Soe – Persetubuhan anak menjadi kasus tertinggi di Timor Tengah Selatan (TTS) selama 2019 sampai 2023 atau 5 tahun berturut-turut. Data sementara di 2024 juga menunjukkan potensi peningkatan serupa.
Kasus persetubuhan anak jadi yang tertinggi di antara belasan jenis kasus yang tercatat di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak TTS.
Pada 2019 ada 126 kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Persetubuhan anak dengan kejadian terbanyak yaitu 27 kasus diikuti 21 kasus Ingkar Janji Menikah (IJM).
Baca juga : Buron Pemerkosa Anak di Sabu Raijua Tertangkap di Kupang
Begitu pun di 2020. Ada 21 kasus persetubuhan anak dari keseluruhan 93 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. IJM juga tinggi di TTS dengan 14 kasus.
Kasus persetubuhan anak terus naik di 2021 hingga 37 kejadian dari total 103 kasus kekerasan sepanjang tahun itu. Sementara IJM ada 12 kasus.
Kemudian total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak naik 121 kasus di 2022. Masih dengan kasus tertinggi yaitu persetubuhan anak yang mencapai 33 kasus.
Baca juga : Ayah di Kupang Hamili Anak Tiri, Dipolisikan Sang Ibu
Kasus ini meningkat lagi di 2023. Ada 36 kasus persetubuhan anak dari total 119 kasus sepanjang tahun 2023.
Sementara pada 2024 ini pun sudah 7 kasus persetubuhan anak terjadi dan jadi yang tertinggi di caturwulan pertama ini.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) TTS menanggapi tingginya angka ini.
Eny Kollo Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak DP3A TTS saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis 16 Mei 2024, mengatakan korban paling banyak adalah siswa SD dan SMP. Mirisnya pelaku adalah orang dari lingkungan terdekatnya korban.
Baca juga : Anak Korban KDRT Seperti ‘Bom Waktu’
“Pelakunya bukan dari orang luar, mereka orang terdekat di lingkungan, keluarga, atau ayah kandung, kakek mereka sendiri, kebanyakan pelaku ini melihat korban mereka dari usia SD sampai SMP,” jelas dia.
Anak-anak rentan jadi korban karena sifatnya yang masih membutuhkan pengasuhan dari orang terdekat. Butuhnya perhatian anak dari keluarga ini terkadang membuka kesempatan terjadinya tindakan asusila.
Tidak jarang juga orang tua yang pergi merantau untuk bekerja menitipkan anak mereka ke keluarga dekat. Ada pula anak yang bersekolah dari desa yang dititipkan ke keluarganya juga. Berbagai kasus muncul dari kondisi seperti ini.
Baca juga : NTT Kekurangan Psikolog Dampingi Anak Korban Pelecehan
“Pengasuhan jarak jauh ini yang perlu dibimbing sehingga dari kecil anak-anak bisa jaga diri mereka, apa yang harus mereka lakukan, apa yang mereka kenakan,” kata dia.
Dinasnya seringkali mensosialisasikan kepada siswa-siswi agar bisa menjaga diri dan pembawaan diri mereka sendiri dalam pergaulan.
Ia mengatakan biasanya korban yang melapor kasus ini akan divisum yang biayanya menjadi tanggungan pemerintah. Begitu pula pendampingan secara hukum diatur oleh pemerintah hingga kasusnya selesai di pengadilan. ***