluas empat hektar ia gunakan untuk menanam kelor pada 2018. Kesemuanya digunakan untuk membuat teh dan tepung.
Untuk 12 kilogram daun kelor yang sudah dibersihkan dari batangnya, kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering. Daun Kelor dikeringkan selama 24 jam pada suhu 30-60 derajat.
Hasilnya didapat empat kilogram daun kering kelor yang siap diolah. Dilanjutkan pada tahap penghalusan kemudian di saring. Untuk hasil yang halus dijadikan tepung, sedangkan yang lebih kasar dijadikan teh kelor.
Untuk tepung kelor dikemasnya per 100 gram, denngan harga jual Rp40 ribu. Jika dalam hitungan per kilo, Nikson menjualnya dengan harga Rp250 ribu.
Sedangkan teh kelor, tiap kantung teh diisi tiga gram daun. Dalam satu kemasan terdapat 10 kantung teh yang dijual dengan harga Rp20 ribu.
Nikson pun menghadapi tantangan, berupa pasar dari produk kelor masih kecil.
“Kita mau buka lahan banyak, luas, produksi tiap hari, tapi siapa mau beli?,” Ujar Nikson.
Kebanyakan produknya laku untuk orang tua yang mengalami gangguan kesehatan, dan sempat dicari karena disebut bisa mengatasi gejala corona di waktu lalu. Di daratan Timor, produknya hanya ditemui di Galeri Dekranasda NTT.
“Karena saya sudah 10 tahun di LSM jadi saya punya banyak teman hampir di seluruh Indonesia. Jadi saya langsung todong saja, mau beli atau tidak?,” kisahnya sambil tertawa.
Baca Juga: Elsye Lesik Olah Rumput Laut di NTT Jadi Cemilan Sehat
Selain itu, kendala yang ia sebut sebagai tantangan ialah pada para pekerja di kampung halamannya.
Pasar kelor yang tak tentu membuat para pekerja beberapa kali tergoda untuk melakukan pekerjaan lain. Misalnya mengumpulkan buah asam ketika musimnya tiba. Alhasil pekerjaan membuat bubuk kelor terhambat.
Atau pada hal-hal teknis saat bekerja. Kebiasaan warga yang sering mengonsumsi sirih pinang, risih menggunakan sarung tangan dan penutup kepala, membuat mereka enggan bekerja dalam bidang ini.
“Jadi kami untung itu kalau ada proyek pemerintah. Misalnya program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dari Dekranasda kemarin kami dapat sekitar belasan juta perbulan. Kalau tidak pasti ada pembeli, ya orang juga tidak mau kerja.” jelasnya.
Bagi Nikson, kualitas dan kuantitas kelor di tanah Timor sudah memadai, namun perlu adanya penyediaan pasar agar kelor terbaik kedua di dunia ini mampu menembus pasar dunia. *****
Silakan hubungi nomor +6282144799519 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!