Kupang – Di Desa Hewa Flores Timur, ada dua mata air yang kini sudah kering. Sedang sumber mata air lainnya mengalami penurunan debit air akibat krisis iklim yang terus terjadi hingga kini.
Hal ini jelas berpengaruh pada keberlangsungan manusia itu sendiri, dan juga pangan lokal yang ada di sana.
Cindy, satu orang muda di desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang kemudian bersama teman-temannya yang lain tergaung dalam koalisi pangan baik. Mereka kemudian membuat konservasi berupa menanam tanaman bakau di sepanjang aliran sungai. Serta membudidaya pangan-pangan lokal yang kini nyaris punah.
Baca juga: Perusahaan Sawit di Kalbar Siksa Pekerja, 18 Korban dari NTT
Di Agustus 2023 lalu, mereka mendata ada 17 jenis padi lokal, 5 jenis jagung lokal, dan beberapa jenis umbi-umbian dan kacang-kacangan. Yang secara turun temurun diwariskan oleh leluhur, dan yang pastinya sesuai dengan iklim di wilayah mereka.
Namun, oleh karena adanya perubahan iklim, anomali cuaca jadi tak menentu, bumi makin panas, air mulai berkurang, membuat 45,5% petani di Flores Timur mengalami penurunan hasil panen.
“Karena banyak yang gagal panen, atau kekeringan. Trus kemarau berkepanjangan. Jadi ada serangan hama yang begitu banyak, jadi adanya penurunan (panen) pangan,” jelas Cindy dalam Diskusi Media oleh Yayasan Humanis (afiliasi Hivos), SDI – SPEAK Indonesia, SSN – C4Ledger, dan WWF soal Voices For Just Climate Action (VCA). Pada Selasa, 21/11/2023.
Baca Juga: Kaum Muda Desa Hewa-Flores Timur Mendokumentasi 12 Padi Lokal
Selain itu, hegemoni beras sebagai makanan pokok dan agar tak disebut miskin, membuat banyak masyarakagt lokal pun mulai tergantung pada beras dan meninggalkan pangan lokal yang sudah ada sejak dulu.
Di Kecamatan Lewa di Sumba Timur pun mengalami hal yang sama. Christian, pemuda adat dari kecamatan Lewa menyebut meningkatnya suhu panas membuat banyak lahan jadi mudah terbakar. Sumber pakan bagi ternak warga jadi berkurang.
Hutan, sebagai sumber mendapat makanan dan obat-obatan serta tempat ritual masyarakat adat, selama ini pun perlahan-lahan mulai terkikis.
Untuk itu mereka pun mencoba menanam kembali pohon-pohon untuk mempertahankan hutan mereka.
Baca Juga: NTT Kaya Jenis Pangan, Namun Ada yang Nyaris Punah
Apa yang terjadi di dua daerah di NTT ini hanya sekian kecil realitas yang terjadi di Indonesia. Ada masih banyak cerita lainnya dari berbagai wilayah dengan kompleksitasnya masing-masing dalam mengahadapi perubahan iklim.
Namun, apa yang dilakukan oleh masyarakat akar rumput tak akan ada arti jika tak disokong pula oleh pemerintah. Mereka seringkali paling terdampak oleh perubahan iklim, namun selalu jadi pihak terakhir atau bahkan tak dilibatkan dalam membuat maupun mengambil suatu keputusan.
Para pembuat dan pemegang regulasi jika berjalan tak selaras dengan apa yang jadi kebutuhan di desa hanya akan memperparah keadaan.
Memperkuat Pertahanan Dengan Saling Bermitra Antar Masyarakat Rentan dan Pemerintah
Selama periode 2005-2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata ada sekitar 80% bencana di Indonesia berkaitan dengan masalah iklim.
Dampak ekonomi dari bencana iklim juga tak bisa dianggap remeh. Diperkirakan kerugian akibat bencana iklim ini mencapai 115 triliun pada 2024 jika tak ada intervensi lebih lanjut yang dilakukan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Kerugian ini terutama berdampak pada empat sektor prioritas. Yakni kelautan & pesisir, air, pertanian, dan kesehatan.
Baca Juga: Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
Pemerintah Indonesia sendiri sudah berkomitmen melalui Perjanjian Paris/Paris Agreement untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dengan mendorong kegiatan pembangunan berketahanan iklim.
Dengan ini, pemerintah harus berupaya untuk menurunkan emisi karbon sampai 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri. Serta 41 persen pada tahun 2030 jika mendapat bantuan internasional.
Lalu pemerintah Indonesia pada September 2022 lalu, telah memperbarui target komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 nanti. Targetnya adalah 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional.
Untuk mengejar target tersebut melalui skema adaptasi dan mitigasi, setidaknya pemerintah harus menyiapkan anggaran sebesar 4000T.
Baca Juga: Perubahan Iklim, Limbah Makanan dan Pangan Berkelanjutan di Flores Barat
Sayangnya realisasi belanja pemerintah untuk perubahan iklim hanya sebesar Rp 86,7 triliun per tahun atau setara 4,1% dari APBN.
Selain itu, pemerintah Indonesia telah menerima dukungan internasional sebesar USD 1,237.41 Juta dalam bentuk pinjaman dan hibah selama periode 2015 – 2016. Serta periode 2016 – 2020 tercatat menerima pinjaman untuk menangani krisis iklim sebesar USD 15,007,619,555,000 untuk mendanai proyek-proyek berketahan iklim di Indonesia.
Oleh karenanya, menjadi penting melibatkan masyarakat akar rumput yang jelas paling tahu permasalahan dan kebutuhan tanah mereka sendiri.
Baca Juga: Gerakan ‘Akar Rumput’ di NTT Melawan Perubahan Iklim
Pada 30 November – 12 Desember nanti, para pemimpin negara akan berkumpul dalam Konferensi Anggota (Conference of Parties/COP) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke 28. Konferensi ini akan diadakan di Uni Emirat Arab.
Di sana, mereka akan membuat aturan dan acuan dasar yang nantinya diharapkan bisa diterapkan pada masing-masing negara yang terlibat. Hal ini untuk membahas apa tindakan yang dapat diambil untuk melawan perubahan iklim ekstrim.
Pada perheletan tahunan itu, Arti Tjakranegara, Voice of Climate Action Country Engagement Manager, Yayasan Hivos [Humanis dan Inovasi Sosial] Indonesia mengatakan, perlu melibatkan masyarakat rentan dalam kegiatan tersebut.
Baca Juga: Warga Bisa Tuntut Kompensasi dari Pemkot Dampak Asap TPA Alak
Keterlibatan mereka agar upaya adaptasi dan mitigasi tak hanya berjalan secara top-down. Namun juga berasal dari kebutuhan dan pengetahuan lokal.
Pendekatan-pendekatan seperti ini diharapkan menghasilkan solusi yang lebih inklusif, efektif, dan berkelanjutan. Serta sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menanggulangi perubahan iklim secara holistik.
Namun, Arti menyebut, hanya 35% partisapi dari perempuan, dalam delegasi pada COP 27 tahun lalu. Lalu kelompok rentan lainnya seperti kelompok disabilitas pun terbatas keterlibatan mereka.
“Sehingga kami mendorong pemerintah Indonesia untuk menggunakan momentum pasca COP 28 dan proses GST untuk melibatkan Non-Stage Actors (NSA). Dan kelompok rentan dalam membahas tindak lanjut dan kebijakan di tingkat negara seperti pemutakhiran dokumen, dan perencananaan di tingkat subnasional,” pungkasnya.***