“Terbersit dalam benak Valens bahwa Pemerintah Daerah NTT dapat mencontoh idenya untuk diterapkan di lahan-lahan tidur.”
Labuan Bajo – Keputusan Valensius Hono, 45 tahun membangun kos ternak babi tak terpikirkan banyak orang sebelumnya. Andai dia lebih memilih membangun kos-kosan untuk para pekerja atau pelajar di atas lahannya yang jauh dari jalan raya dan dikelilingi hutan, tentu dana yang diinvestasikan akan lama mencapai titik break event point atau impas. Apalagi mengharapkan laba, bisa lebih lama lagi.
Pemikiran Valens, nama sapaannya, membangun kos-kosan babi bisa dikatakan out of the box. Kebanyakan peternak babi dalam berbisnis fokus pada babi dan lahan yang dimiliki, lalu menjualnya untuk mendapatkan uang. Valens justru menemukan peluang bisnis yang belum dilirik orang dengan keuntungan yang menggiurkan.
Lahan yang asri di tepi hutan dan dialiri sungai sepanjang 600 meter diubah menjadi kos-kosan babi. Valens menarget orang yang ingin memiliki ternak babi tetapi sibuk dengan pekerjaan utamanya atau tidak punya lahan cukup untuk beternak. Atau karena lokasi lahan yang tidak diperbolehkan untuk beternak babi karena dekat dengan pemukiman warga.
Baca juga: Virus ASF Serang Ternak Babi, NTT Rugi Rp 2,3 Triliun
“Ini hasil meditasi Bapak di tengah malam, “ kata Agatha Kodo, istri Valens saat ditemui KatongNTT di lahan kos-kosan babi milik pasangan suami istri ini.
Valens tertawa mendengarkan ucapan istrinya dan kemudian mengiyakan bahwa ide itu hasil perenungannya.
Dia menuturkan saat banyak orang membicarakan tentang Labuan Bajo menjadi destinasi wisata super premium, terbersit keinginan untuk memiliki lahan. Dia tidak mau hanya jadi penonton ketika para pebisnis kelas kakap menguasai lahan warga dan membangun kerajaan bisnis mereka di Labuan Bajo.
Valens kemudian memberanikan diri membeli lahan seluas 6 hektare yang masih berupa hutan. Air sungai mengalir jernih di dalam hutan. Lokasinya di Wae Cireng, Dusun Merombok, Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
“Saya membelinya seharga Rp 1,5 miliar. Tapi saya tidak keluarkan uang untuk bayar lahan itu. Saya jual beberapa kapling lahan untuk membayar biaya pembelian tanah saya,” ujarnya tertawa.
Saat KatongNTT menyusuri jalan masuk ke lahan kos babi, lahan masih belum diaspal, di sebelah kiri lahan sawah dan kebun warga dan sebelah kanan tebing hutan. Jarak ke lahan milik Valens dari jalan raya sekitar 200 meter.
Akses jalan berakhir di lahan kos babi. Namun, tampak pembukaan jalan dengan meruntuhkan tebing yang berbatasan dengan area kos babi.
“Pemerintah sedang membuka jalan tembus dari sini,” ujarnya.
Struktur bangunan kos babi tampak masih baru. Lantai semen kasar, terbuka tanpa dinding dan beratap seng setinggi sekitar empat meter. Di lantai dasar terdapat 12 kandang berukuran 1 x 2 meter yang diperuntukan untuk satu babi ukuran sedang. Pembatas antar kandang terbuat dari kayu.
“Nanti pembatasnya dari besi, sedang dibuat,” ucap Valens.
Sebanyak 14 ekor babi berada dalam kandang milik dua orang penyewa.
Di lantai 2, menurut dia, sudah di-booking penyewa.Saat KatongNTT menghubungi Valens pada Sabtu, 18 Maret 2023, sudah ada yang memesan kandang untuk 50 ekor babi.

Baca juga: Pengawasan Lalu Lintas Babi Lemah Ancam Efektivitas Biosekuriti Cegah Penularan ASF
“Pemesannya dari Bali, untuk penggemukan,” kata Valens tersenyum.
Pemilik babi akan mengirimkan babinya dari Bali untuk dititipkan di kos milik Valens. Nantinya babi-babi untuk dipasarkan dalam bentuk daging olahan.
Skema Bagi Hasil
Nah bagaimana skema pembayaran sewa kos babi tersebut?
Valens menjelaskan, kandang disewakan untuk pembibitan dan penggemukan babi. Untuk pembibitan, Valens mendapat kompensasi berupa dua bayi babi dari setiap kelahiran. Induk babi biasanya melahirkan 2 kali dalam setahun.
Untuk hewan yang dititipkan untuk penggemukan, Valens memberlakukan pembayaran kompensasi sebesar Rp 1 juta selama setahun. Umumnya penggemukan babi berlangsung hingga usia babi minimal 6 bulan hingga satu tahun.
