Emiliana Pone, Skolastika Donge dan banyak perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) harus kehilangan anak-anaknya karena potret kemiskinan dan layanan kesehatan yang tak memadai. Mereka hanya bisa menangis dan menatap nisan anaknya.
> Putra Bali Mula, Ruth Botha dan Anita Dhewy
KatongNTT.com berkolaborasi dengan Konde.co menyajikan edisi khusus perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 30 Juni- 1 Juli 2023. Edisi ini akan menuliskan problem besar yang dialami para perempuan disana, kemiskinan dan pembangunan yang meninggalkan perempuan.
Emiliana Pone Aran (26), sekuat tenaga menahan rasa sakit untuk melahirkan anaknya di Puskesmas Baniona, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Air ketuban sudah membasahi bajunya.
Suaminya tak kalah cemas saat menerima informasi dari bidan Puskesmas Baniona tentang posisi anak di rahim istrinya.
“Bilang (posisi) anaknya bokong duluan. Jadi itulah kami dirujuk ke rumah sakit,” kata Fransiskus Boli, suami Emiliana mengenang peristiwa pada 27 April 2023.
Fransiskus didampingi seorang bidan lalu bergegas membawa Emiliana ke dalam ambulans menuju Pelabuhan Tobilota untuk menyeberang ke Larantuka, ibukota Flores Timur. Tujuan mereka adalah secepatnya menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hendrikus Fernandez.
Pasangan suami istri yang memiliki bayi kembar siam asal Pulau Adonara, NTT (Ruth Botha – KatongNTT.com)
Saat itu jam 15.00 WITA. Waktu tempuh dari Puskesmas ke pelabuhan sekitar 30 menit. Dengan tubuh lemah menahan sakit, Emiliana diturunkan dari mobil ambulans untuk dibopong ke dalam kapal motor menuju pelabuhan di Larantuka. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menyeberangi laut.
Setibanya di Larantuka, mobil ambulans RSUD Hendrikus Fernandez sudah menunggu untuk menjemput mereka. Emiliana menjalani pemeriksaan USG untuk mengetahui posisi janin. Pasangan suami istri ini pasrah ketika dokter memberitahu bahwa akan melakukan operasi untuk mengeluarkan sang bayi.
Keesokan hari operasi dilakukan dan mengagetkan pasangan suami istri itu karena bayi mereka kembar siam. Selama menjalani pemeriksaan kandungan di Puskemas, tidak ada tanda bahwa bayi di dalam rahim Emiliana kembar siam.
Setelah menjalani 4 jam operasi, Emiliana dibawa ke ruang nifas. Fransiskus menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan tentang bayi kembar siam mereka. Setelah istrinya sadar dan bertanya tentang bayinya, Fransiskus masih mencoba menutupinya.
“Baik-baik saja,” ujar Fransiskus.
“Tapi sebagai seorang ibu kan pasti kita rasa. Baik-baik ini, baik atau tidak? Jadi saya desak terus. Akhirnya suami kasih tahu. Saya kaget. Tapi mau bagaimana,” tutur Emiliana kami temui di RSUD Hendrikus Fernandez.
Emilia melihat bayi kembar siamnya di ruang khusus anak RSUD Larantuka.Ruth Botha – KatongNTT.com)
Bayangan akan masa depan kedua anak mereka seketika menghambur dalam pikiran Emiliana. Bagaimana mereka nanti menjalani hari dengan keadaan seperti itu. Hingga kemudian mereka mendapat kabar bahwa akan ada dokter yang bersedia melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam mereka.
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Ada sebersit harapan untuk Emiliana dan suaminya.
Operasi pemisahan bayi kembar itu berlangsung pada 7 Mei 2023 sekitar jam 7.30 WITA. Emiliana dan Fransiskus menyaksikan operasi itu didampingi seorang rohaniwan Katolik.
