Maubesi – “Saya disuruh jaga ayam. Badan tahi (ayam) semua. Saya tidur pun dekat kandang. Makan saya dikasih daun mentah karena saya tidak makan mie, tapi gaji berapa bulan tidak dibayar,” cerita Yohanes mengingat kembali rerentetan kejadian yang dialaminya 20 tahun silam.
Niat hati ingin mengubah nasib hidup menjadi lebih baik di negeri Jiran, nyatanya untuk memakan sesuap nasi secara layak pun jadi harapan besar yang susah didapat kala itu.
Lalu lalang ke beberapa tempat kerja pun tak mengubah fakta jika kekerasan harus tetap ia terima.
Dalam amarah yang kembali meluap, matanya nyalang menceritakan kembali pengalaman pahitnya itu.
“Seburuk-buruknya tinggal di kampung, lebih baik kita kerja di kampung kita sendiri.” katanya.
***
Yohanes Haki (65) awalnya adalah seorang supir di Timor Leste. Di tahun 2000 saat ekonomi sedang sulit akibat krisis Timor Timur, ia mendapat tawaran dari saudaranya untuk bekerja di Malaysia.
“Kerja Supir juga, tapi gaji besar, delapan juta satu bulan, dia bilang begitu,” kata Yohanes menceritakan kembali ajakan saudaranya.
Tanpa pikir panjang, Yohanes yang saat itu menginjak usia 42 tahun berangkat ke Malaysia. Meninggalkan istri dan keempat orang anaknya di Desa Maubesi, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan maksud memberi kehidupan yang layak bagi mereka.
Baca Juga: Ayodhia Tiba Disusul Kiriman Jenazah PMI dari Malaysia
Namun, saat menginjakkan kaki di Nunukan, Kalimantan Timur, kehidupannya mulai tak pasti. Dia berangkat dengan tanpa membawa dokumen. Paspornya baru dibuat saat di Nunukan.
Secara nonprosedural Yohanes diberangkatkan ke Malaysia. Ia sebulan lebih tinggal di satu penampungan sambil menunggu ada yang datang menjemputnya. Sedang saudara yang mengajaknya ke Malaysia sudah hilang kabar.
Ia kemudian ditawari kerja oleh seorang peternak ayam. Dijanjikan gajinya sebesar 2.500 ringgit atau dirupiahkan menjadi sekitar Rp 8 juta saat itu.
Pekerjaannya sehari-hari mengurus ayam. Mengganti air untuk minum ayam empat kali sehari, dan memberi makan pada unggas-unggas itu.
Yohanes tidur dan makan di dekat kandang ayam.
Dia setiap hari hanya makan mi instan dan telur. Oleh karena Yohanes tak biasa mengonsumsi mi, ia dijejal bosnya dengan daun apapun didekat mereka untuk dimakan tanpa diolah terlebih dahulu.
“Saya tidak makan mi. Jadi bos bilang kamu tidak makan mi nah makan daun saja. Jadi daun apapun yang ada dia petik, sese (memasukan secara paksa) ke dalam mulut,” ceritanya.
Baca Juga: PMI Jadi Potensi Devisa Bank NTT
Setiap hari ia meratapi hidupnya yang menyedihkan. Ia ingin pulang, tapi tak tahu bagaimana caranya.
Uang pun tak ada. Gaji yang dijanjikan ternyata diberi lewat saudaranya itu dan kemudian dipotong pada uang perjalanan dari Timor ke Malaysia. Lalu uang pembuatan paspor, serta uang makan dan minum selama perjalanan.
Ketika gajinya diberi ke Yohanes, uang sudah tak seberapa, tapi harus dipotong lagi ke biaya makan dan minum di tempat kerja.
“Jadi sama saja, tidak dapat apa-apa. Tidak bisa kirim uang juga ke keluarga. Berapa bulan juga bos tidak bayar gaji,” kata Yohanes.
Hingga satu waktu, beberapa ayam mati karena Yohanes tak menggganti air minum karena sudah tak ingin bekerja di sana lagi. Kepalang marah, bosnya memukul dan melempar Yohanes dengan batu.
“Untung saya silih (menghindar) cepat, kalau tidak saya punya kaki patah,” ceritanya.
