2 April 2023
Kasus Adelina Sau Adalah Masalah Kebangsaan dan Martabat Orang NTT
Opini

Kasus Adelina Sau Adalah Masalah Kebangsaan dan Martabat Orang NTT

Jun 27, 2022

Oleh: Emmy Sahertian, pemerhati masalah kemanusiaan

Berita  tentang Mahkamah Persekutuan Malaysia membebaskan Ambika MA Shan, majikan pekerja migran Indonesia Adelina Sau pada Kamis, 23 Juni 2022 membuat kita mengelus dada dan sedih.

Mengapa? Karena ternyata  kita, Indonesia  tidak cukup kuat dalam membela keadilan bagi  warga negaranya yang tereksploitasi dalam perbudakan modern. Yakni perdagangan manusia.

Adelina Sau, remaja perempuan Pekerja Rumah Tangga yang disiksa, dipaksa tidur di teras rumh majikannya bersama anjing, sekarat sakit  lalu meninggal dunia.

Wajah  Kelam Pekerja Rumah Tangga di bawah umur

Adelina Sau  alias Adelina Lisao, nama yang dipalsukan, adalah remaja putri asal Desa Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dia  pergi merantau ke Malaysia secara non-prosedural tahun 2013.

Adelina  baru saja tamat SD dan tidak melanjutkan sekolah karena orang tua tidak mampu. Pada saat itu umurnya baru 15 tahun, tapi oleh perekrut dipalsukan menjadi berumuir 21 tahun.

Adelina direkrut oleh salah satu perusahaan di Jawa Timur secara personal  dengan  paspor  pelancong  tanpa permit kerja sebagaimana   aturan yang seharusnya dipenuhi.

Bekerja sebagai Pekerja  Rumah Tangga selama 4 tahun di Malaysia tanpa kontrak dan hak-hak yang jelas. Majikannya, Ambika adalah warga Malaysia keturunan India yang tinggal di area Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang, Malaysia.

Remaja lugu tanpa keterampilan memadai ini mengalami penyiksaan fisik, baik berbagai pukulan dan luka sulut/bakar, pemberian makanan yang jauh dari standar kemanusiaan hingga mengalami kekurangan gizi.

Badannya penuh dengan luka dan borok bernanah sehingga selama sebulan terakhir  dipaksa harus tidur di teras luar rumah bersama anjing peliharaan keluarga. Kemungkinan besar dia harus berebutan makanan dengan anjing.

Dalam keadaan yang sangat lemah dan sekarat  dia ditemukan oleh Kepolisian Seberang Perai Tengah atas laporan tetangga majikannya. Adelina  dibawa ke Rumah Sakit Penang lalu meninggal dunia.

Dokter mendiagnosa Adelina mengalami gagal multi-organ sekunder dalam karena  anemia. Ini sebagai bukti kuat  bahwa dia mengalami penyiksaan dan penindasan  selama  4 tahun bekerja.

Riwayatnya ini merupakan kisah pilu remaja putri yang terpaksa merantau menjadi Pekerja Rumah Tangga  di negeri jiran Malaysia melalui jalur non-prosedural, korban perdagangan orang yang marak di NTT.

Dia pergi tanpa perlindungan hak-haknya bahkan keamanan diri  (human security) yang tidak memadai dan  terancam. Jalan “maut” yang berakhir dengan kematian.

Bukan saja Adelina tapi juga sederetan gadis remaja di bawah umur serta perempuan dewasa asal NTT mengalami nasib sama di Malaysia. Mereka disiksa hingga ada yang meregang nyawa pulang dalam keadaan sakit parah, mengalami cacat fisik, bahkan gangguan jiwa.

Inilah wajah kelam Pekerja Rumah Tanggak asal NTT yang terpaksa bermigrasi (Force-migration) untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka yang menderita secara ekonomi.

Penerapan  Undang Undang yang Rapuh Keadilan

Kisah pilu Adelina mendapat sambutan luar biasa baik oleh para pemerhati persoalan perdagangan orang di Malaysia (Tenaganita dan jaringannya) maupun di Indonesia (Jaringan masyarakat sipil NTT, Gereja, BP2MI, politisi, DPRD, dll).

Di Malaysia polisi Diraja Malaysia menangkap majikan pemberi kerja, Ambika dan anaknya  Jayavartini untuk kemudian diadili. Ambika diancam dengan  hukuman mati. Sementara anak perempuannya Jayavartini didakwa karena mempekerjakan Adelina secara ilegal.

