Kupang – Kedua tangan Martina Mamo atau disapa Ina Pehe bergetar saat menyeduh kopi pesanan pelanggannya di Pantai Tedis, Kelapa Lima, Kota Kupang. Dia berusaha berdamai dengan usianya yang sudah uzur demi bertahan hidup dan menghidupi keluarganya.
Satu-satunya pekerjaan yang mampu Ina Pehe lakukan adalah berjualan kopi dan cemilan setiap hari.
“Kita duduk-duduk di rumah ini mau dapat uang dari mana? Harus keluar biar seribu dua ribu juga kita bisa bawa pulang,” kata Ina Pehe membuka percakapan saat ditemui KatongNTT.com pada 5 Desember 2023 jam 5 sore.
Baca juga: Pilu membiru Perempuan Dalam Rumah Tangga
Ina Pehe melayani beberapa pelanggannya yang sedang menikmati senja di Pantai Tedis. Perempuan berusia 75 tahun menjalankan usahanya sebagai pedagang kaki lima sejak tahun 2003. Para pedagang kaki lima di situ menyebut Ina Pehe sebagai pedagang tertua.
Perempuan asal Pulau Sabu ini mengawali usahanya dengan berjualan sirih pinang di emperan toko di Pantai Tedis. Kawasan itu belum sebagus sekarang. Namun dia memutuskan berhenti berjualan sirih pinang setelah petugas keamanan melakukan razia.
Ina Pehe beralih menjadi penjual makanan ringan dan minuman. Dia bersama pedagang kaki lima lainnya mendapat tempat berjualan dan tidak dipungut biaya apapun. Hanya saja tempat berdagang mereka belum permanen.
“Di sini kami belum dapat tempat yang permanen. Jadi kita lihat tempat yang bisa simpan jualan ya kita jualan sudah. Disini tidak ada minta uang( pungutan) apa-apa,” jelas Ina Pehe.
Baca juga: Jumlah Perempuan NTT Yang Nganggur Kembali Bertambah
Dalam sehari, Ina Pehe rata-rata membawa pulang uang kurang dari Rp 50 ribu. Uang itu dia dapatkan dari hasil berjualan dari pagi sampai sore.
“Tidak bisa sampe malam karena saya su tua juga sonde bisa berdiri lama,” ujarnya.
Dari kerja kerasnya, Ina Pehe yang rambutnya sudah dipenuhi uban, tetap bersyukur karena dia mampu menyelesaikan pendidikan 8 anaknya hingga ke jenjang SMA. Suaminya 15 tahun lalu meninggal, sehingga dia mengambil alih pekerjaan sebagai bapak sekaligus ibu bagi anak-anaknya.
Baca juga: Kisah Masyarakat Adat NTT Atasi Perubahan Iklim, Di Mana Pemerintah?
“Saya punya anak ada 8 orang. Semua su menikah su punya anak. Laki-laki 2 orang, yang lain perempuan. Saya pu suami sudah meninggal dari 2008. Dari bajual begini yang saya bisa kasi selesai sekolah anak-anak biar cuma tamat SMA,” tutur Ina Pehe.
Pernahkah mendapat bantuan dari pemerintah? Ina Pehe beberapa saat menarik nafas berusaha mengembalikan memori lamanya. Seingatnya di masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri dia untuk pertama kali mendapat bantuan modal usaha Rp 2 juta.
Baca juga: Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
Ina Pehe juga pernah mendapat bantuan modal usaha saat pandemi Covid-19 tahun 2020 berupa beras dan uang Rp 600 ribu setiap bulan. Setelah status pandemi diturunkan menjadi endemi, bantuan dihentikan.
Saat dulu berjualan di emperan toko di kawasan Pantai Tedis beberapa kali Ina Pehe menerima bantuan dana. Dia yang buta huruf mengurus sendiri administrasi penerimaan bantuan modal kerja itu.
“Kami pergi urus itu saya masih ingat pas mau ambil uang itu saya pake cap saja. Saya bilang di petugas saya ini bukan orang sekolah jadi saya sonde ( tidak) mau tanda tangan, saya cap saja,” tuturnya.
Untuk mempertahankan usahanya saat ini, Ina Pehe meminjam dana dari koperasi sebesar Rp 250 ribu. Setiap hari dirinya mencicil pelunasan pinjaman Rp 10 ribu setiap hari.
Baca juga: Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi UNESCO, Diajarkan di 355 Lembaga Pendidikan Dunia
Dia tidak tahu apakah masih ada bantuan pemerintah untuk pedagang kaki lima seperti dirinya.
“Kalo bantuan lain tidak ada, kalo pun ada kami sonde dapat informasi,” paparnya.
Ada pengalaman menarik yang dikenang Ina Pehe. Ceritanya, dia pernah diminta petugas kelurahan di kawasan wisata itu untuk berhenti berjualan karena usianya sudah uzur. Namun dia tegas menolak saran petugas kelurahan.
“Saya bilang: ‘Bapa kalo saya tidak bajual na nanti pagi-pagi saya dengan saya pu anak cucu pi (pergi) sendok makan di Bapa punya rumah saja.’ Mulai dari situ tidak ada yang tegur saya lagi,” kata Ina Pehe tertawa.
Baca juga: Pameran SANDU SANGGU, Kisah Awal Mula Terciptanya Sasandu
Sambil membereskan dagangannya karena matahari sudah tenggelam, Ina Pehe sempat mengeluhkan harga sembako yang semakin mahal. Sehingga cukup menyulitkan dirinya sebagai pedagang.
“Su (sudah) naik semua sekarang kak. Termasuk gula dengan kopi kemarin saya beli itu harga sudah naik semua. Tapi mau bilang apa lagi. Biar bahannya sudah naik tapi pas bajual kami kasi harga tetap. Bersyukur saja,” ujarnya pasrah.
Ina Pehe berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan masyarakat kecil seperti dirinya. Ia juga meminta agar informasi dari pemerintah terkait bantuan modal usaha dapat menjangkau pedagang-pedagang kecil seperti dirinya.
Baca juga: Perempuan Dalam Politik dari Kacamata Anak Muda Kota Kupang
“Orang-orang yang di atas pasti tahu kami yang kecil. Kalo ada bantuan kami juga bisa dikasi informasi karena kadang pas kami dengar dan kami pergi, nama su ada orang lain dan alasan yang lain. Saya berharap itu saja,” tandas Ina Pehe. (Ayunda)




