Kupang – Yasinta Ose Herin harus segera melahirkan. Kapal kayu KM Basa Raya telah menunda keberangkatan puluhan penumpang di Pelabuhan Podor demi dirinya seorang.
Wanita itu meringis dibawa lima bidan desa Puskesmas Ritaebang, Pulau Solor, untuk bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Hendrikus Fernandez Larantuka. Mereka benar-benar harus menyeberangi lautan di bawah mendung yang menggumpal.
Kantung ketubannya pecah dengan warna hijau yang sungguh tak biasa. Letak bayinya tak normal. Kaki si bayi yang ada di pintu rahim, bukannya kepala. Ibu muda yang baru kelas 2 SMA ini mengidap asma juga.
Semua tekanan yang menegangkan itu makin berat begitu mereka masuk ke dalam kapal yang berderit diayun ombak.
Perut dan pinggangnya luar biasa nyeri. Yasinta meringis tak tahan lagi padahal selama ini dia selalu diam. Ia baru memeriksakan diri ketika kehamilannya berusia 6 bulan.
Baca juga : Kematian Bayi Terbanyak di Kupang dan Sumtim
“Air ketuban hijau artinya bayinya sudah sesak di dalam,” ucap Koordinator Bidan Puskesmas Ritaebang, Lodofina Barek, yang dihubungi 24 Maret lalu.
Bidan desa inilah yang sibuk mengatur rujukan Yasinta pagi itu, 19 Maret 2024. Lodofina sebenarnya sedang mengurus beberapa ibu hamil di Desa Balaweling I. Ia mendapat telepon dari para bidan di Pondok Bersalin Desa (Polindes) Titehena, Kecamatan Solor Barat. Yasinta merintih di sana.
Segera ia memberitahukan mereka untuk memasang infus dan keperluan lain agar Yasinta bisa dibawa ke Puskesmas Ritaebang. Para bidan juga sigap mencari mobil sewaan lagi.
Rupanya dokter sedang berada di Larantuka untuk ujian spesialis. Petugas puskesmas yang diteleponnya baru menyampaikan ini. Dokter yang segera dikonfirmasinya mengarahkan mereka untuk merujuk Yasinta ke Ibu Kota Flores Timur itu.
Baca juga : Hamil 2 Bulan, PMI NTT Ditelantarkan Perusahaan Hingga Tewas
Bidan selama 28 tahun ini pun mencari jalan keluar. Ia menelepon pemilik KM Basa Raya, Yamin Lewar, yang merupakan kerabat dari suaminya.
“Semua (kapal) motor laut yang menyeberang ke Larantuka tinggal satu. KM Basa Raya harusnya berangkat jam 10 tapi akhirnya tunda. Kebetulan pemiliknya orang asli Pamakayo yang masih keluarga dengan suami saya,” ceritanya.
Mereka harus berangkat dari Pelabuhan Podor yang terhitung lebih lama dibanding dari Pelabuhan Pamakayo. Penyeberangan dari Pamakayo butuh 45 menit sedang dari Podor bisa 55 menit lamanya ke Larantuka.
“Mereka bilang ibu hamil ini sudah tidak tahan lagi, sudah mau melahirkan. Mereka juga sudah memasang infus dua jalur, oksigen juga mereka bawa, semuanya ada, sampai kami siap kantong plastik warna merah yang besar,” runut Lodofina lagi.
Baca juga: Bidan Desa Ernesty 7 Tahun Bekerja Tanpa Listrik, Air Bersih di Mabar
Para bidan menyelimuti wanita 18 tahun ini, menggenggam tangannya, mengawasi mulut rahimnya, memeriksa kondisi wanita itu berkali-kali. Para perempuan yang merawat Yasinta ini mendulang perhatian para penumpang yang ikutan cemas.
Yasinta tak tahan lagi. Semua bidan sudah bersiap untuk persalinannya. Tidak ada pilihan lain. Saat mendekati Tanjung Gemuk, beberapa menit sebelum mendekati Larantuka, peristiwa itu terjadi. Seorang anak perempuan lahir.
Bayi itu tak bersuara. Tubuhnya biru, tak menangis, tapi semua orang gaduh. Bayi kecil itu seberat 2.200 gram. Para bidan berkeringat meskipun angin laut terus datang bersama gelombang. Yasinta kehilangan tenaga.
Bidan-bidan teramat tegang. Mereka memotong tali pusarnya dengan hati-hati, membersihkan jalan nafas bayi itu dengan penghisap lendir sederhana, menepuk-nepuk punggung dan kaki bayi perempuan ini dengan hati-hati. Gerakan kecil mulai nampak.
