Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau Aman mencatat, baru sekitar 500 ribu orang yang mendaftarkan diri untuk vaksinasi dari sekitar 40-70 juta jumlah mereka.
Dari jumlah yang sudah mendaftar itiu, baru sekitar 20 ribu orang dari masyarakat adat menerima vaksin dosis tahap pertama.
“Mereka bisa mendaftar dan divaksin karena memiliki KTP,” kata Rukka Sombolinggi, juru bicara Aman kepada KatongNTT, Jumat, 30 Juli 2021.
Sebagian besar jumlah masyarakat adat yang mendaftar vaksinasi tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Pulau Sumatera, dan Sulawesi.
“Papua tidak ada sama sekali karena mereka tidak mau divaksin,” ujar Rukka.
Menurut dia, hambatan administrasi seperti kewajiban untuk memiliki KTP membuat masyarakat adat tidak bisa mendapatkan vaksin untuk mencegah penularan virus Covid-19.
Selain itu, akses pendaftaran vaksinasi dengan menggunakan layanan internet juga jadi penghambat. Penyebabnya, sebagian besar masyarakat adat tinggal di daerah terpencil yang tidak terjangkau jaringan internet.
Seperti jatuh tertimpa tangga, mereka juga tidak pernah menjalani pemeriksaan status kesehatan mereka.
Jangankan status kesehatan masyarakat adat, kata Rukka, pemerintah juga belum punya data tentang situasi kesehatan masyarakat adat secara lengkap. Begitu juga status ekonomi masyarakat adat, pemerintah diyakini belum punya.
Menurut Rukka, masyarakat adat mengalami diskriminasi di berbagai bidang selama ini. Kemunculan pandemi Covid-19 menambah beban masyarakat adat. Seperti contoh, layanan PCR tidak tersedia di tempat tinggal masyarakat adat di Aru, Provinsi Maluku.
Aman yang beranggotakan sekitar 20 juta masyarakat adat menyatakan, pemerintah seharusnya bertanggung jawab mengatasi semua persoalan yang demikian kompleks yang dialami masyarakat adat.
Pemerintah, kata Rukka, perlu membuat terobosan sehubungan dengan vaksinasi bagi masyarakat adat. Terobosan itu, menurutnya, sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pada Pasal 80 dari Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 menyebutkan, apabila negara atau sebagian negara dinyatakan dalam keadaan darurat dengan segala tingkatannya menurut Peraturan Perundang-Undangan, otoritas pemerintahan yang menjabat pada saat itu diberi kewenangan membuat surat keterangan mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting.
Lalu, pada ayat 2 pasal 80 disebutkan, surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar penerbitan dokumen kependudukan.
Dan di Pasal 81 ayat (2) menyebutkan, dalam situasi darurat instansi pelaksana menerbitkan surat keterangan pengganti tanda identitas dan surat keterangan pencatatan sipil
“Pemerintah belum membuat terobosan ini bagi masyarakat adat,” kata Rukka menyesalkan.