Kupang – Perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT) paling banyak menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dibandingkan laki-laki. Budaya patriarki yang kental di Indonesia maupun di negara penerima PMI yang mendorong tumbuhnya jumlah ini.
Pada 2023 lalu perempuan mendominasi hingga 92 persen atau 1.211 orang dari total 1.305 PMI asal NTT yang ditempatkan di luar negeri.
Data penempatan PMI dari BP3MI NTT pun menunjukkan Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) paling banyak menyumbang jumlah ini yaitu 314 perempuan.
Sedangkan laki-laki yang menjadi PMI selama penempatan di tahun 2023 lalu hanya 94 orang dan yang terbanyak dari Malaka yaitu 24 orang.
Baca juga : Pilkada Malaka, Alor dan Sumba Rawan Konflik
Penempatan PMI secara prosedural pada 2023 ini pun mencakup Malaysia, Singapura, Hong Kong, Papua New Guinea, Jepang, Uni Emirat Arab, Solomon, Qatar, Brunei Darussalam. Sektor pekerjaan mereka formal dan informal.
Rata-rata penempatan PMI terbanyak adalah di Malaysia yaitu 1.179 orang. Dominasinya 1.115 perempuan, sisanya 64 laki-laki.
BP3MI NTT per 5 April 2024 ini juga mencatat dominasi wanita yang menjadi pekerja migran. Ada 213 perempuan dari total 218 PMI prosedural asal NTT. Jumlah PMI NTT ini pun masih terbanyak dari SBD yakni 63 perempuan.
Hanya ada 5 pria dari total penempatan PMI NTT di luar negeri pada awal 2024 ini. Para pria ini berasal dari Lembata, Malaka, Kupang, masing-masingnya 1 orang. Sementara 2 pria lagi dari Flores Timur.
Pada 2024 ini pun kebanyakan PMI asal NTT ini bekerja di Malaysia. Jumlah mereka 203 orang. Seluruhnya wanita dan pria hanya seorang saja.
Baca juga : Jembatan Tak Diperbaiki, Wanita di Kupang Terjang Banjir Untuk Bersalin
Jacklin Stefany Manafe, Dosen Sosilogi Universitas Nusa Cendana (Undana) melihat dominasi jumlah perempuan ini mengikuti kebutuhan pekerjaan domestik atau rumah tangga yang tinggi permintaannya di luar negeri.
“Saya pernah melakukan riset, bertanya kepada tenaga kerja wanita, kebanyakan mereka mengurus orang tua, mengurus rumah tangga, makanya lebih banyak dibutuhkan perempuan. Sementara laki-laki kebanyakan pekerjaan mereka sudah digantikan mesin. Negara yang mereka tuju ini negara yang sudah cukup maju,” tanggap dia, Jumat 10 Mei 2024.
Secara sosiologis, jelas Jacklin, budaya patriarki membuat perempuan lebih banyak bekerja di sektor domestik. Negara-negara dengan budaya patriarki yang kental juga cenderung mencari perempuan untuk mengisi sektor tersebut. Namun kenyataannya laki-laki bisa punya peran yang sama dalam urusan domestik.
“Walaupun sudah ada kesetaraan gender tapi budaya patriarki ini masih kental di beberapa negara maka membutuhkan perempuan, mereka merasa perempuan lebih telaten, padahal tidak menutup kemungkinan laki-laki lebih bisa urusan domestik,” lanjutnya lewat sambungan telepon saat itu.
Baca juga : Pemerintah Kirim Nota Diplomatik ke Saudi Cari PMI NTT
Ia memisalkan, pengurus lansia di luar negeri bisa saja oleh kaum pria yang spesifiknya hanya mengurus lansia pria.
Persentase perempuan yang mengikuti pelatihan selama ini pun lebih banyak dari laki-laki karena dasar stigma bahwa pekerjaan domestik itu sudah seharusnya perempuan.
Di sisi lain perempuan rentan menghadapi berbagai kasus dan diskriminasi sehingga perlu perhatian ekstra pemerintah apalagi tidak semua agen konsisten memantau mereka.
Komunikasi antar negara dan agen juga perlu lebih spesifik soal pembagian kerja agar menghindarkan perempuan dari eksploitasi.
Baca juga : Kisah Perempuan NTT Bertahan Dari Mahalnya Harga Beras
“Jangan mendiskriminasi kalau pekerjaan rumah tangga hanya perempuan saja yang bisa tapi lelaki juga bisa punya tanggung jawab yang sama,” katanya lagi.
Dilematisnya, perempuan yang diupah mengurus anak orang lain guna mendukung ekonomi keluarga akhirnya tidak bisa mengurus anaknya sendiri. Sementara anak butuh peran ayah dalam keluarga sebagai proteksi dan ibu dalam perannya untuk afeksi.
Selain itu perempuan sebagai pekerja migran yang menyumbang devisa negara malah kerap kali dicap rendah oleh lingkungan asalnya.
“Ada anggapan dari masyarakat, ada stigma yang menganggap perempuan yang bekerja di luar negeri, Hongkong, Arab Saudi, pasti jadi ‘pelayanannya laki-laki’ apalagi dengan isu-isu prostitusi di negara luar itu,” tukasnya.
Baca juga : Cuma 6 PMI Resmi dari Ratusan Yang Meninggal di Luar Negeri
Masyarakat juga menilai perempuan dari penampilannya bukannya berempati akan upaya seperti apa yang dilalui perempuan agar bertahan di negara luar.
“Sehingga ini akhirnya banyak masyarakat kita merugikan perempuan lagi,” tambahnya.
Terkait banyaknya PMI NTT yang memilih ke Malaysia, kata dia, karena adanya kemiripan bahasa dan budaya, meskipun karakter warga Malaysia lebih frontal atau keras dibanding Singapura.
Secara upah pun Singapura lebih besar dari Malaysia namun dorongan kemudahan bahasa ini yang membuat banyak pekerja ke Malaysia. Singapura sendiri dominan menggunakan bahasa Inggris. ***