Kupang – Sebanyak 22 Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini berada pada status awas kekeringan.
Per 10 September 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) NTT menyatakan 100% dari total Zona Musim di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah berada dalam periode musim kemarau.
Hari tanpa hujan (HTH) terjadi di beberapa wilayah NTT berturut-turut lebih dari 31 hari hingga lebih dari 60 hari. Serta curah hujan yang sangat rendah (kurang dari 20 mm/dasarian) dengan peluang lebih dari 90%.
Baca Juga: Kekeringan, Harga Beras Naik, dan Tanam Singkong
Kondisi ini akan berdampak pada kurangnya ketersediaan air bersih, lahan yang mudah terbakar, dan pada sektor pertanian.
Menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo, lewat Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi, mengimbau agar jangan biarkan tanah-tanah dibiarkan kosong tanpa digarap walau diserang el nino dan iklim ekstrim.
Jagung dan singkong jadi tanaman pangan yang sejak dulu jadi penyelamat masyarakat NTT dari ketiadaan beras.
Untuk itu diminta pengoptimalan kembali jenis tanaman ini yang cocok ditanam saat kemarau karena tak membutuhkan terlalu banyak air.
“Apapun itu tanam segala jenis tanaman yang bisa tumbuh dan hidup di saat kayak gini. Salah satunya NTT favoritnya singkong dan jagung. Singkong kita dorong, ” Kata Suwandi dalam webinar Singkong Pangan Alternatif dan Kekeringan di Nusa Tenggara Timur, Senin, 18 September 2023.
Baca Juga: Sombu Manggarai, Singkong Kukus dalam Bambu yang Makin Langka
Di kesempatan yang sama, Gestiano Sino, petani di Matani, Kupang yang sejak 2011 lalu bertani dengan mengembangkan sistem pertanian organik terintegrasi menjelaskan, keadaan topografi di NTT yang kering dan berbatu, ditambah curah hujan yang sedikit sebenarnya tak menjadi satu masalah untuk membudidayakan singkong.
“Singkong itu tanaman yang tidak terlalu sulit diurus. Tidak diurus pun dia subur, apalagi diurus. Dia di mana tempat saja hidup yang penting bisa penuhi kebutuhan haranya,” jelas Gesti.
Namun ia menyoroti minimnya perhatian pemerintah pada pengembangan singkong dibanding jagung maupun sorgum. Di mana singkong tak termasuk dalam komoditi prioritas utama nasional.
Padahal singkong dengan kemudahannya untuk dikelola, dapat jadi pangan alternatif masyarakat untuk mengahadapi kemarau berkepanjangan.
Selain itu, kulit singkong dapat dijadikan pakan ternak. Sehingga dalam pengembangannya kebutuhan manusia dan ternak dapat teratasi sekaligus.
Baca Juga: Laku Tobe, Tumpeng Singkong dari Timor
Pada kesempatan itu, Suwandi memetakan tiga hal utama yang harus diperhatikan agar menjadikan singkong sebagai pangan alternatif pengganti beras. Terutama dalam masa el nino seperti sekarang ini.
1. Skala kawasan. Di mana pengembangan singkong diharapkan dikembangkan dalam skala kawasan, skala ekonomi dengan tanpa meninggalkan petani bekerja sendiri-sendiri.
“Jangan kecil-kecil nyebar. Tidak dikelola dengan baik. Tolong menjadi satu kesisteman, terkelola hulu – hilir menjadi satu manajemen, diurus bersama,” katanya.
2. Teknologi Budaya. Ia meminta produktivitas singkong ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan yang ada.
“Produktivitasnya itu berapa ton di NTT? Jangan 15-20 ton. Minimal 30 ton per hektar. Artinya perlu pupuk kompos. Limbah-limbah ternak dimasukan ke daerah singkong itu,”
3. Hilirisasi. Hal ini agar singkong bisa naik kelas dengan pembaruan pada menu dan tampilan. Kata Suwandi, ini jadi penting untuk menjadikan Singkong sebagai produk superior yang juga bisa hadir di restoran maupun hotel-hotel mewah.
4. Cintai produksi dalam negeri. Dengan mengonsumsi pangan-pangan lokal termasuk singkong.
“Di saat kondisi begini, konsumsi pangan lokal. Bagaimana membuat pasar sehingga pasar menjadi berminat pada pangan lokal, salah satunya singkong,” jelasnya. *****