Baca juga : Pesan Natal Uskup Agung Kupang Tentang Damai, Perang, dan Pemilu
“Akhirnya bayinya juga dengan kulit kemerahan sudah bisa menangis, dibungkus kain dan dibawa turun ke ambulans,” ungkapnya.
Yamin sang pemilik kapal ketika kejadian itu pun segera menyerahkan kemudi pada kerabatnya. Ia mengaku sempat membantu sebisanya proses persalinan wanita asal Desa Titehena, Kecamatan Solor Barat ini.
Pria ini memang pernah bertugas di Puskesmas Menanga selama 12 tahun dan pensiun dini dari jabatannya sebagai kepala bidang pelayanan kesehatan di Dinkes Flotim.
Yamin juga turut menghubungi 2H2 Center Dinas Kesehatan (Dinkes) Flotim untuk menyampaikan apa yang sudah terjadi di atas kapalnya. Seorang anak telah lahir di tengah pelayaran.
“Proses persalinan terjadi secara spontan dalam kondisi itu dan paramedis memang sigap,” tukasnya ketika diwawancarai terpisah.
Ia sempat mengambil gambar kejadian mengharukan itu dan memasangnya di status WhatsApp-nya. Keadaan itu miris dirasanya.
Baca juga : Aparat Desa Bantu Kabur Pemerkosa Anak di Amarasi Timur
Ia ingat benar bagaimana dirinya dan para pemilik kapal lainnya bersedia menunda keberangkatan bagi orang sakit atau ibu yang akan bersalin ke Larantuka.
Yamin memang baru 3 tahun berlayar namun dalam seminggu ia bisa mendapati dua pasien yang harus segera dibawa ke Larantuka karena keadaan darurat.
“Kalau ada rujukan seperti persalinan atau orang sakit pasti kami tunggu,” tekan Yamin.
Semua orang di sana merasakan apa yang dirasakan Yamin. Warga di Larantuka saat itu sudah ramai-ramai menanti Yasinta dan bayinya. Kabar persalinan di tengah laut ini tersiar dengan cepat. Yasinta dan bayi merah itu segera dipindahkan ke ambulans yang sudah bersiaga di Pelabuhan Larantuka.
Kini Yasinta dan putri mungilnya telah kembali ke kampung halaman setelah beberapa lama dirawat di rumah sakit. Kondisi keduanya juga semakin membaik.
Akses Sulit dan Tak Punya Rumah Sakit
Lodofina yang sudah bertugas sebagai bidan desa di Solor Barat sejak November 2000 ini mengatakan persalinan di atas kapal motor ini bukanlah yang pertama kali.
Tiga tahun yang lalu ia sendiri sempat membantu seorang ibu pengidap hipertensi yang hendak melahirkan anak pertama.
Anak laki-laki seberat 1,8 kilogram itu lahir di atas kapal kayu dalam situasi yang miris dan dramatis.
Baca juga : Tewasnya Ibu dan Bayi Yang Baru Lahir, RSUD Larantuka Buka Suara
Solor memang tak punya rumah sakit. Pernah ia dengar rencana pembangunan rumah sakit di Kecamatan Solor Selatan. Belum ada tanda apa-apa sampai sekarang dan ia ragu untuk berekspektasi tinggi.
Jumlah puskemas di Pulau Solor saja menurutnya masih kurang. Begitu pun jumlah bidannya yang belum efektif menjangkau 3 kecamatan di pulau ini.
Pada Kecamatan Solor Selatan sudah ada Puskesmas Kalike. Puskemas Ritaebang di Kecamatan Solor Barat. Ada pula Puskesmas Menanga di Solor Timur. Masing-masing dengan kendalanya.
Puskesmas Ritaebang punya 11 bidan desa yang menurutnya pun belum cukup. Mereka sudah mengusulkan agar 7 bidan ditempatkan di puskesmas itu namun hanya dikabulkan seorang saja.
Ada 14 desa dan 1 kelurahan di Kecamatan Solor Barat dengan kondisi geografis dan akses yang juga sulit dijangkau. Jaringan telepon pun seringkali tidak stabil juga.
Baca juga : Jembatan Tak Diperbaiki, Wanita di Kupang Terjang Banjir Untuk Bersalin
Ia mengatakan 7 desa lainnya berhadapan dengan Kota Larantuka dan punya Pelabuhan Pamakayo. Menurutnya wilayah ini perlu mendapatkan pendekatan pelayanan kesehatan.
“Kalau bisa ya pendekatan pelayanan, dipecahkan lagi untuk satu puskesmas lagi di wilayah utara ini biar sistem rujukan lebih terarah,” tukasnya.