Baca Juga: NTT Terima 100 Jenazah PMI Dalam 8 Bulan
Ia kemudian pindah ke tempat kerja yang lain. Di seorang pengusaha babi hutan. Tugasnya ialah menangkap babi-babi itu.
“Tapi saya tidak biasa, jadi babi ini mereka terlepas. Bos marah dia lempar saya pakai kayu,” ungkap Yohanes.
Hal yang sama terjadi pula pada Edmundus Saunoah dan Aloysius Banusu. Tuntutan ekonomi membuat mereka memilih bekerja ke luar negeri.
Pola yang sama, diajak kerabat dan diimingi dengan gaji yang besar, mereka pun terlena untuk mencoba peruntungan di Malaysia.
Mereka tak mendapat kekerasan fisik yang sama seperti Yohanes, namun Edmundus dan Aloysius yang bekerja sebagai satpam itu tak dibayar gaji mereka berbulan-bulan dengan alasan yang tak pasti.
“Di sana susah. Orang bilang kerja di luar enak. Lebih baik kita kerja di kampung saja,” kata Aloysius.
Baca Juga: Paspor Gratis Bagi PMI, APJATI NTT Minta Imigrasi Percepat Pengurusan
Ketidaktahuan mereka dimanfaatkan oleh orang-orang untuk mengeksploitasi mereka di tempat kerja.
Berangkat dengan tanpa tahu keahlian, minim informasi, dan tanpa dokumen yang lengkap, membuat hak mereka jadi gampang dirampas.
Peternakan dan pertanian yang ‘kering’ di Tanah Timor
Kepala Desa Maubesi, Vinsentius Fomeni menyebut masyarakatnya banyak yang memilih bekerja di luar provinsi maupun negeri karena merasa tak ada yang bisa digarap di desa ini.

Terdapat 862 Kepala Keluarga di desa Maubesi dengan jumlah jiwa mencapai 3021 orang. Data terakhir di 2023 tercatat ada sebanyak 332 warga desa Maubesi yang sedang merantau di luar provinsi maupun luar negeri.
Keadaan di tanah Timor yang dominan merupakan lahan kering dengan musim kemarau yang panjang membuat musim panen di desa ini hanya sekali dalam setahun. Dengan hasil panen yang hanya mampu bertahan sekitar tiga sampai empat bulan.
“Di sini kami tanam jagung, padi ladang, tapi hanya satu kali panen. Karena sudah musim kemarau, air susah,” ungkap Vinsentius saat ditemui di rumahnya pada Senin, 11/09/2023.
Baca Juga: Kekeringan, Harga Beras Naik, dan Tanam Singkong
Kondisi air memprihatinkan. Masyarakat harus membeli air seharga Rp35 ribu – Rp150 ribu tergantung jarak dan besaran air yang diminta.
“Itu pakai hanya 3-4 hari dalam rumah. Belum kalau harus untuk tanaman lagi. Jadi susah,” kata Vinsentius untuk penampungan air ukuran 1.500 liter.
Sedangkan sumur yang tersedia jauh dari rumah-rumah warga. Mereka harus menempuh jarak 200-300 meter dan harus mengantri untuk mendapat air bersih.
Sedangkan untuk peternakan, Vinsentius menjelaskan masyarakat belum mampu memandang ini sebagai prospek ekonomi yang menguntungkan.
“Masyarakat jual sapi hanya saat butuh. Jadi sudah di keadaan kepepet, ya pasti harga kasih murah saja padahal bisa saja lebih tinggi,” jelas Vinsentius.
Minimnya literasi pada masyarakat dan sikap pemerintah yang acuh akan kebutuhan primer masyarakatnya dijadikan alasan bagi warga agar keluar dari desa.
Baca Juga: TJPS Gagal Cegah Warga NTT Jadi PMI Ilegal
Vinsentius mengatakan, ia tak melarang jika warganya hendak mencari kerja di luar negeri. Ia mengaku masih banyak hal yang harus diperbaiki untuk menyejahterakan warga. Namun ia mengingatkan agar berangkat sesuai prosedur yang berlaku.
Yohanes, Aloysius, dan Edmundus adalah tiga dari banyaknya warga yang jadi bukti pahit atas masalah perdagangan orang di NTT.
“Korban sudah terlalu banyak, jadi kalau bisa berangkat sesuai prosedur yang berlaku supaya terlindungi,” pungkas Vinsentius. *****