Kupang – Dalam 15 tahun terakhir Indonesia menjadi negara pengimpor kedelai sebagai bahan baku makanan seperti kecap, tahu, dan tempe. Bahkan kini menjadi negara importir kedelai terbesar di dunia setelah Cina.
Di tahun 2021 impor kedelai ke Indonesia sebanyak 2,5 juta ton dengan nilai impor mencapai US $1,48 miliar atau Rp21,32 triliun. Sekitar 86,4% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dari hasil impor.
Minimnya lahan, harga yang lebih murah, serta kualitas kedelai dalam negeri disebut kurang cocok untuk hasil produk olahan.
Untuk menekan arus impor kedelai, selain menuntut pemerintah melakukan kebijakan yang menguntungkan negara, masyarakat sejatinya lebih peka memberdayakan apa yang tersedia di sekitar.
Seperti yang dilakukan Gladys Matthew, perempuan kelahiran 1994 yang memanfaatkan air nira untuk diolah menjadi kecap. Tanpa kacang kedelai yang diimpor dari Amerika maupun Kanada, Gladys memanfaatkan pohon lontar yang tumbuh subur di daerah asal suaminya, Rote, Nusa Tenggara Timur.
Membuat kecap manis tanpa kedelai
Pohon lontar ini pertama-tama diiris bagian tandan buahnya, lalu ditinggal 8 – 12 jam. Diberi jerigen atau haik, wadah khas orang Rote, untuk menampung air nira. Setelah didapat, air nira tersebut dimasak sekitar 4-5 jam sampai kental dan menjadi gula lontar, atau yang dikenal masyarakat NTT dengan gula air.
Setelah mendapat bahan baku, Gladys kemudian memasak gula air tersebut hingga mendidih menggunakan api sedang. Untuk takaran 125 liter, memakan waktu sekitar 2,5 jam sampai mendidih. Selama proses memasak, gula air ini akan mengeluarkan buih. Angkat dan pisahkan.
“Ini (buih) harus angkat, supaya lebih bersih. Karena kalau sudah dingin nanti ada busa-busanya. Jelek” jelas Gladys.
Setelah mendidih dan tidak ada lagi buih, campur rempah-rempah seperti sereh, daun jeruk, dan lainnya. Bahan-bahan ini ditanam di perkebunan sendiri, sehingga saat memasak bahan yang dipakai masih segar.
Inilah yang membuat kecap organik lebih mengeluarkan aroma dan cita rasa unik dibandingkan kecap kedelai. Bahan-bahan tersebut dimasak sampai delapan jam dengan api sedang hingga hitam mengental. Alasannya agar lebih tahan lama.
“Pertama, aroma rempah-rempahnya lebih keluar. Kedua supaya lebih awet lagi karena kan kita tanpa pengawet, tanpa pemanis buatan, dan tanpa MSG, “ ujar perempuan lulusan Universitas Katolik Darma Cendika, Surabaya itu.
Sesudah delapan jam dimasak, kecap didinginkan, kemudian saring agar terpisah dari rempah-rempah yang dipakai. Setelah itu, kemas, dan kecap nonkedelai khas NTT siap dipasarkan maupun diolah dengan makanan lainnya.
Resep warisan mertua
Gladys mengisahkan, resep kecap dari mertua yang ternyata sudah diwariskan secara turun temurun. Ide ini muncul karena sulit mendapatkan kecap di masa itu. Toko atau pasar yang menjual kecap jaraknya jauh dari rumah.
“Sehingga, terpikirkan untuk membuat kecap sendiri dan untuk konsumsi pribadi,” ujar Gladys.
Perempuan asal Surabaya, Jawa Timur kemudian melihat peluang besar dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk diolah menjadi kecap.
Dengan modal dana sedikit dan nekat yang besar, pada 2019 Gladys mencoba membuat kecap dari lontar dan kemudian dipasarkan.

Awalnya Ibu dengan satu anak balita ini mengaku takut harus memasarkannya di NTT.
“Karena untuk memasarkan pertama kali di Kupang, apalagi kan ini inovasi baru. Harus putar otak gimana caranya supaya orang-orang mencintai produk UMKMnya di Kupang,” ujar Gladys.
Inilah yang membuat Gladys memilih memperkenalkan produknya terlebih dahulu ke teman-temannya di Surabaya. Mendapat respons positif, ia memilih memproduksi lebih banyak dan memasarkannya di Kupang.
Di awal pemasarannya via media sosial Facebook, mendapat komentar yang sempat membuatnya ragu untuk terus memasarkan produknya di NTT.
“Sempat saya posting di market place Facebook, ada orang tanya, loh kakak, itu berarti namanya gula bukan kecap,” ungkap Gladys diakhiri tawanya. Namun baginya, komentar seperti itu harus ia jadikan acuan untuk terus fokus dan telaten dalam menjalankan bisnisnya.
Gladys kemudian membuat kalimat menarik di kemasan kecap untuk menunjukkan keunggualan kecapnya. keunggulan kecapnya. “ Tanpa kacang kedelai, dibuat dari gula lontar, serta motto usahanya: “Ini Ketong Punya Kecap Lebe Bae.”