Tujuannya untuk memangkas jarak dari Puskesmas Ritaebang ke pelabuhan apabila akan melakukan rujukan. Puskemas Ritaebang sendiri ada di wilayah barat Pulau Solor dan berhadapan dengan Gunung Lewotobi Laki-laki yang sempat erupsi beberapa waktu lalu.
“Sedangkan desa-desa di sisi utara ini yang lebih dekat ke Larantuka. Ada Pelabuhan Pamakayo,” kata dia.
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya
Meski begitu tetap saja perlu biaya bila menggunakan kapal motor ke Larantuka. Biaya per penumpang Rp 30 ribu dan sewa kapal mencapai Rp 2,5 – 3 juta bila berangkat dari Pelabuhan Podor. Lebih murah dari Pelabuhan Pamakayo karena per penumpangnya Rp 20 ribu dan sewa kapal Rp 500 – 800 ribu. Pelabuhan Pamakayo biasanya memiliki 4 kapal motor yang beroperasi di situ.
Keberangkatan kapal motor ini pada jam 7 pagi, 4 sore, dan jam 8 malam. Ada pula kapal yang berangkat jam 10 pagi.
Biasanya para nahkoda atau pemilik kapal motor tidak memaksa untuk membayar langsung terutama bagi kebutuhan rujukan orang sakit atau melahirkan.
“Sehingga kami lebih memilih di wilayah Pamakayo saja karena di situ bon (utang) juga bisa,” tukasnya.
Baca juga : Jejak Biadab Kanisius Kolin Bunuh Istri dan Ancam 4 Anaknya di Solor
Sedangkan di Solor Timur ada pula kapal yang juga membantu rujukan saat malam hari dan biasanya berangkat dari jam 8 atau jam 9 malam ke Larantuka.
Ia mengakui bila ada pasien rujukan di malam hari maka petugas yang mengantar biasanya harus menginap di Larantuka karena harus menunggu kapal kembali ke Solor jam 9 pagi.
Nahasnya saat gelombang tinggi atau cuaca buruk maka pasien dan petugas tidak bisa berangkat. Mereka terpaksa memberi pertolongan seadanya.
Selain infrastruktur, kendala lainnya adalah pemahaman masyarakat terutama soal keselamatan ibu dan anak.
Lebih sering keterlambatan rujukan persalinan akibat menunggu keputusan keluarga. Maka dari itu, bidan yang telah bertugas 24 tahun di Solor Barat ini mewajibkan suami atau orang tua dari si ibu untuk hadir dalam setiap kelas ibu hamil.
Baca juga : Pasien Keluhkan Surat Keterangan Miskin Tak Lagi Berlaku di RSUD Naibonat
Pemahaman soal persalinan akan ia berikan di situ supaya mempengaruhi keluarga untuk membuat keputusan sesegera mungkin.
“Karena kami juga banyak terkendala karena kadang mereka bilang ya masih menunggu bikin adat ini, urus itu, atau menunggu siapa belum datang, jadi telat kita ke fasilitas kesehatan,” jelasnya.
Hal paling berpengaruh juga ketika para perantau datang dengan pasangan yang sudah hamil tua agar bisa melahirkan di kampung. Biasanya mereka sebelumnya tak pernah memeriksa kehamilan selama berada di rantau.
“Yang jadi beban kita itu sepanjang di perantauan mereka tidak kontrol kehamilannya,” kata wanita yang pernah bekerja selama 4 tahun di Desa Wulandoni, Kabupaten Lembata ini.
Baca juga : Stunting Ancam Indonesia Petik Bonus Demografi 2030 yang Berkualitas
Untuk pemakaian alat kontrasepsi di wilayah Solor Barat sendiri pun terbilang kurang kesadaran karena pasangan kerap malu untuk menggunakannya.
“Lebih banyak orang-orang yang mengerti itu justru tidak mau. Kalau kita omong soal KB mereka tidak peduli. Itu menurut penilaian saya ya. Lain dengan masyarakat yang ijazah SD, itu mereka lebih paham. Mereka yang minta supaya ikut KB karena kasihan istrinya,” jelasnya.
Menurut wanita asal Lembata ini dibutuhkan pemahaman para pasangan baik sebelum menikah, setelah menikah, khususnya lagi agar merencanakan memiliki anak.
“Sehingga ini jadi PR besar lagi untuk kita karena takutnya angka stunting kami meningkat juga. Akhir-akhir ini kami penyumbang bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) banyak itu karena kehamilan remaja dan kehamilan yang tidak diinginkan,” tukas dia. ***