Kupang – Media Tempo Interaktif pada Juli 2010 lalu pernah menulis dengan judul “Belasan Ribu Warga Nagakeo Bertahan Hidup Makan Ubi Kayu”. Saat itu dilaporkan 12.000 warga di Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) bertahan dengan makan singkong (ubi kayu) akibat gagal panen dan kekeringan yang melanda daerah itu. Singkong dan umbi-umbian telah menjadi penyelamat masyarakat ketika paceklik akibat gagal panen atau faktor-faktor lainnya. Kondisi ini secara berulang terjadi di beberapa wilayah NTT yang belakangan disebut sebagai bencana kelaparan.
Baca : El Nino, Inflasi, dan Makan Tanpa Beli
El nino (kekeringan dan kemarau panjang) sudah diprediksi sejak akhir 2022 lalu. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pun sudah memprediksi dan melakukan sejumlah aktivitas. Salah satunya impor beras untuk menjaga lonjakan harga akibat gagal panen.
Baca : Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Belakangan, beras bantuan pun banjir ke beberapa wilayah yang terdampak langsung kekeringan. Salah satunya Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara umum pemerintah masih yakin bahwa stok beras nasional masih aman, meskipun lonjakan harga terus terjadi di beberapa wilayah. Kenaikan harga antara Rp 2.000 – Rp 3.000 per kilogram (kg) diyakini karena informasi gagal panen di daerah-daerah tertentu saja.
Perum Bulog Kantor Wilayah NTT meminta masyarakat ikut mengawasi penjualan beras di pasaran, khususnya beras Bulog dan melaporkan kepada Bulog jika menemukan pedagang menjual beras di atas harga eceran tertinggi (HET) sebagaimana keputusan Bapanas. Peran media dan masyarakat diharapkan bersama-sama memantau agar beras murah yang disiapkan pemerintah tidak disalahgunakan.
Baca : Laku Tobe, Tumpeng Singkong dari Timor
Seperti biasa, ketika Indonesia kesulitan beras hingga akhirnya impor, terakhir dari Kamboja, maka pangan alternatif pun mulai ramai jadi pembahasan. Singkong untuk sementara menjadi salah satu primadona, meski tidak dijelas tindak lanjutnya.
Beberapa tahun lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pernah mengemukakan bahwa singkong bisa menjadi alternatif. Pekan lalu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso meminta masyarakat tidak khawatir soal kenaikan harga beras. Musim panas ekstrem juga bisa membuat produksi padi nasional turun. Buwas, panggilannya, memberikan alternatif untuk menanam tanaman pangan lain seperti singkong hingga kentang.
“Masyarakat Indonesia tidak usah panik saat tanam walau harga beras sekarang tinggi karena ada pengurangan produksi. Tapi di musim tanam kita ada tanaman lain yang bisa kita manfaatkan, ada ubi, kentang, singkong, dan lain-lain,” kata Buwas di Lottemart Wholesale Pasar Rebo, Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Baca : Lahan Tidur Lanud El Tari Kembali Produktif, 10 Tahun Lalu Pernah Ditanami Singkong
Hampir bersamaan, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kalabahi, Kabupaten Alor, yang berada di bawah Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) NTT berinisiatif menggunakan lahan tidur untuk menanam singkong. Selain antisipasi krisis pangan, dalam laman https://ntt.kemenkumham.go.id juga disebutkan upaya tersebut juga bagian dari proses warga binaan asimilasi yang dikawal Petugas Lapas.
Menanam singkong sebenarnya sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan, minimal sebagai tanaman sela dan cadangan pangan. Singkong yang langsung diolah dari umbi segar hingga umbi kering (gaplek) memiliki karakteristik dan peruntukan yang berbeda. Beberapa daerah memiliki keragaman olahan tradisional singkong tersebut.
Baca : Uwi Ai Ndota, Singkong Cincang dari Ende yang Lezat dengan Kuah Ikan
Lalu apa penyebab tidak banyak yang menanam singkong atau mengapa hanya saat harga beras naik lalu semua ramai bahas singkong? Jawaban umumnya karena pola konsumsi masyarakat sudah bergeser jauh meninggalkan singkong. Petani juga tidak mungkin menanam singkong yang sering tidak dihargai secara layak. Lebih dari itu, menanam singkong “sebenarnya” lebih mahal karena tidak ada insentif alias subsidi seperti padi, jagung, dan kedelai. Singkong tidak ditempatkan sebagai pangan strategis. Kalau menanam dalam skala luas dan butuh pupuk, maka singkong sudah setara dengan sawit. Harga pupuk dan benih untuk padi, jagung, dan kedelai lebih jauh murah karena subsidi APBN. Langkah yang juga dilakukan sebagian besar negara pengekspor pangan saat ini. [Heri SS]