Oleh: Dominggus Elcid Li
(Anggota Forum Academia NTT , FAN)
KEMATIAN yang datang bertubi-tubi bukan lagi kematian biasa, tetapi telah berubah menjadi tragedi. Berhadapan dengan tragedi yang sudah dilihat sejak awal tidak mudah.
Kematian bisa saja diletakan sebagai sekedar informasi dari jauh yang tidak mempunyai efek kedekatan. Namun, era jaringan sosial, membuat kita saling terhubung satu dengan yang lain.
Karena begitu banyak berita kematian, Facebook (FB) cuma saya buka seminggu sekali. Sebagai generasi FB, media sosial yang satu ini membuat saya merasa punya teman banyak, dan terhubung harian. Namun belakangan ini teman-teman berguguran, tanpa ada penjelasan yang memadai.
Setiap keluarga di Indonesia mengalami kondisi kehilangan seperti ini. Tanpa bisa dikontrol badan bereaksi lain terhadap kabar duka yang bertubi-tubi. Seolah marah, karena sekian saran kepada pemerintah (pusat) maupun elit legislatif (pusat) terutama, tidak didengar. Butuh waktu mengurai kabar duka agar badan pun bisa menerima dengan damai.
Para birokrat di daerah kebanyakan tidak ada inovasi. Pikiran buntu. Untung masih ada Gubernur NTT yang mendukung laboratorium untuk testing massal sejak awal. Untung masih ada pemimpin daerah yang ada nalarnya. Jika tidak di kampung pun, kita akan sangat merasa terancam.
Meskipun harus diakui NTT butuh empat buah laboratorium kesehatan masyarakat sejenis yang mampu melakukan testing secara massal. Desain dalam konteks NTT sudah dipaparkan detil alasannya sejak Juni 2020.
Namun para bupati/walikota bergerak terlalu lambat. Bahkan tidak bisa melihat bahwa dengan kondisi semacam ini, sampai dengan tahun 2024 kita akan ada dalam situasi yang tidak menentu, dan selalu dihantui virus COVID-19.
Cukup aneh, setelah satu tahun banyak pimpinan daerah tidak bisa membedakan antara testing dan contact tracing. Pun tidak mampu membedakan kualitas antigen dan PCR.
Laboratorium test massal yang digagas Forum Academia NTT dinamai Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT. Dinamakan ‘Kesehatan Masyarakat’ karena target pengawasannya adalah masyarakat, untuk test massal, sebagai bagian dari komponen pengawasan (surveillance), sebagai langkah pencegahan.
Dengan cara ini mereka yang rentan, punya penyakit bawaan dan lain-lain bisa kita lindungi. Jika diketahui lebih awal, perawatan bisa dilakukan lebih dini, dan angka kematian bisa dicegah, dan angka yang terpapar bisa diperkecil.
Keluarga pun bisa membawa berapa pun sanak saudara mereka untuk dites, untuk memastikan tidak terpapar, tanpa harus ketakutan harus bayar berapa untuk mendapatkan hasil tes PCR.
Saat ini ada dua jenis laboratorium, laboratorium klinis dan laboratorium komersil. Laboratorium klinis dikelola pemerintah dan menyelenggarakan tes untuk mereka yang bergejala. Mereka yang sakit. Untuk pencegahan kita perlu menyasar mereka yang tidak bergejala. Yang bagian ini masih kosong.
Laboratorium komersil tidak ada nalarnya, mereka membantu menyediakan alat tes untuk orang yang mampu membayar, tetapi tidak dalam skema ‘war against non human actor’. Itu cuma pedagang biasa, menyediakan jasa, jika dibayar. Ya, membantu warga, tetapi tidak ada strategi.
Ruang dagang ini harus diperkecil—jika dirasa terlalu berat. Tetapi jika mampu berpikir hingga detil, ruang ini bisa dibikin gratis. Penguasaan atas detil value chain, alat testing ini harus dipunyai.
Di level menteri kesehatan pun, hal ini harus diperjelas. Harus dibuka road map hingga tahun 2024. Buka strateginya sehingga bisa dikritisi, tanpa embel-embel buzzer atau apa lah. Kita ini mau selamat sama-sama, tidak peduli siapa yang memutuskan. Ini bukan saatnya berpose bagus, pada saat keputusan terbaik belum muncul.