“Selama operasi itu kami nonton operasinya langsung dengan keluarga lain, dan juga ada Romo. Takut, tapi berdoa saja,” kata Emiliana.
Operasi pemisahan bayi kembar siam berakhir jam 17.00 Wita. Kedua bayi berhasil dipisahkan. Hanya kondisi mereka masih dalam keadaan kritis. Namun lima hari setelah operasi, 12 Mei 2023, satu bayi meninggal disebabkan kondisinya yang tidak stabil. Rongga dada bayi itu berlubang sehingga pernafasannya terganggu.
“Saya sempat menangis, tapi pas saya gendong itu saya tidak menangis. Saya hanya bilang saya ikhlas. Harus kuat karena masih ada ade satu,” ucap Emiliana berusaha tegar.
Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian RSUD Hendrikus Fernandes, Viktorius Rape Goran mengungkapkan, operasi pemisahan bayi kembar siam itu seharusnya berlangsung lima hari setelah bayi lahir. Namun ketiadaan alat medis membuat jadwal operasi bayi kembar siam pertama di Provinsi Nusa Tenggara Timur diundur.
“Pisau operasi yang tidak ada. Jadi harus pinjam dari Kupang. Inkubator ada mengalami kerusakan. Jadi pinjam dari Maumere. Kalau dokternya dari Rumah Sakit Soetomo Surabaya,” ujar Viktorius yang diwawancarai di kantornya pada 7 Juni 2023.
Gedung Puskesmas Waiwerang di Kecamatan Adonara Timur, Pulau Adonara, berada dekat pasar tradisional. (Ruth Botha – KatongNTT.com)
Kisah ini juga dialami oleh Skolastika Donge Koban (50). Ia belum mampu menerima kenyataan tentang bayi dalam kandungannya yang meninggal dalam perjalanan ke RSUD Henrikus Ferdinan di Larantuka.
Saat itu bidan Puskesmas Waiwerang memberitahu jika posisi bayi melintang di dalam rahim Skolastika. Kondisi ini mengharuskan sang bayi dikeluarkan dengan bantuan ekstraksi vakum.
Ketiadaan alat untuk menolong bayinya membuat bidan merujuk Skolastika ke RSUD di Larantuka.
Skolastika di makam bayinya di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. (Ruth Botha – KatongNTT.com)
Mereka menempuh perjalanan darat kurang lebih satu jam dengan badan jalan yang diaspal baik. Perjalanan darat dilanjutkan dengan menyeberang laut menggunakan kapal motor. Jarak tempuh ke Larantuka sekitar 20 menit. Untuk kemudian mobil ambulans membawa mereka ke RSUD Hendrikus Fernandes.
Perjalanan yang jauh dan lama membuat nyawa janin di rahim Skolastika tak terselamatkan. Saat menerima kabar bayinya meninggal, dia hanya sanggup memperhatikan luka di pelipis kanan anaknya bekas divakum.
Bayi itu kemudian dia serahkan ke suaminya agar dibawa pulang untuk disemayamkan. Dia mendapat perawatan lanjutan.
Saat ditemui, Skolastika sedang duduk di makam anaknya sambil mengenang kembali peristiwa getir dan pahit itu. Kerinduan akan mendiang bayinya terucap pelan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Dokter kasih keluar habis dia suruh saya peluk dia. Peluk dia badan tu masih hangat. So (sudah) meninggal, Sa peluk dengan air mata, kasian,” tutur Skolastika menitikkan air mata.
“Di ruangan situ semua punya anak. Mereka gendong kasih susu anak. Hanya sa sendiri yang tidak punya,” ujarnya dengan suara bergetar.
Peristiwa lima tahun lalu yang dialami Skolastika dalam mengakses layanan kesehatan di Flores Timur tak banyak berubah dengan situasi sekarang. Setidaknya ini tergambar dari kisah pasangan suami istri yang melahirkan bayi kembar siam terpaksa menunggu 7 hari untuk dioperasi karena RSUD Larantuka tidak memiliki peralatan lengkap untuk operasi.
