Perayaan Imlek atau tahun baru Cina merupakan tradisi orang Tionghoa secara turun temurun. Tahun ini, perayaan Imlek jatuh pada 1 Februari 2022. Warga Tionghoa termasuk warga keturunan yang ada di Indonesia turut merayakan hari raya ini.
Warna merah merupakan corak khas perayaan Imlek. Warga Tionghoa akan berseragam merah saat pweayaan Imlek.
Imlek tahun ini adalah shio untuk macan air. The Year of the Water Tiger memiliki arti dinamis, menarik dan tak terduga.
Perayaan Imlek melekat dengan berbagai tradisi. Ziarah ke kuburan, gumam doa dan asap hio yang wangi menjadi khas perayaan Imlek disamping dekorasi merah dan emas.
Sejarah kelam pernah dialami warga Indonesia keturunan Tionghoa. Suasana perayaan Imlek yang semarak hampir tak terlihat selama 30 tahun lebih. Inpres nomor 14 Tahun 1967 merupakan awal pelarangan bagi keturunan Tionghoa dalam melaksanakan tradisi adat istiadat dan ritual agama mereka.
Dalam buku Imlek dan Budaya Cina di Indonesia (2019) yang disusun Pusat Data Tempo, mewahnya perayaan Imlek dengan keragaman budaya yang bisa kita saksikan saat ini sudah pasti tidak terjadi ketika zaman orde baru. Kerasnya pemerintahan saat itu bahkan tidak mengizinkan atraksi kesenian dengan bau-bau budaya Cina. Jangankan melakukan di ruang publik, di lingkungan sendiri pun akan dituduh subversif.
Arif Budiman, Pengajar di Universitas Melbourne, Australia menyebut, kelahiran aturan tersebut tak lepas dari rivalitas Angkatan Darat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. Meski peraturan tersebur masih membolehkan pesta agama dan adat dilakukan dengan catatan tidak mencolok, pada prakteknya aturan itu disalah tafsir.
Emilia Sendjaya, salah satu warga keturunan Tionghoa di Kupang menjelaskan, semarak perayaan Imlek masa orde baru tidak semeriah saat ini. Pengalamannya dari tahun 1970-an, meski tak semeriah saat ini, perayaan tetap dilakukan dalam keluarga. Mereka tetap berdoa dan mengunjungi keluarga.
Emilia menjelaskan, perayaan tahun baru bagi warga keturunan Tionghoa memiliki makna tersendiri. Pergantian tahun itu merupakan pergantian daya yang punya rezekinya tersendiri.
“Kami tetap berkunjungan ke keluarga, karena itu tradisi yang tidak bisa kami hilangkan,” kata Emilia di rumahnya yang berada di BTN Kolhua, Senin (31/1/2022).
Satu hal yang dirasakan oleh Emilia pada masa itu adalah saat dimana dia harus menjalani sidang untuk mengganti nama. Warga Tionghoa keturunan tidak diizinkan memiliki nama Cina. Sampai saat ini dia sendiri belum mengerti alasan mengapa mereka diharuskan berganti nama. Namun sebagai warga negara yang baik, dia tetap taat.
Selama masa itu, kata Emilia, tidak ada pertunjukkan budaya seperti tarian Barongsai. Setelah Pemerintahan Gus Dur mengeluarkan Inpres Nomor 6 tahun 2000, perayaan Imlek bisa dilakukan tanpa batasan.
Setahun setelah Inpres itu dikeluarkan, pada 9 April 2001, Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur. Gelombang pengkuan terhadap orang Tionghoa di Indonesia itu membawa perubahan besar dalam perayaan Imlek.
Di Kota Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), nuansa perayaan Imlek pun semakin meriah dengan menampilkan tarian barongsai. Toko-toko besar, sampai instansi pemerintahan kini mulai memasang berbagai ornamen berciri khas Imlek.
“Dulu di Kupang itu tidak ada pertunjukkan Barongsai pada zaman orde baru. Tapi setelah ada penetapan Imlek sebagai hari libur, setiap kali Imlek di Kota Kupang selalu ada pertunjukkan Barongsai di jalan raya,” jelas Emilia.
Emilia merasakan suasana yang berbeda dalam perayaan Imlek akhir-akhir ini. Dalam keluarga, yang paling berkesan dan masih dilakukan hingga saat ini adalah momen berkumpul dengan keluarga.
Emilia mengenang masa-masa bersama Opanya. Kala itu, setiap kali Imlek, anak hingga cucu diwajibkan ikut dalam ritual doa. Namun akhir-akhir ini, yang dia alami ritual doa itu hanya dilakukan oleh orang tuanya.
“Doa pada jam 12 malam atau akhir tahun itu sekarang hanya dilakukan oleh orang tua saya. Makanan dan buah-buahan itu selalu disediakan untuk makan bersama,” ujarnya.
Vivian Tjung, anak dari Emilia mengatakan, momen paling berkesan adalah mengunjungi keluarga dan angpao. Bagi mereka anak-anak Tionghoa, angpao adalah hal yang dinantikan saat Imlek. Kebiasaan mengunjungi keluarga itu dimulai dari keluarga yang lebih tua.
Salah satu yang diingat Vivian adalah saat berziarah ke makam lelulur. Vivian merupakan cucu buyut dari Ang Hauw Lang, orang Tionghoa yang punya peranan penting dalam kemerdekaan Indonesia yang membawa surat-surat Soekarno saat sang Proklamator itu dipenjara di Ende.
“Saat ziarah itu, kita selalu disuruh oleh orang tua meminta kepada leluhur untuk melindungi kita, memberi kita rezeki,” ujar Vivian.
Ziarah itu dilakukan sehari sebelum perayaan Imlek. Selain membersihkan makam, persiapan berupa buah-buahan, makanan, minuman akan dibawa dan disajikan di makam leluhur. Salah satu tradisi yang lekat adalah membakar uang kertas. Mereka percaya, uang kertas yang dibakar itu akan sampai pada leluhur mereka.
lagu-lagu Mandarin selalu berkumandang dalam perayaan Imlek. Vivian yang mahir memainkan Sasando, alat musik khas NTT dari Rote Ndoa, selalu mengiringi nyanyian itu.
Selama pandemi Covid-19, perayaan Imlek yang dilakukan orang Tionghoa di Kota Kupang tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, kelonggaran melaksanakan kegiatan yang menghimpun banyak orang, memungkinkan perayaan Imlek bisa kembali semarak. Namun perayaan ini tentu tetap memperhatikan protokol kesehatan.
“Harapan saya, Imlek menjadi momen pemersatu anak-anak bangsa tanpa ada sekat-sekat suku, ras dan agama karena kita adalah satu dalam Nusantara,” tandas Emilia. (K-04)