Kupang – Sejumlah koalisi masyarakat sipil dan kaum muda NTT berkolaborasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim ini sudah dirasakan masyarakat NTT. Misalnya para nelayan sekarang kesulitan mendapat ikan.
Muhamad Mansur Doken dari Komunitas Nelayan Tangkap Oesapa mengatakan, nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan ikan.
Bukan hanya itu, dampak dari perubahan iklim yang sangat dirasakan seperti perembesan air laut ke wilayah tinggal masyarakat dan naiknya air muka laut mengakibatkan banyak perahu warga rusak.
Selain itu, naiknya air muka laut mengakibatkan beberapa rumah warga rusak saat musim barat tiba.
Dalam peluncuran program Voices for Just Climate Action (VCA) atau Suara untuk Perubahan Iklim Berkeadilan, Arti Indallah Tjakranegara, VCA Country Engagement Manager, Yayasan HIVOS menjelaskan, program ini mendorong peningkatan kapasitas dan pembelajaran bagi masyarakat sipil dan kelompok marginal.
Pelibatan komunitas lokal di NTT dan kaum muda mendorong adanya solusi iklim yang berbasis kearifan lokal. Kelompok-kelompok masyarakat rentan mengalami dampak yang lebih besar dari perubahan iklim ini.
“Perubahan iklim ini bukan hanya lebih krisis soal lingkungan tapi isu sosial juga. Karena kita lihat bersama dampaknya ditanggung oleh seluruh masyarakat, benar. Namun banyak kelompok rentan yang dampaknya lebih besar,” kata Arti.
Arti menyebut program VCA berlangsung selama 5 tahun yakni dari 2021 sampai 2025 di 7 negara termasuk Indonesia. Untuk Indonesia, program VCO difokuskan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai tahun ini.
Yayasan HIVOS menggandeng empat koalisi dalam program VCA di NTT. Koalisi ini terdiri dari komunitas-komunitas lokal NTT. Koalisi yang mengambil bagian dalam program ini di antaranya, koalisi SIPIL, koalisi Pangan Baik, koalisi KOPI dan Koalisi ADAPTASI.
Program ini berupaya mengangkat suara masyarakat sipil lebih kencang lagi untuk didengar dan dihargai. Selain itu juga menciptakan solusi bersama masyarakat sipil yang relevan secara lokal, inklusif dan dapat didanai.
Puji Sumedi, perwakilan Koalisi Pangan Baik menjelaskan, perubahan iklim sangat terkait dengan ketahanan pangan. Untuk itu perubahan cara pandang dan kesadaran perubahan iklim ini perlu didorong dan diketahui oleh masyarakat.
“Sistem pangan yang berkelanjutan dan adil untuk semua masyarakat dapat dibangun melalui pelestarian dan revitalisasi sistem pangan lokal yang memiliki nilai budaya dan tahan tinggi terhadap dampak perubahan iklim,” kata Puji.
Puji merincikan, tradisi masyarakat NTT yang menanam beberapa jenis tanaman dalam satu ladang dinilai tepat dalam situasi perubahan iklim saat ini. Namun pola tanam itu saat ini bergeser karena tuntutan produktivitas.
Penggunaan varietas lokal pun seakan mengalami ‘diskriminasi’. NTT yang dikenal punya banyak varietas jagung misalnya, kini hampir punah. Dan varietas itu diganti dengan jagung hibrida.
Praktik-praktik baik kearifan lokal ini yang perlu diangkat untuk menjadi pengetahuan bersama
Selain itu, kesadaran perubahan iklim perlu ditingkatkan. Peranan komunitas lokal dan kaum muda dinilai strategis. Cristian Natalie, perwakilan koalisi KOPI menjelaskan, pihaknya akan berfokus pada komunitas-komunitas anak muda sebagai agen perubahan.
Menurut Cristian , aksi anak-anak muda NTT merespon perubahan iklim harus didokumentasikan dan disebarluaskan. Praktik-praktik baik itu harus menjadi inspirasi dan pengetahuan bagi anak muda lainnya.
“Sudah saatnya cerita positif soal inisiatif pergerakan anak muda di NTT untuk perubahan iklim juga dapat dikonsumsi oleh rekan-rekannya di regional. Ini melalui peningkatan kapasitas kampanye dan akses pada corong media kampanye yang strategis,” kata Cristian.
Simpasio Institut, merupakan salah satu komunitas yang juga berfokus pada isu perubahan iklim. Eda Tukan dari Simpasio Institut mengatakan, praktik yang dilakukan Simpasio adalah melalui dongeng ekologis.
Saat badai Seroja pada April 2021, Simpasio Institut selain mengumpulkan bantuan bagi korban bencana, mereka memagikan dongeng-dongeng ekologis kepada anak-anak.
Simpasio yang terdiri dari anak-anak muda, kata Cristian akan didukung penuh oleh koalisi KOPI. Dukungan yang diberikan berupa pengembangan kapasitas dapat dilakukan dengan menghadirkan fasilitator yang kompeten untuk menghasilkan dongeng-dongeng ekologis.
“Kita mensupport mereka melalui penguatan kapasitas, pembuatan konten-konten digital dan melaksanakan festival dan event,” ungkap Cristian.
Lembaga pemantauan iklim Uni Eropa melaporkan, rekor terpanas secara global terjadi dalam 7 tahun terakhir ini. Copernicus Climate Change Service (C3S) dalam laporannya menyebutkan tahun 2021 merupakan rekor terpanas kelima secara global, sedikit lebih panas dari tahun 2015 dan 2018.
Direktur Eksekutif, Komunitas PIKUL, Pantoro ‘Torry’ Kuswandoro menyebutkan, belum ada penelitian yang lebih spesifik terkait perubahan iklim di NTT. Hal yang sama juga belum dilakukan di Indonesia.
Torry menyebut penelitian terakhir di NTT dilakukan pada 2014. Setelah itu belum ada penelitian serupa. Salah satu hal unik menurut Torry yang menunjukkan perubahan iklim yakni fenomena La Nina yang terjadi 2 kali secara berturut-turut.
“Salah satu yang paling menarik selama 10 tahun terakhir adalah La Nina 2 tahun secara berturut-turut,”kata Torry.
Torry menyebut, biasanya terjadi La Nina kemudian normal dan El Nino. Namun yang terjadi belakangan, La Nina terjadi secara berturut-turut. (k-04)