Kupang – Berawal dari mencari cara agar tomat tetap ada walau bukan musimnya. Desmani Putra Fa’u pun menemukan jalan . Dia mengolah tomat menjadi saus tomat.
Ide ini dia sampaikan kepada Kepala Desa Besmarak, Kabupaten Kupang untuk membantu merealisasikan ide ini.
“Tapi kepala desa diam saja waktu itu. Karena sebelumnya sudah banyak kelompok tani yang dibentuk. Tapi tidak jalan,” cerita Desman saat disambangi di rumahnya.
Hingga akhirnya, Desman kembali meyakinkan Kepala Desa.
“Waktu itu, kebetulan saya masih jadi sekretaris Tim Pelaksana. Jadi bapa desa bilang, ya kamu kasih masuk sudah programnya di situ, kamu perintah saya lagi,” kenangnya sambil tertawa.
Baca Juga: Tekun Jalankan UMKM Aksesoris NTT, Nita Liwulangi Diundang ke Seoul
Ide ini disepakati dan terlaksana setelah Tim Pelaksanan desa Besmarak bekerja sama dengan Politani Kupang melakukan pelatihan terhadap PKK dalam pengolahan saos tomat dan cabe bubuk.

Setelah mendapat bekal ilmu, Desman kemudian mengajak kelompok tani tomat yang awalnya sudah ada untuk bekerja sama.
Ada pula kelompok tani cabai. Mereka kemudian berjalan beriringan untuk membuat saus tomat dan cabai bubuk. Kala itu, total anggota mencapai 40 orang. Dengan Desman dan istrinya Lois Abrianida Kristin Utami sebagai ketua kelompok.
Di Desember 2021, mereka akhirnya mulai memproduksi saus tomat dan cabe bubuk.
Tomat dan cabai mereka ambil dari para petani di Besmarak. Tomat dan cabai kemudian disortir dan dicuci bersih sebelum diolah.
Tomat setelah dicuci, dikukus selama kurang lebih 10-15 menit. Kemudian ditambah pengawet agar saus tomatnya dapat bertahan hingga enam bulan.
Lois yang juga punya riwayat sakit kanker, membuat Desman mengendalikan makanan yang dikonsumsi istrinya. Hingga produk yang mereka buat tak membahayakan kesehatan.
“Pengawetnya itu disarankan bisa sampai 6%. Supaya tahannya sampai dua tiga tahun. Tapi kami pakai 1% saja per 500 gram,” jelas pria 33 tahun itu.
Selanjutnya, tomat diblender halus, disaring, baru kemudian dimasak dengan aneka bumbu selama kurang lebih dua jam. Setelah dingin, saus tomat dikemas dengan ukuran 150 gram, dan dijual dengan harga Rp15 ribu per kemasan.

Untuk cabai, setelah dicuci, ditabur pengawet 1% baru dikeringkan. Kemudian dihaluskan dan disangrai. Setelah dingin. Cabai dikemas sebanyak 175 gram dan dijual dengan harga Rp 25 ribu.
Produk mereka diberi nama Dael Mesa dari bahasa Helong yang artinya satu hati.
Harga saus tomat dan cabai bubukpun diupayakan terjangkau masyarakat.
“Jadi harga yang ditawarkan itu sesuai dengan masyarakat kita. Jadi saya mau, harga di pasaran tetap murah. Jadi penjual dan pembeli tetap sehati, begitu, ”kata Desman.
UMKM Sebagai Bentuk Pelayanan
Desman dan istrinya merupakan lulusan Pendidikan Agama. Selama delapan tahun, Desman tinggal di Surabaya untuk menempuh pendidikan sampai menikah di sana. Hingga kemudian, ia memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Kupang.
“Jadi banyak tawaran kerja juga dengan bayaran yang lumayan. Tapi saya tolak. Saya pikir, saya di sini bangun orang lain punya tanah, sedangkan di tanah saya sendiri tertinggal. Jadi mending saya kembali untuk bangun desa saya,” jelas Desman.
Baca Juga: Kemenkeu Dorong UMKM, Perbankan di NTT Masih Prioritas Kredit Konsumtif
Ia mengungkapkan, desa jadi titik awal untuk menciptakan negara yang sejahtera. Sehingga sepatutnya pembangunan itu harus dimulai dari desa. Untuk itulah ia memberi diri untuk mengabdi ke tanah kelahirannya dengan memberdayakan SDA dan SDMnya.
Berdirinya UMKM ini pun tak mudah. Banyak pandangan meremehkan yang mereka dapat. Bahkan hingga kini. Dari total 40 anggota di awal, kini hanya tersisa 11 yang bertahan.
“Karena di sini kan belum pasti (pendapatannya). Sedangkan ada yang mereka harus hidup. Ada yang memang tidak percaya juga ini punya peluang jadi memilih keluar,” kata Lois.
Di awal produksi ketika akan dikunjungi pihak bank NTT untuk bisa didampingi, Desman dan Lois harus mengambil uang jatah beras mereka untuk menyediakan bahan-bahan produksi.
“Waktu itu tidak ada yang mau kasih keluar uang. Nah besok dari Bank NTT sudah mau datang. Kebetulan ada 400 ribu untuk mau beli beras karena beras habis,” ujarnya.

“Jadi saya bilang sudah, pakai saya punya uang saja. Waktu itu istri langsung lihat saya. Mau ambil uang dari mana? Beras juga sudah habis,” kenang Desman.
Sehingga, dengan keyakinan akan ada jalan, Desman dan istri langsung menyediakan bahan-bahan untuk produksi.
“Ya kalau tidak begitu, berarti kami tidak sampai seperti sekarang ini,” sambung Lois.
Sejak saat itu, mereka kemudian terus produksi. Saos tomat dan cabai bubuk ini dapat disebut sebagai yang pertama ada di NTT.
Produk mereka kini diterima oleh banyak pihak.
Baca Juga: Lima Masalah Utama Dihadapi UMKM NTT
Produk mereka sudah masuk ke beberapa hotel berbintang di Kota Kupang, di Dekranasda NTT, dan banyak dipesan dari luar NTT.
Meski demikian, tarif harga yang dipasang murah, membuat pendapatan mereka “belum seberapa,” kata Desman.
“Satu kemasan kira-kira kami untung dua ribu. Satu hari kami produksi 20 bungkus. Jadi (untungnya) Rp40 ribu. Nah 40 ribu bagi ke 11 orang ini. Tapi itu pun kami belum pernah makan yang Rp 40 ribu ini,” jelas Desman.
Sehingga ke sebelas pekerja mereka, Lois mengatakan “(kerja) pakai hati saja.”
Bagi mereka, UMKM ini benar-benar hanya sebagai bentuk pelayanan mereka saja. Tak mau ambil untung.
“Jadi saya tidak perlu berkhotbah di mimbar. Tidak perlu mengajar di depan kelas. Tapi dari hidup saya sudah jadi berkat. Istilahnya dari pemikiran saya, dari pelayanan saya orang lain bisa makan, orang lain dapat kerja, itu sudah melayani,” pungkas Desman. ***