Malapetaka yang dihadapi sekarang, seharusnya bisa dicegah tingkat kematiannya. Sayangnya waktu yang diperlukan untuk bergerak disia-siakan. Waktu adalah kunci ketika berhadapan dengan pandemi. Keputusan yang tepat dan strategis adalah kunci. Dengan strategi yang salah perang melawan non human actor jauh dari kemungkinan bertahan atau pun menang.
Susah sekali memberitahu yang berwenang bahwa testing itu harus gratis. Jika tidak gratis, orang-orang yang pembawa virus, namun tidak bergejala tidak merasa perlu untuk dites.
Siapa yang mau tes, jika 900 ribu hingga 1,5 juta, bahkan 2,5 juta harga tes PCR ? Penghasilan warga yang menurun drastis seharusnya membuat pemerintah berpikir, bagaimana mengendalikan para super spreader yang tidak bergejala.
Saat ini contact tracing hanya menyasar mereka yang bergejala. Mereka yang tidak bergejala tidak menjadi fokus dari tes. Jika pun ada tes dibikin formalitas semata, tidak ada desain yang komprehensif untuk tes massal dalam skala kota.
Semakin lambat bereaksi, semakin banyak yang harus dites. Duit yang dibutuhkan pun membengkak. Kritik dan sekali lagi kritik tidak lah tabu sejauh untuk kepentingan bersama. Sebab anda yang memimpin bertanggungjawab untuk melindungi yang di depan mata, hingga yang ada di pelosok.
Bahwa COVID-19 belum ada obatnya, memang benar. Vaksin pun terbatas karena mutasi terus berlangsung. Namun tugas seorang pemimpin adalah menghindari tragedi. Menghindari kematian beruntun tanpa ada kemampuan mencegah.
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT adalah model laboratorium yang bisa dikerjakan di seantero Indonesia, jika mau. Laboratorium ini didukung oleh pemerintah daerah provinsi, pemerintah pusat lewat Kementerian Kesehatan, Yayasan kemanusiaan, universitas, jaringan akademia, dan masyarakat.
Dengan model ini dari HET test PCR yang ada, bisa ada penghematan 7 kali. Jika kita didukung dengan berbagai aspek bisa lebih rendah lagi, sehingga testing gratis seharusnya tidak membebani pemerintah, jika kita mau berusaha. Hingga hari ini, (15/8/2021) setidaknya 15 ribu orang sudah dites gratis.
Ketika menerima layanan gratis, para warga pun berusaha agar layanan tetap bisa jalan. Jika ada bahan, alat, logistik yang kurang warga pun saling bantu meringankan. Bahkan dengan skema yang ada, list golongan darah diadakan, dan mereka yang sembuh diwajibkan untuk donor darah kepada yang membutuhkan di kemudian hari. Kesatuan batin segala elemen untuk bertahan hidup di masa pandemi sangat diperlukan.
Tes PCR gratis harus bisa diterima oleh seantero warga. Jika inovasi dilakukan di berbagai lini, harga tes PCR bisa ditekan sekecil mungkin. Jika research and development dikerjakan dengan sungguh-sungguh inovasi bisa muncul.
Untuk pengalokasian anggaran terhadap kerja para ilmuwan, butuh keputusan politik. Ini yang tidak dimiliki seluruh elit pemimpin Indonesia saat ini.
Tidak mungkin akan ada pemilu serentak 2024 jika situasi pandemi tidak bisa dikontrol. Risiko akan menjadi terlalu tinggi untuk keselamatan warga. Australia yang ketat saja, menargetkan tahun 2023 baru bisa dibuka, bagaimana dengan kita yang gerak strategisnya melambat?
Buruknya lagi di era pandemi, pemimpin cenderung anti kritik. Situasi emergency dengan mudah menjadi tidak terkendali dan berlarut-larut jika pemerintah enggan duduk bersama dan membahas jalan keluar secara saksama.
Tegas itu penting, tetap memastikan bahwa itu adalah keputusan terbaik ruang diskusi intensif berkualitas terbaik harus mampu diadakan oleh para pembuat keputusan di level negara.
Seperti kata-kata bijak orang tua kita Teuku Jacob di tahun 2004: “Pemimpin harus dapat memilih pembantu-pembantu dan kawan-kawannya yang tepat dalam melaksanakan mimpi-mimpi yang seolah-olah mustahil menjadi kenyataan.”