Kupang– Panas terik siang itu mengantarkan kami ke satu pengrajin tenun ikat di jalan Cek Dam II, Kelurahan Manutapen, Kota Kupang, Provinsi NTT. Melewati jalanan terjal dan berbatu, kami akhirnya tiba di rumah Marselina Here, atau biasa disapa Ina Koro.
Perempuan berusia 48 tahun itu sudah sejak kelas 2 SD berlatih menenun dari ibunya. Keturunan dan lingkungan di kampung halamannya, Sabu Raijua, yang memang rata-rata mencari nafkah dari menenun. Ini membuat Ina Koro melanjutkan warisan tersebut.
Ketika pindah ke Kota Kupang pada 1998, Ina Koro mulai menyambung hidup dengan menjual tenunannya ke toko-toko di kota karang ini. Tenun ikat yang halus dengan motif bervariatif dibandrol dengan harga Rp 600 ribu per lembar kain sarung. Tenun ikat buatan tangan Ina Koro disukai para pembeli karena halus dengan motif bervariasi.
Kain tenun dengan motif dari Timor, Flores, Sumba, Sabu, Rote, hingga motif etnis Helong, yang sudah jarang ditemui itu, dia kerjakan semua. Hingga pada 2019, Ina Koro masuk ke Dekranasda NTT sebagai pemasok tetap kain tenun hingga kini.
“Karena kata bunda Julie (Julie Sutrisno Laiskodat, Ketua Dekranasda NTT-Red), tenunan saya ini rapi, padat, jadi mereka suka. Kan kalau tidak rapat, motifnya bengkok, tidak jelas.” kata Ina Koro pada Sabtu, 7 Mei 2022 .
Ina Koro bercerita tentang hidupnya sambil menggulung benang atau disebut lolo. Sang suami ikut membantunya menggulung benang.
Hasil tenunan yang berkualitas inilah yang membuat Ina Koro menjadi satu-satunya penenun di kawasan tempat tinggalnya yang masih bekerja sama dengan Dekranasda NTT.
“Di sini ini kampung tenun. Jadi semua di sini kerjanya tenun. Awalnya kami sekitar ada lima orang yang dipanggil Dekra, tapi hanya saya saja yang masih tetap jual di Dekra” jelas perempuan berlesung pipi ini.
Hal tersebut membuat jumlah pesanan Ina Koro melonjak. Durasi kerja pun harus ditambah serta kreativitas dan multitasking perlu diterapkan dalam dirinya guna menjaga kepercayaan pelanggan. Menenun dua selendang sekaligus, serta mengolaborasi motif dari dua daerah yang berbeda ke dalam satu kain sarung atau selendang menjadi hal yang dilakukan Ina Koro untuk tetap mempertahankan kualitas dan kuantitas tenunannya.
Ina Koro pernah menerima bayaran Rp 38 juta dari penjualan tenun ikatnya di Dekranasda NTT. Dia pun semakin bersemangat menjalankan bisnis tenun ikat tersebut.
Di ruang tengah rumah, terdapat etalase display puluhan tenun ikat yang disusun rapi.Tampak beberapa gulungan benang kapas putih untuk tenun di rak bawah etalase. Barcode QRIS diletakkan di atas etalase. “Untuk memudahkan pembayaran kalau nga bawa uang tunai,” tuturnya seraya tersenyum.
Ina Koro berusaha memudahkan pembeli tenun ikat yang datang ke rumahnya. Era digital perbankan saat ini menawarkan berbagai kemudahan transaksi bisnis. Dia memanfaatkan kemudahan transaksi bisnis.
Begitupun, Ina Koro tetaplah manusia biasa yang juga masih menanggung beban sebagai ibu rumah tangga. Ada rumah beserta isi dalam rumah yang perlu diurus. Sehingga untuk mempermudah dan mempercepat kerjanya, ia dibantu oleh suami dan keempat orang putranya. Hebatnya, suami dan ketiga putranya kini malah jatuh cinta untuk menenun! *****
Silakan hubungi nomor +6282146220554 jika berminat untuk membeli produk UMKM ini. Ayo kita dukung kemajuan UMKM NTT!