Kupang – Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir berdasarkan jumlah laporan yang ada.
Peningkatan ini tercatat dalam data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 11 April 2023.
Pada 2018 kasus kekerasan seksual di NTT sebanyak 149 kasus. 2019 lalu terjadi 166 kasus dan pada 2020 terdapat 216 kasus. Kasus ini meningkat di 2021 yaitu 309 kasus.
Sementara di 2022 kekerasan seksual yang terjadi di NTT sebesar 429 kasus. Untuk di tahun 2023 sendiri hingga dengan 17 April 2023 tercatat sebanyak 63 kasus.
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU) tercatat sebagai kabupaten dengan laporan tertinggi.
Baca juga : Kekerasan Pada Perempuan dan Anak di Sekolah Naik 3 Tahun Terakhir
Pada 2018 Kabupaten TTU terdapat 34 kasus. Sementara Kabupaten TTS memiliki kasus tertinggi dari 2019 sampai dengan 2022.
Pada 2019 kasus kekerasan seksual di TTS yaitu 47 kasus, 2020 dengan 52 kasus, 2021 dengan 69 kasus dan 2022 dengan 96 kasus. Untuk 2023 ini yaitu per 17 April tercatat sudah ada 19 kasus di TTS.
Direktris Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) NTT, Ansy Damaris Rihi Dara menanggapi ini.
Edukasi mengenai seksualitas dari dalam rumah sudah harus diberikan kepada anak agar aman baik berada di dalam maupun di luar rumah.
Anak-anak perlu mengenali dirinya dan hal-hal apa yang perlu dijaga dari dirinya pribadi. Pengetahuan mengenai seksualitas ini sangat perlu sejak dini sehingga anak-anak tau memperlakukan dan menjaga tubuhnya sendiri dengan baik. Apabila terjadi pelecehan pun, kata dia, anak-anak sudah bisa memikirkan langkah selanjutnya.
“Baik nanti di lingkungan sekitar, sekolah, tempat olahraga, tempat bermain, lingkungan gereja dan lain-lain anak-anak sudah teredukasi,” tukas Ansy.
Baca juga : Direktur LBH Apik NTT Minta Negara Penuhi Hak 9 Anak Korban Kekerasan Seksual di Alor
Sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak dan jenjang pendidikan seterusnya bisa diberikan pengetahuan ini.
Menurutnya kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es dan selalu ada kasus terjadi namun tidak terlaporkan. Pendidikan ini menjadi penting agar korban berani mengungkapkannya.
Menurut dia, banyak hal dapat menjadi pemicu terjadinya tindakan kekerasan seksual yang memerlukan perhatian semua baik itu orang tua, anak-anak, juga pihak sekolah, tokoh agama dan masyarakat, maupun media massa.
Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak. Kerja kolaboratif dan jejaring diperlukan antara stakeholder.
Penyelesaian kasus seperti ini, lanjut Ansy, perlu diikuti dengan proses-proses di luar hukum seperti pencegahan dan penguatan nilai keagamaan maupun psikologis. ****