Situasi ini diperparah karena semua pasien yang tidak dapat dilayani puskesmas di Pulau Adonara, pasti dirujuk ke RSUD Larantuka. Untuk menjangkau Larantuka, pasien menempuh perjalanan darat dan dilanjutkan dengan laut yang total waktu tempuh mencapai 1 jam. Jarak tempuh ini bisa lebih lama jika cuaca buruk.
Cerita pahit ini juga dialami Dewi, seorang bidan di Puskesmas Waiwerang yang tak mengira jika malam pergantian tahun kemarin, ia akan menghadapi tugas teramat berat. Bahkan berisiko kehilangan nyawa.
Baca juga: 5 Tahun I-WIL, Tantangan Terberat Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di NTT
Saat warga Adonara menanti malam pergantian tahun, 31 Desember 2022, Dewi justru mendampingi pasien ibu hamil yang baru melahirkan bayi kembar. Namun bayi kembar itu lahir prematur sekitar jam 23.00 Wita. Sehingga Dewi bergegas membawa ibu dan bayi kembarnya ke RSUD Hendrikus Fernandes di Larantuka.
Saat itu, Pulau Adonara dan hampir seluruh wilayah NTT dilanda angin kencang dan hujan yang turun deras. Gelombang laut pun tinggi. Dewi tidak punya pilihan selain melintasi laut agar segera tiba di Larantuka.
Dewi didampingi perawat Puskesmas Waiwerang membawa ibu dan kedua bayi kembar mengendarai mobil ambulans menuju Pelabuhan Tobilota. Mereka menyusuri jalan darat sekitar 10 kilometer untuk tiba di pelabuhan.
Setiba di pelabuhan, Dewi menerima informasi penyeberangan ditutup karena situasi laut yang berbahaya. Demi menyelamatkan ibu dan bayi kembarnya, Dewi dan perawat bertahan hingga dini hari dan hujan reda.
Pengemudi kapal motor memutuskan berlayar demi menyelamatkan ibu dan kedua bayi kembar tersebut di malam gelap gulita dan gelombang laut yang masih tinggi. Ombak menerjang kapal beberapa kali.
Mereka selamat tiba di Larantuka. Mobil ambulans bergegas membawa mereka ke RSUD Larantuka.
“Ada perasaan takut karena angin dan ombak toh, tapi namanya tugas ya kita tetap pergi mendampingi pasien,” kata Dewi saat ditemui di Adonara, 6 Juni 2023.
Kabupaten Flores Timur memiliki tiga pulau berukuran besar yang saling berdekatan yakni, Pulau Larantuka, Pulau Adonara, dan Pulau Solor. Ibukota kabupaten berada di Pulau Larantuka. Data dari Badan Pusat Statistik/ BPS menyebut jumlah populasi di Flores Timor sebanyak 283.626 jiwa. Populasi terbanyak tinggal di Adonara, yaitu mencapai 134 ribu jiwa.
Pulau Adonara terdiri dari delapan kecamatan yakni Adonara Timur, Adonara Barat, Kelubagolit, Witihama, Wotan Ulumado, Ile Boleng, Adonara, dan Adonara Tengah. Setiap kecamatan memiliki satu puskesmas.
Dari delapan puskesmas itu, hanya dua puskesmas yang memiliki pelayanan rawat inap, yaitu Puskesmas Waiwerang di Kecamatan Adonara Timur, dan Puskesmas Waiwadan di Kecamatan Adonara Barat. Selebihnya memberikan pelayanan rawat jalan.
Belum ada rumah sakit di Pulau Adonara. Sehingga masyarakat di Adonara sepenuhnya mendapatkan pelayanan kesehatan di puskesmas. Untuk rumah sakit rujukan, hanya di RSUD Hendrikus Fernandes di Larantuka.