Tuntutan hukum di Malaysia menunjuk kepada Hukum Pidana Malaysia  Pasal 302 tentang pembunuhan  dengan pinalti hukuman mati. Sementara unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak disentuh dan belum tersentuh.

Keputusan Pengadilan Federal justru membebaskan dan menghentikan tuntutan perkara Ambika atau Discharge Amounting to Acquital (DAA) karena alasan penuntutan tidak valid serta tidak memenuhi waktu yang telah ditetapkan. Pelaku dianggap sebagai lansia (senior citizen).

Upaya banding dua kali telah dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Mahkamah Persekutuan Malaysia dengan tuntutan a discharge not amounting to an acquittal (DNAA). Ini artinyaKeputusan pembebasan tidak sepenuhnya, dan bila alasan cukup kuat maka kasus ini bisa diuji kembali. 

Namun keputusan yang paling akhir adalah dibebaskannya terdakwa Ambika secara definitif  (DAA).  Keputusan yang menampar  rasa keadilan bagi keluarga korban, tapi juga menampar wajah bangsa Indonesia.

Kita perlu menyadari bahwa penerapan hukum yang berbeda dari dua negara baik Malaysia maupun Indonesia menunjukan bahwa betapa rapuhnya keadilan bagi korban TPPO sebagai extraordinary crime.

Apalagi bila korbannya adalah pekerja pada sektor informal seperti Pekerja  Rumah Tangga. 

Salah satu faktor yang memperkeruh proses ini adalah kadaluarsanya MoU antara Indonesia dan Malaysia untuk  Perlindungan Pekerja Migran.  Jeda waktu yang lama hingga ratifikasi  MOU yang baru menandai adanya pembiaran terhadap perlindungan warga negara yang rentan terjebak TPPO .

Menurut pengamat dan pemerhati kasus  perdagangan manusia di Malaysia,  MoU yang baru antara pemerintah RI dan Malaysia  menunjukkan kekuatan yang tidak seimbang.

Komitmen perlindungan yang kuat dari pemerintah Malaysia lemah kecuali lebih fokus pada sistem jaringan terpadu untuk memantau kedatangan para pekerja migran,

Bahkan wewenang dari dinas tenaga kerja Malaysia dalam soal keadilan bagi Pekerja Rumah Tangga  pun lemah. Apabila kita kaitkan dengan perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia lebih mengenaskan lagi.

Ini karena RUU Pekerja Rumah Tangga selama 18 tahun diperjuangkan hingga hari ini belum bisa diproses menjadi undang undang.

Maka Pekerja Rumah Tangga  Indonesia  mengalami  penderitaan berlapis karena  hak-hak dan keamanan diri mereka tidak terlindungi oleh negara.

Permainan Mafia TPPO yang tidak tersentuh hukum

Sampai dengan saat ini “mafia” TPPO antar 2 negara serumpun ini belum tuntas. Di NTT mereka yang ditangkap dan diproses secara hukum belum menjangkau para cukong besar, baik di NTT maupun di Malaysia.

Jaringan perekrutan merupakan jaringan antar negara yang menjangkau hingga daerah pedalaman yang lemah ekonomi, lemah pendidikan dan lemah dokumen Adminduk.

Modus kejahatan  yang selalu berubah cepat  serta penguatan daerah transit dengan pengiriman dan penyelundupan orang  melalui “jalan tikus” yang lemah pengawalan.

Persoalan ini membutuhkan komitmen 2 negara serumpun yang tergabung dalam ASEAN. Bila tidak dilakukan, maka mafia TPPO akan memainkan taring mereka melalui terkaman kapitalisme korporatif (industri perkebunan dan properti). Mereka berpengaruh kuat pada  ekonomi negara.

Mereka menyusup dalam pentas politik baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, bahkan agama pun terseret dalam lilitan TPPO ini.

Kondisi seperti ini  menyebabkan penanganan kejahatan extraordinary perdagangan orang tidak mumpuni dan parsial. Padahal TPPO adalah kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.

Ini kejahatan yang menyuburkan  perbudakan modern, baik dalam level negara serumpun, tapi lebih khusus di bumi Flobamorata tercinta.

Kasus Adelina Sau merupakan wujud rapuhnya keadilan negara serumpun Malaysia dan Indonesia. Rakyat jelata masih dimanfaatkan dan dikorbankan untuk menopang kekuatan negara (devisa).

Sebuah drama penindasan struktural sebagai bentuk ketidakadilan sosial yang sistemik. Maka kasus Adelina Sau adalah masalah kebangsaan Indonesia, masalah martabat orang NTT yang perlu mendapat perhatian serius. *****

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *