Anak Marlendang Fanggidae, tenaga vaksinator, yang bungsu selalu ingin memeluknya ketika dia muncul di depan pintu rumah saat pulang kerja. Namun, kerinduan membalas pelukan anak berusia 4 tahun itu ditahannya seraya memberikan berbagai alasan. Suaminya memaklumi tindakan istrinya itu.
“Takut saja. Jadi pas sampai rumah tidak bisa gendong anak. Anak lari ke saya tapi tidak bisa langsung gendong,” tutur Endang, begitu sapaannya, usai vaksinasi di S.K. Lerik, 16 Juli lalu.
Dia bersyukur keluarga kecilnya itu paham kondisinya. Bagaimanapun Endang tetap berusaha untuk tidak membawa virus Covid-19 ke rumahnya di Kelurahan Kayu Putih, Kota Kupang, Provinsi NTT. Protokol kesehatan ketat dia terapkan di rumah setiap hari.
Di sisi lain masih banyak masyarakat di Kota Kupang mengabaikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus. Seolah mengabaikan pengorbanan para tenaga kerja kesehatan termasuk Endang, yang berkejar-kejaran dengan waktu untuk melawan penularan Covid-19 di ibukota provinsi NTT ini.
Bagaimana sampai Endang bersedia menjadi tenaga vaksinator yang berisiko terpapar virus mematikan itu?
Endang memberanikan diri menerima pekerjaan baru itu. Proses pelatihan dilalui Endang selama tiga hari dilanjutkan mengikuti simulasi di Puskesmas Pasir Panjang hingga dinyatakan lulus menjadi tenaga vaksinator.
Dia juga menjalani tugas utamanya sebagai tenaga medis di Bidang Perawatan Rumah Sakit S.K. Lerik.Pengujian tenaga vaksinator dilakukan sejak Januari 2021 dan di angkatannya yang diuji ada empat orang sebagai tenaga vaksinator.
Tidak mudah bergerak sebagai seorang vaksinator. Ada kendala, pengorbanan, bahkan kesadaran untuk lebih waspada walaupun sudah tiba di rumah.
Ketersediaan logistik untuk vaksinasi sering menjadi penghambat apalagi di saat timnya bertekad memberikan vaksinasi dalam cakupan besar.
“Saat kami lagi bersemangat logistik kurang, harus dahulukan dosis dua,” kata Endang.
Tenaga dan mental Endang terkuras saat menjadi seorang vaksinator. Mereka beradu dengan kekhawatiran dan berkutat dalam atribut pelindung diri yang lengkap.
Dia melayani vaksin dari pagi hingga tengah hari. Vaksinasi dimulai dengan proses screening yang membutuhkan data dan tanda tangan manual dari penerima vaksin. Data ini yang nantinya dimasukkan ke sistem setelah seluruh proses vaksinasi selesai.
Dia berlindung di dalam pakaian hazmat selama berjam-jam. Pada jam 2 sore bahkan 3 sore hazmat dilepas saat proses input data ke komputer.
Alat pelindung diri yang hanya dapat digunakan sekali itu membuatnya terpaksa menahan buang air kecil. Untuk minum saja dilakukan hanya sesekali, dengan mencari tempat khusus, tidak melepas seluruh alat pelindung diri di bagian wajahnya.
“Rasanya sayang kalau mau istirahat jadi ya sudah semua selesai dulu baru istirahat sekalian,” kata Endang.
Kekhawatiran terpapar virus tetap ada karena melakukan kontak langsung dengan banyak orang setiap kali vaksinasi. Sehingga berpotensi sebagai kurir Covid-19 atau saja orang tanpa gejala atau OTG.
“Ada ketakutan apalagi sudah muncul gejala seperti batuk, pilek, dan sejak varian delta ini ada ketakutan yang tinggi sehingga double masker,” cerita wanita berusia 40 tahun ini. (Ra)