“Jadi orang-orang supaya tahu di NTT ini kita sudah punya kecap sendiri loh, tak usah lagi beli yang lainnya. Kalau kita bisa memberdayakan apa yang ada di NTT, kita tak harus beli dari luar NTT,” jelas Gladys.
Kecap Manis Letodae cap Malada, begitu nama kecap tanpa kedelai itu. Letodae merupakan nama daerah di mana mertuanya tinggal, dan malada yang artinya enak dalam bahasa Rote.
Untuk semakin menonjolkan kekhasannya, atas saran Ketua Dekranasda NTT, Julie Sutrisno Laiskodat, Gladys menampilkan foto dirinya berpakaian khas Rote, baik di kemasan botol maupun standing pouch
Selain itu, untuk menggaet banyak pembeli, Gladys mematok harga murah agar bisa dilirik para calon pembeli. Satu botol ukuran 135ml dihargai enam ribu rupiah.
“Pertimbangannya, biar orang ngelirik produknya kita dulu. Kalau kita sih lebih ke keuntungannya sedikit gak apa apa, yang mending kuantitinya makin banyak. Biar orang kenal dan cinta sama produk kita. Nanti kalau sudah cinta mau seberapa pun harganya pasti mereka hajar,” jelas perempuan berlesung pipi itu.
Pasar: dari Dekranasda, Labuan Bajo Hingga Timor Leste
Berasal dari air nira lontar murni, serta menggunakan rempah-rempah pilihan, serta dibuat tanpa pengawet, membuat kecap asal Rote ini aman dikonsumsi oleh penyandang autis dan diabetes. Orang-orang yang alergi kedelai pun kini bisa menikmati kecap tanpa harus takut alerginya kambuh.
Gladys pun mengisahkan pada 2020, ia mengikuti pameran di Millenium Ballroom. Dia bertemu dengan Ketua Dekranasda NTT. Barulah pada 2021 kecap nonkedelai Gladys masuk ke Dekranasda. Sejak saat itu, produksi makin banyak karena penjualan makin meningkat.
“Satu bulan itu sekitar 500-an botol terjual. Di Dekra itu biasanya dua minggu sekali, tapi sekarang seminggu sekali isi ke Dekra. Orang lagi banyak menggemari,” tutur Gladys, perempuan yang sejak SD sudah mulai berbisnis itu.
Kecap Letodae cap Malada sudah dipasarkan di Dekranasda, Positive NTT, Lamoringa, de Momang, Rukun Jaya Kupang, dan sudah dikirim ke Kado Bajo, yang adalah toko oleh-oleh premium di Bandara Labuan Bajo.
Sedangkan ke Australia dan Timor Leste masih dalam proses persetujuan dan perizinan.
Pesanan yang makin meningkat, membuat produksi kecap ini harus diolah di dua tempat. Di kediaman Gladys di Jln. Atambua, Kelurahan Pasir Panjang, Kota Kupang dan di Letodae, Rote, kediaman mertuanya. Hal ini harus dilakukan agar pesanan pasien dapat cepat terpenuhi guna menjaga kepercayaan konsumen.
Dengan ketiadaan karyawan, perempuan lulusan manajemen pemasaran tersebut harus melakukan semua proses sendirian. Mulai dari mendesain kemasan, membeli rempah-rempah yang dipakai, memasak, mengemas, sampai memasarkannya keluar. Ditemani anaknya yang masih berusia satu tahun, ia menjalankan semua proses.
Dia juga menjadi ibu rumah tangga bagi keluarga kecilnya. Suaminya memang turut serta membantu. Namun pekerjaannya yang adalah anggota kepolisian membuatnya tak setiap hari bisa menemani istrinya di rumah untuk bekerja.
Awal pembuatan makanan masih serba manual. Namun saat bergabung dengan Dekranasda, Gladys mendapat bantuan mesin segel plastik sehingga sedikit mempermudahnya dalam proses pengemasan. Sedangkan proses lainnya masih dilakukan secara manual.
Pekerjaan panjang dan melelahkan serta masih manual tersebut harus dilalui Gladys hanya untuk satu tujuan seluruh masyarakat NTT dapat mencintai produk kecapnya yang tanpa kedelai.
“Harapan terbesar kita sih produk kita ini dicintai dulu oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Masa kita kalau sudah kirim barang ke luar negeri, tapi warganya sendiri tidak mencintai produk kita,” ungkap Gladys di sela-sela mememarkan sereh di tangannya.
Namun, satu kekhawatiran Gladys kini ialah berkurangnya petani lontar. Dia menyaksikan sebagian besar petani lontar di Rote berusia di atas 50 tahun . Mereka bekerja mulai dari memanjat pohon lontar yang tingginya melebihi tinggi batang kelapa untuk mengambil air nira. Lalu mereka mengolahnya menjadi gula air.
“Yang naik (pohon) ini kan kebanyakan orang tua. Nah anak-anak muda ini sudah mulai beralih ke digitalisasi yang lebih praktis dan modern. Jadi sebetulnya yang harus diberdayakan ini petaninya. Karena sudah mulai uzur,” kata Gladys. *****
Silakan hubungi nomor +6282131340501 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!