Tak hanya tidak punya rumah sakit, alat kesehatan di puskesmas di Pulau Adonara atau dikenal sebagai Tanah Lamaholot juga minim. Pelayanan kesehatan swasta ada itupun masih berupa klinik kesehatan.
Jalan darat untuk menghubungkan antar kota kecamatan lumayan bagus. Namun kualitas jalan di pelosok-pelosok desa tidak sebaik jalan penghubung tersebut. Bahkan di Adonara tidak ada angkutan umum. Masyarakat mengandalkan transportasi pribadi yang umumnya sepeda motor untuk mengakses layanan kesehatan di Puskesmas yang berlokasi di kota kecamatan.
Untuk keluar dari pulau Adonara, masyarakat bergantung pada pelabuhan rakyat dan pelabuhan khusus Ferry yang dikelola ASDP yakni Pelabuhan Deri.
Pelabuhan rakyat mengandalkan swadaya masyarakat dengan kapal motor yang mampu membawa sekitar 15-20 penumpang dan sekitar lima sepeda motor ditemui di Pelabuhan Tobilota.
Pelabuhan Tobilota dianggap aman untuk menyeberang ke Larantuka karena arusnya tidak deras. Jarak tempuh sekitar 15-20 menit dan beroperasi dari subuh hingga malam hari.
Harga tiket mulai dari Rp 15 ribu per orang. Jika membawa sepeda motor, tiket dua penumpang bersama sepeda motor dipatok Rp 25 ribu sekali jalan.
Dalam situasi mendesak dan harus segera menyeberang, masyarakat harus membayar tiket seharga Rp 100 ribu per orang. Untuk membantu petugas kesehatan Puskesmas membawa pasien ke Larantuka, pemilik kapal membuka pelayanan 24 jam.
Satu pelabuhan lain sebagai alternatif masyarakat di Adonara untuk menyeberang ke Larantuka adalah Pelabuhan Tanah Merah. Jarak tempuh lebih singkat dibandingkan Pelabuhan Tobilota. Hanya butuh sekitar 5 menit untuk tiba di Larantuka dengan menggunakan kapal motor berukuran lebih kecil.
Arus laut yang kuat berisiko untuk diseberangi, sehingga umumnya masyarakat memilih menyeberang ke Larantuka dari Pelabuhan Tobilota. Meski petugas kesehatan terkadang memilih pelabuhan Tanah Merah untuk mempercepat pasien dibawa ke RSUD Larantuka.
Rumah Sakit Adonara Mangkrak
Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah berupaya mendirikan rumah sakit di Pulau Adonara. Masyarakat sudah lama berharap ada rumah sakit. Tahun 2021, Rumah Sakit Adonara dibangun di desa Saosina, Kecamatan Adonara Timur.
Rumah sakit Adonara rampung dibangun pada 2019 dan direncanakan beroperasi pad tahun ini, 2023. Namun saat ke lokasi rumah sakit, terdengar suara beberapa kambing bersilewaran di dalam maupun di luar bangunan.
Rumput liar tumbuh menutupi jalan ke lokasi bangunan rumah sakit yang berjarak sekitar 500 meter dari jalan raya. Tidak ada aktivitas layaknya rumah sakit. Lokasinya juga jauh dari pemukiman penduduk membuat bangunan itu terisolasi dan mangkrak.
Suara beberapa kambing mengembik di luar maupun di dalam gedung. Cat tembok bangunan terkelupas. Beberapa plafon mulai terkelupas.
Rumah Sakit Adonara yang mangkrak (Ruth Botha – KatongNTT.com)
Dua perempuan berusia sekitar 25 tahun duduk di lantai. Mereka memainkan telepon selulernya. Dua pria duduk di atas sepeda motor yang diparkirkan tak jauh dari kedua perempuan itu duduk.
Fitri menuturkan, mereka merupakan cleaning service yang ditugaskan Bupati Flores Timur untuk menjaga bangunan Rumah Sakit Adonara. Mereka berjumlah lima orang.