Penyewa kandang babi diwajibkan menyediakan petugas perawatan babinya. Begitu juga pakannya disediakan penyewa kandang babi.
“Kami sediakan rumah untuk penginapan petugas. Ada empat kamar kami sediakan untuk petugas, mereka tinggal gratis tanpa bayar listrik dan air bersih,” papar Valens.
Valens yang baru enam bulan mendirikan kos-kosan babi telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 150 juta untuk membangun kandang, rumah petugas, dan penyekat antar kandang.
Namun biaya itu akan tertutupi dengan cepat dengan skema bagi hasil yang dia terapkan kepada penyewa. Meski dia enggan menyebut besaran rupiah yang didapatnya. Dia kemudian memberi gambaran 1 ekor babi usia di bawah enam bulan seharga Rp 1 juta dikali 2 ekor anak babi setiap kelahiran induknya. Sedangkan usia rata-rata indukan babi melahirkan adalah 2 kali dalam setahun.
Valens tertawa ketika diperkirakan untung bersihnya bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Dia kemudian menjelaskan, bahwa kos-kosan babi ini baru sebatas uji coba. Sehingga jika masyarakat berminat, maka kos-kosan babi tersebut akan dia kembangkan.
Dia berharap semua babinya sehat di tengah sedang bersemangat membangun bisnis kos-kosan babi. Valens mengaku masih trauma dengan virus African Swine Flu (ASF) yang menyerang NTT pada tahun 2020 dan kembali merebak pada akhir 2022 hingga Februari 2023. Ribuan ekor babi milik warga mati terjangkit virus ini.
“Ya kita masih trauma, tapi kita jangan fokus ke penyakit, kita cegah,” ujarnya.
Setidaknya, Valens dan istrinya telah menerapkan langkah pencegahan dengan memperketat petugas keluar masuk ke kandang babi. Kandang juga dibersihkan secara rutin pagi dan sore. Limbahnya kemudian ditaruh di bak penampungan terbuka.
Pria yang pernah bekerja di satu perusahaan asuransi ini juga berencana memagari seluruh kandang agar terlindungi dari penularan yang dibawa oleh lalu lintas manusia dan kendaraan. Selain itu agar babi-babi merasa nyaman tinggal di kandang.

Baca juga: Australia Bantu NTT Alat Canggih Mampu Mendeteksi 82 Virus Pada Ternak
Lokasi kandang yang jauh dari pemukiman dan dikelilingi tanaman hijau merupakan bentuk dari pencegahan babi terjangkit penyakit. Setiap bulan dia juga mendatangkan petugas kesehatan untuk memeriksa kesehatan babi-babinya.
Menurut Valens, keikutsertaannya dalam Training of Trainers Bijak Beternak : Kenali Potensi Penyakit Menular pada Hewan, pada 3-4 Maret 2023 telah menambah wawasannya. Khususnya tentang upaya mencegah penularan virus ASF (African Swine Flu) yang menekankan pada biosekuriti. Hal ini disebabkan belum ada obat maupun vaksin untuk melumpuhkan virus ini.
Kegiatan yang diselenggarakan dua program Pemerintah Australia di Indonesia, Prisma dan AISHP, serta Dinas Peternakan Provinsi NTT mensosialisasikan pencegahan penularan virus ASF pada babi. Di acara ini para peternak di Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat saling berbagi pengalaman. Mereka juga mendiskusikan peluang dan tantangan dalam berbisnis ternak babi.
Pemda NTT Dapat Terapkan di Lahan Tidur
Terbersit dalam benak Valens bahwa Pemerintah Daerah NTT dapat mencontoh idenya untuk diterapkan di lahan-lahan tidur. Pemda, ujarnya, dapat mengajak masyarakat untuk beternak babi di lahan tersebut.
Pemda NTT dalam kerjasama itu dapat membuat skema bagi hasil berupa retribusi untuk setiap peternak. Misalnya dengan mewajibkan peternak memberikan minimal 1 ekor anak babinya setiap tahun. Satu ekor anak babi dihargai Rp 1 juta. Jika ada 5 ribu ekor anak babi dalam satu tahun dari hasil kerjasama dengan peternak, ujarnya, Pemda mendapatkan pemasukan mencapai Rp 5 miliar.
“Kenapa pemerintah kita tidak melakukan itu? Sementara masyarakat rindu hal-hal seperti itu. Pemerintah belum memikirkan sampai ke sana (kos-kosan babi). Padahal ini peluang. Dari sisi PAD meningkat, dari sisi pendapatan per kapita masyarakat meningkat, pengangguran berkurang, jadi seluruh roda perekonomian berjalan,” pungkas Valens.*****