Kupang – Yanti Taneo(25), seminggu yang lalu kaget mendapati harga beras sudah naik di pasar Penfui, Kupang, NTT.
Biasanya harga berkisar Rp10.000 – Rp12.500, tapi kini menjadi Rp16.000 per kilonya.
”Jadi beta beli dua kilo sa (saja). Padahal biasa beli 5 kilo. Untuk (kebutuhan) satu bulan punya di kos,” jelas perempuan asal So’e, TTS ini.
Baca Juga: Akhir Februari, NTT Baru Dapat 19 Persen Bantuan Beras
Untuk menghemat beras, ia pun mulai stok mie instan yang banyak di kosannya agar bisa mengganti sumber karbonya.
Sedangkan Bety Zacharias (48), seorang ibu rumah tangga di Maulafa, mau tak mau harus gerak cepat ikut mengantri jika ada pasar murah di kelurahan atau pasar-pasar terdekat.
Ia harus memastikan stok beras di dapurnya aman.
Baca Juga: Prediksi Kementan, Harga Beras Tetap Mahal Jelang Masa Panen
Kebiasaannya untuk menyiasati beras premium jika terlalu mahal, ia selalu mencampur dengan beras kualitas medium sekali masak. Sehingga tak melulu membeli beras premium.
Satu kebiasaan uniknya juga ialah “menyembunyikan” beras.
Beras premium yang sudah dibeli suaminya ia cadangkan 3-4 kg tiap pembelian satu karung beras. Sehingga jika harga beras premium naik, hanya perlu membeli beras medium yang lebih murah lalu dimasak campur.
“Sekarang ju musim jagung toh. Jadi jagung itu juga selingan. Kalo masak beras takarannya lebih sedkit. Seperti biasa masak 5 gelas, kalau ada jagung katong masak 3 gelas saja,” ujar Ibu empat anak ini.
Baca Juga: Bulog Pasok 5000 Ton, Beras di NTT Tetap Mahal
Meski demikian, tak bisa terus berharap dari mengonsumsi jagung ini. Musim jagung hanya bertahan beberapa bulan. Pun mereka tak punya kebun jagung untuk bisa menyimpan stok. Sehingga harapnya harga beras bisa kembali normal dalam waktu dekat ini.
Perempuan, yang diberi tanggung jawab oleh kehidupan sosial dan negara, juga dengan adanya tuntutan budaya patriarki, menempatkan perempuan pada peran-peran domestik.
Tugasnya, untuk menjamin ketersediaan makanan di atas meja makan.
Ketika harga beras naik, perempuan jadi pihak yang paling terdampak atas kebijakan ini.
Maria Loretha, warga desa Pajinian, Adonara Barat menyatakan untuk perbiasakan diri kembali mengonsumsi pangan lokal yang ada NTT.
Baca Juga: Optimalkan Singkong, NTT Bisa Kurangi Ketergantungan Beras dari Luar
Sehingga tak ada yang namanya ketergantungan akan beras.
“Sudah sejak anak-anak kecil, saya sudah biasakan untuk tidak boleh tambah nasi. Tapi ada selingan lain, seperti pisang, jagung, sehingga karbonya itu tidak bergantung pada satu sumber,” jelasnya ketika dihubungi katongNTT, pada 28/2/2024.
Sehingga ketika harga beras naik seperti ini, tidak ada kesulitan bagi keluarganya soal makanan.
“Karena ketika nasi dicampur jagung, dicampur sorgum, atau makan sorgum saja, jagung saja, itu bukan sesuatu yang baru bagi keluarga,” ujar perempuan yang biasa disapa mama sorgum karena dedikasinya dalam menyadarkan masyarakat terkhususnya di Flores Timur untuk menanam kembali Sorgum.
Sehingga menyikapi tingginya harga beras, perempuan 55 tahun ini menyatakan untuk makan kenyang hanya ketika siang.
“Kita tidak akan mati kok kalau tidak makan nasi. Perbanyak makan ikan, makan sayur, makan lauk,” ujarnya.
Baca Juga: Harga Naik, Bulog NTT Hanya Bisa Serap Beras di Ngada
Walau memang susah jika tiba-tiba diterapkan kepada anak-anak yang sudah dibiasakan sejak kecil hanya mengonsumsi nasi.
Namun bisa dengan pelan-pelan mencampur beras dengan jagung, atau sorgum, maupun kacang-kacangan sehingga tak terus bergantung pada beras.
Ia pun mengajak untuk kembali menjadi masyarakat NTT seperti sedia kala yang mengonsumsi jagung dan gula tuak, sorgum, pisang, ubi, dan pangan lokal lainnya yang mulai ditinggalkan.
“Kan konyol sekali kita orang NTT ini, pergi ke Malaysia untuk bisa beli beras satu karung. Atau minum Milo. Kan lucu sekali. Bagaimana agar bisa kembali sebagai orang NTT yang hanya makan jagung dengan gula merah, tapi memiliki tubuh yang bagus,” pungkasnya. ***