“SK Bupati kami keluar 2020. Kami disuruh jaga di sini supaya tidak ada yang curi lampu. Kami bersihkan gedung ini,” kata Fitri.
Sudah tiga tahun mereka bekerja menjaga gedung ini agar tidak dirusak orang tak bertanggung jawab. Mereka bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 2 sore setiap hari.
Sebagai warga Adonara, Fitri mengungkapkan kerinduannya agar rumah sakit ini segera beroperasi. Fitri mengingat ketika ibunya yang mengalami sakit gula dilarikan ke RSUD Larantuka dalam kondisi kritis pada Mei 2022.
Perjalanan jauh melintasi laut membawa ibunya berobat ke RSUD Larantuka. Namun nyawa ibunya tak tertolong setelah dirawat sekitar tiga hari.
“Berharap sekali ada rumah sakit di Adonara,” ujar Fitri tersenyum getir.
Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Viktorius Rape Goran mengatakan jika Rumah Sakit Adonara beroperasi, maka akan sangat membantu pelayanan kesehatan masyarakat di Flores Timur. Namun persoalannya ada di anggaran. APBD Flores Timur akan tergerus untuk membiayai RSUD Larantuka dan Rumah Sakit Adonara.
“Kalau itu (Rumah Sakit Adonara-red) jadi memang sangat membantu. Tapi berat di daerah. karena mereka harus tanggung dua rumah sakit. Nah ini satu saja setengah mati,” kata Viktorius.
Namun dia tidak menjelaskan alasan membangun gedung Rumah Sakit Adonara tersebut jika alasannya soal anggaran.
“Itu (Rumah Sakit Adonara) sebentar lagi jadi museum,” ujarnya singkat.
RSUD Hendrikus Fernandez di Larantuka dibangun pada 1936 untuk melayani masyarakat Flores Timur dan kabupaten Lembata. Rumah sakit ini memiliki 140 tempat tidur, 13 dokter umum, dan 12 dokter spesialis.
Di tahun 2021, jumlah pasien rujukan sebanyak 4.734 orang dan terbanyak rujukan dari puskesmas yakni 4.360 pasien atau 75,41 persen.
Pasien rujukan puskesmas terbanyak ke poliklinik kebidanan dan kandungan yakni 1.311 pasien. Sedangkan jumlah pasien rujukan pada Instalasi Rawat Inap sebanyak 1.666 pasien.
Berdasar data ini, menurut Viktorius, pihaknya mampu menampung dan melayani masyarakat Flores Timur. Hanya saja RSUD Larantuka masih kekurangan dokter spesialis.
Baca juga: Pemda Diminta Gerak Cepat, Menkeu Heran Dana Stunting Habis untuk Koordinasi
Puskesmas Waiwerang di Pulau Adonara tampak sepi pada Senin malam, 5 Juni 2023. Kertas kecil berisikan pengumuman Puskesmas tutup karena libur 1-4 Juni 2023 ditempetl di pintu masuk ruang UGD.
Beberapa orang melintas di sisi kanan ruang UGD yang merupakan ruang rawat inap pasien. Seorang perawat perempuan sedang bertugas jaga. Di ruang rawat inap ukuran sekitar 5×5 meter terdapat lima pasien tidur di atas tempat tidur yang alasnya lusuh.
Tidak ada pembatas antar satu pasien dengan pasien yang lain. Rangka tempat tidur ada yang patah. Bau tak sedap keluar dari ruang rawat inap.
Linda, kepala ruang kebidanan di Puskesmas Waiwerang mengungkapkan peralatan medis bahkan sudah aus.
“Peralatan kecil tapi penting macam gunting saja sudah tumpul, pinset, klep,” kata Linda.
Menurut Linda, kebutuhan alat kesehatan ini sudah diadukan ke pimpinan dan sudah disuarakan ke dinas kesehatan daerah setempat.
“Namun jawabannya selalu bilang belum ada,” ujar Linda.
Sekitar 140 tenaga kesehatan di puskesmas tersebut melayani sekitar 34 ribu penduduk Kecamatan Adonara Timur. Sehingga bisa dibayangkan betapa sibuk mereka melayani masyarakat.
Martinus Sanga, Kepala Puskesmas Waiwerang menjelaskan, keterbatasan alat kesehatan sebagai salah satu pemicu banyaknya pasien dirujuk ke RSUD Larantuka.
“Di sini ruang inap itu selalu penuh. Rujukan ke Larantuka itu satu hari pasti ada,” kata Martinus saat ditemui di ruang kerjanya.
Lokasi Puskesmas Waiwerang yang berdekatan dengan pasar tradisional Waiwerang juga jadi masalah. Debu beterbangan, limbah pembuangan mengalir di pinggir jalan, bau keringat dan aroma makanan laut jadi satu.
Sepeda motor, mobil, dan manusia berebut mencari jalan di tengah keramaian pasar tradisional itu. Kerumunan orang, pedagang dan kendaraan di depan Puskesmas acap kali menjadi penghambat untuk operasional petugas kesehatan .
“Apalagi kalau hari pasar, itu ambulans susah keluar karena ramai sekali di depan ini,” kata Martinus.
Dengan berbagai permasalahan itu, para petugas kesehatan dan masyarakat di Adonara penuh harap Rumah Sakit Adonara segera beroperasi.
Provinsi Nusa Tenggara Timur memang sarat beban masalah, mulai dari persoalan kesehatan, kemiskinan, stunting, hingga perdagangan orang (human trafficking). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, NTT merupakan provinsi termiskin ketiga di Indonesia dengan persentase penduduk miskin mencapai 20,23 persen per September 2022. Angka kemiskinan ini meningkat 20,05 persen dibandingkan Maret di tahun yang sama.
NTT yang terdiri dari 21 kabupaten dan satu kota menyumbang kenaikan pada angka kemiskinan ekstrem dalam dua tahun terakhir. BPS melaporkan jumlah penduduk miskin ekstrem terbesar NTT pada 2022 berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Ende, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat, dan Kabupaten Kupang.
Untuk angka kemiskinan ekstrem di Kabupaten Flores Timur, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mengalami kenaikan tajam dari 0,79 persen pada 2021 menjadi 2,10 persen di 2022. Adapun jumlah penduduk Flores Timur sekitar 283 ribu jiwa pada 2022.
Pada Pertengahan Mei 2023 lalu, tim redaksi KatongNTT.com melakukan liputan untuk mengetahui bagaimana warga Adonara mengakses pelayanan kesehatan di tengah minimnya fasilits kesehatan dipicu tingginya kemiskinan di NTT?
Flores Timur merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari tiga pulau berukuran besar yakni Pulau Flores, Pulau Adonara, dan Pulau Solor. Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur berada di bagian timur Pulau Flores. Penduduk miskin menyebar di tiga pulau ini dan salah satu kabupten dengan jumlah pekerja migran nonprosedural yang besar.
Dengan alasan kemiskinan yang dipicu minimnya lapangan pekerjaan, lahan pertanian yang sudah ditelantarkan karena dinilai tak cukup untuk menopang biaya hidup, dan akses ke mana-mana yang terbatas, mendorong banyak warga Adonara menjadi pekerja migran nonprosedural. Kisah sukses mereka bisa diperlihatkan dari perubahan bangunan rumahnya.
“Jika rumah mereka sudah pakai batu dan atap sudah seng,” itu hampir pasti ada keluarga yang bekerja di luar negeri, biasanya di Malaysia, ujar seorang staf Badan Pelayanan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi NTT.
Pulau Adonara merupakan pulau yang terdekat jaraknya ke Larantuka dengan menggunakan transportasi laut dibandingkan Pulau Solor. Satu-satunya moda transportasi yang menghubungkan ketiga pulau ini adalah kapal motor laut, istilah masyarakat di sana. Tidak ada jembatan penyeberangan yang menghubungkan ketiga pulau ini.
Kapal motor laut minim peralatan keselamatan penumpang. Namun kehadiran mereka sangat berarti bagi masyarakat di Flores Timur. Setidaknya itulah yang dirasakan para petugas kesehatan Puskemas di Adonara saat harus membawa pasien ke Rumah Sakit Umum Daerah di Larantuka, baik pagi, siang maupun malam.
Pemandangan menyedihkan tampak banyak terjadi di dalam Puskesmas. Misalnya peralatan medis di puskesmas Adonara yang harus diganti namun masih difungsikan, meski kepala Puskesmas sudah berupaya menyurati Dinas Kesehatan Flores Timur.
Pelayanan juga belum optimal karena belum ada dokter spesialis di semua Puskesmas di Adonara. Hal ini merujuk pada pasal 17 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Di ayat 2 dan 3 pasal 17 disebutkan tentang keharusan Puskesmas memiliki dokter gigi, selain dokter layanan primer (dokter umum-red), tenaga kesehatan lainnya, dan tenaga nonkesehatan.
Alhasil, pasien yang tidak dapat ditangani di Puskesmas dirujuk ke RSUD Hendrikus Fernandes di Larantuka. Ini sangat beresiko bagi pasien karena dengan kondisi kritis karena jauhnya jarak Puskesmas ke pelabuhan dan harus menyeberangi laut untuk tiba di RSUD Larantuka. Butuh sekitar 1 jam perjalanan dari Pelabuhan terdekat untuk pasien tiba di Larantuka. Namun warga Adonara tidak punya pilihan.
Upaya Pemerintah Kabupaten Flores Timur mendirikan rumah sakit di Adonara tidak kunjung terwujud. Bangunan Rumah Sakit Adonara sudah rampung pada 2019 di desa Saosina, Kecamatan Adonara Timur. Namun hingga Mei 2023, belum ada tanda rumah sakit itu akan resmi beroperasi.
Kepala Dinas Kesehatan, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Provinsi NTT Ruth Laiskodat menjelaskan, dasar hukum Rumah Sakit Pratama Tipe D Adonara sudah ada. Pengadaan peralatan medis sudah dicicil sejak 2022. Listrik dan airpun tersedia.
Begitu juga sumber daya manusianya sudah tersedia, yakni sebanyak 50 tenaga kesehatan diusulkan ke Dinas Kesehatan Flores Timur untuk bekerja di Rumah Sakit Adonara.
Yang menjadi kendala justru di soal belum adanya pelantikan karena belum kelarnya struktur dan susunan pengurus rumah sakit. Kendala lainnya, ujar Ruth, belum adanya rekomendasi dari Kementerian Kesehatan mengenai surat izin praktek tenaga kesehatan untuk bertugas di Rumah Sakit Adonara.
Registrasi Rumah Sakit Adonara ke Kementerian Kesehatan juga belum ada. Begitu juga belum ada pengajuan kerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Penjabat Bupati Flores Timur Doris Rihi mengatakan, pihaknya saat ini tinggal menunggu rekomendasi Kementerian Dalam Negeri untuk dapat menempatkan pejabat di Rumah Sakit Adonara. Doris tidak berwenang membuat atau mengambil keputusan karena dirinya sebagai penjabat bupati.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini sudah bisa (Rumah Sakit Adonara beroperasi-Red),” kata Doris.
Adonara merupakan cerminan masih tak terkoordinasikan dengan baik antara perencanaan hingga eksekusi kebijakan di bidang kesehatan masyarakat. Sehingga masyarakat jadi korban. Sepertinya kehilangan nyawa karena keterlambatan pertolongan menjadi hal lumrah di NTT. Entah sampai kapan.
(Editor: Maria Hasugian dan Luviana Ariyanti)