Kupang – Pondok kecil di depan pintu masuk itu dihiasi beberapa lembar kain etnis Helong. Warna ungu mendominasi kain buatan tangan mereka.
Berdinding jerami setengah terbuka, sebuah papan bertuliskan ‘Menolak Punah’ terpampang di dinding pondok itu.
Mama-mama dari etnis Helong duduk tak jauh dari pondok itu. Di depan sebuah rumah tua yang dijadikan lokasi taman baca bagi anak-anak, mereka berbincang dengan bahasa daerahnya.
Mereka mengenakan tenunan Helong. Mulut mereka tak berhenti mengunyah siri pinang. Sesekali mereka tertawa lepas di sela perbincangan.
Bukan hanya orang tua, anak-anak dan kaum muda juga tampil dalam balutan tenunan Helong. Dua orang Ibu duduk menggulung benang atau lolo untuk menenun.
Minggu, 29 Mei 2022 merupakan hari yang berkesan bagi etnis Helong di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah pameran budaya Helong pertama kali digelar. Lokasinya di area taman baca Uibaha di Kelurahan Kolhua.
Kolhua adalah salah satu kelurahan di Kota Kupang yang sebagian besar penduduknya beretnis Helong. Mereka adalah orang-orang yang dari dulu mendiami Timor Barat.
Lokasi taman baca di jalan Fetor Foenay siang itu dihiasi berbagai jenis kain tenunan Helong, hasil kerajinan tangan dan hasil pertanian warga Helong. Halaman rumah tua dipadati oleh etnis Helong dan puluhan warga dari Kota Kupang yang datang untuk menyaksikan pameran kebudayaan itu.
Upaya melestarikan budaya Helong lahir dari keresahan akan kepunahan tradisi dan kebudayaan di tengah arus globalisasi yang tak terbendung. Orang-orang muda berperan aktif dalam pameran tersebut.
“Ini adalah upaya memperkenalkan kebudayaan Helong kepada generasi muda,” ujar Rely Bistolen, Ketua Komunitas Penjaga Budaya Helong.
Upaya itu dilakukan tidak hanya bagi kaum muda. Bagi anak-anak di taman baca Uibaha, pengenalan kebudayaan Helong dimulai dari membiasakan mereka memakai kain tenunan.
Siang itu, puluhan anak-anak itu mementaskan tarian lufut. Hentakan kaki-kaki kecil itu diikuti gerakan badan ke kiri dan ke kanan seperti oase di padang gurun. Perlahan mereka mengenal kebudayaan yang diwariskan leluhur mereka.
Tak berselang lama setelah pementasan tarian itu, dua anak muda menunjukkan keterampilan mereka menenun. Sonia Tlonaen (25) merupakan salah satu anak muda yang mahir menenun.
Sejak di kelas 6 SD, ibunya melatih Sonia untuk menenun. Dengan senang hati ia belajar dan berlatih. Ditahun itu pula, lulusan Pendidikan Kimia Universitas Nusa Cendana Kupang itu mahir menenun.
“Pesan Mama saat itu, saya harus belajar menenun karena sebagai perempuan yang akan melanjutkan tradisi menenun dalam keluarga,” kata Sonia.
Sonia tak sendiri. Ada wanita muda lainnya yang juga mahir menenun, yakni Sally Tabana. Keduanya menjadi penjaga tradisi menenun yang diwariskan para leluhur. Sebuah mahakarya dari para leluhur orang Helong yang perlu dijaga agar tidak punah.
“Bangga karena sudah bisa menenun dari usia muda,” ungkap Sonia.
Baca juga: Saling Cuci Tangan Hadapi Penolakan Bendungan Kolhua
Tidak berhenti pada pameran kebudayaan, generasi muda Helong saat ini berlatih menenun dan juga membuat berbagai perabot rumah tangga seperti nyiru, tikar dan bakul. Proses itu terus dilakukan, untuk mempertahankan kebudayaan Helong dari kepunahan.
“Kalau untuk membuat sendiri belum bisa, mereka masih belajar dengan orang tua kami. Tapi kami yakin dalam perjalanan waktu mereka pasti bisa menganyam nyiru, tikar maupun bakul,” kata Raly. (Joe)