Kupang – Perempuan difabel berisiko lebih tinggi mendapat kekerasan seksual dalam hidupnya. Dengan terlahir sebagai perempuan ditambah disabilitas, membuat perempuan disabilitas punya kerentanan berlapis.
“Fenomena kekerasan seksual ini sangat-sangat rentan terjadi pada perempuan disabilitas. Ketika terlahir sebagai perempuan dan disabilitas, secara identitas punya double kerentanan,” kata Marsinah Dhede, Koordinator tim advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat.
Baca Juga: NTT Punya 46 Ribu Pemilih Difabel di Pemilu 2024
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat, di 2021, 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas terjadi.
Kekerasan ini dialami oleh 264 anak laki-laki disabilitas dan 764 anak perempuan disabilitas.
Dengan jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.
Baca Juga: Perdana, Desa Besmarak Musrenbang Tematik Dengan Difabel
Di 2022, Simfoni PPA merangkum ada 987 laporan kekerasan yang dialami penyandang disabilitas. Dengan jumlah 84 kasus kekerasan terhadap laki-laki disabilitas dan 903 kasus pada perempuan disabilitas. Data ini diambil di seluruh daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yang menyedihkannya lagi, perempuan dengan disabilitas ganda merupakan kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan (27 korban), dan kebanyakan terjadi di ranah personal.
“Kekerasan seksual ini didukung dengan minimnya dukungan dari keluarga. Bahkan banyak yang pelakunya adalah orang terdekat.
Tapi layanan pengaduan masih sulit diakses,” sebut Dhede dalam Diskusi menyoal Kekerasan Seksual Masih Mengancam Disabilitas bersama Sejuk. Pada Senin, 5/12/2023.
Baca Juga: Banyak Difabel Tidak Punya KTP dan KK di NTT
Dhede menyebut, negara sudah banyak mengesahkan sejumlah regulasi untuk melindungi penyandang disabilitas.
Misalnya UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention of The Rights Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Lalu UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juga Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan (PP AYL).
Baca Juga: Pelayanan Publik di Kota Kupang Abaikan Difabel
Pada skala internasional, tertuang di dalam Convention Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) yang telah diundangkan dengan nomor 7 tahun 1984. Indonesia juga jadi salah satu negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
Berkaitan dengan perempuan disabilitas, Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas (UNCRPD) melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011.
“Tapi kenyataan tidak seindah di Undang-Undang. UU itu memang lebih maju dibanding konkret di lapangan. Ada banyak hak-hak disabilitas yang belum terpenuhi,” ujarnya.
Baca Juga: DPRD Kabupaten Kupang Janji Bahas Perda Disabilitas
Ia merinci, hak penyandang disabilitas di bidang pendidikan, kesehatan, hak untuk bebas merdeka. Itu juga masih belum terpenuhi. Ia mendapati ada orang-orang disabilitas yang masih dikurung.
Kemudian soal kependudukan. Di mana masih banyak disabilitas yang belum terdata oleh negara, dan beberapa bahkan disembunyikan oleh keluarga karena dianggap aib.
Oleh karena banyak hak penyandang disabilitas yang masih belum tergapai, maka makin rentan mereka mendapat kekerasan, penindasan, maupun diskriminasi.
Baca Juga: Garamin NTT Desak Penerbitan Perwali Tentang Disabilitas
Tingginya angka kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas dan aturan yang mulai menumpuk, tak mengubah keadaan jika perempuan disabilitas masih disepelekan dalam menggapai keadilan. Dilihat dari banyaknya kasus yang akhirnya mandek di pengadilan.
Dhede menjelaskan ada 4 hal yang membuat kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas tak tuntas penanganannya.
1. Proses pelaporan yang mahal. Akhirnya menghambat para korban.
Disabilitas jelas Dhede susah untuk mengakses layanan tanpa ada hambatan mobilitas. Transportasi publik di Indonesia sangat tidak ramah pada disabilitas.
Beberapa Lembaga nyatakan ada call center, namun ini pun belum bisa diakses oleh beberapa penyandang disabilitas.
“Penyandang disabilitas punya hak dasar hak atas aksesibilitas dan akomodasi yang layak. sarana prasarana yang disediakan harus layak. Yang disediakan di mana pun dan kapan pun,” ujarnya.
Baca Juga: Kota Kupang Peduli HAM, Jauh Panggang dari Api
2. Anggapan jika disabilitas tidak cakap hukum. Sikap Aparat Penegak Hukum (APH) yang cenderung menyepelekan keterangan penyandang disabilitas saat melapor membuat beberapa kasus akhirnya mandek. Bahkan membuat para korban enggan melapor.
Walau sudah diatur dalam TPKS, namun masyarakat masih belum menganggap penting keberadaan disabilitas. Keterangan dari disabilitas masih kurang dianggap. Menempatkan mereka selalu jadi objek bukan subjek.
“Banyak penyandang disabilitas yang ditolak lembaga pelayanan. Kalau terima lebih banyak stigmanya yang dimunculkan. Kesaksian mereka di kepolisian dianggap tidak valid. Ini kebanyakan dialami oleh penyandang disabilitas mental dan intelektual,” jelasnya.
Sehingga korban penyandang disabilitas semakin jadi korban karena cara penanganan yang masih stigmatis dengan korban. Membuat banyak korban pun memutus proses pelaporan mereka.
Baca Juga: Belasan Desa di NTT Sepakat Buat Perdes Inklusi
Pemerintah Provinsi NTT sendiri sedang menyiapkan rencana aksi daerah penyandang disabilitas untuk pemenuhan hak-hak warga disabilitas sejak 2022.
Namun, Theresia Lendes, Fungsional Perencanaan Ahli Muda Bapelitbangda NTT di lain kesempatan menyatakan, hingga kini masih dalam proses penyusunan.
“Tantangan dalam penyusunan RADPD ini keterbatasan APBD dalam mendanai seluruh program RADPD. Lalu ketersediaan data soal penyandang disabilitas yang masih terbatas,” pungkas Theresia. *****