Oleh: Yulius Suni, Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang, Mahasiswa S3 (Dr (c)) Teknik Sipil UGM Yogyakarta.
- Aspek Geoteknik dan Sedimentasi
Idealnya lokasi bendung/bendungan pada palung sungai yang stabil dengan jenis batuan penopang tebing seperti sandstone atau limestone. Lokasi yang memenuhi syarat geoteknik tersebut dapat mengamankan struktur bendung/bendungan dari longsor. Dalam hal longsor, hasil kajian Risiko Bencana Kota Kupang tahun 2016 menunjukkan bahwa potensi bencana longsor dikategorikan tinggi pada semua kecamatan di Kota Kupang.
Penelusuran data dan informasi bencana Indonesia (DIBI) menunjukkan bahwa hampir setiap tahun terjadi bencana longsor (lihat tabel di bawah ini). Kejadian longsor terbanyak terjadi di kelurahan Kolhua, Oebufu, TDM, Liliba terutama di bantaran sungai (Petuk-Liliba).
Tahun | Jumlah Kejadian Bencana Banjir | Jumlah Kejadian Bencana Tanah Longsor |
2021 | 1 | 1 |
2020 | – | – |
2019 | – | – |
2018 | – | – |
2017 | – | 1 |
2016 | – | – |
2015 | 1 | 2 |
2014 | – | 1 |
2013 | – | – |
2012 | – | – |
2011 | 4 | – |
2010 | – | 1 |
2009 | 2 | 1 |
2008 | 1 | 1 |
Total | 8 | 7 |
Sumber: (DIBI BNPB 2020)
Dengan pilihan membangun bendungan pada sungai Petuk (Liliba) berarti diperlukan biaya yang lebih tinggi untuk pengamanan tebing sungai. Sebagai tambahan, penanganan longsor secara rutin di bagian hulu menjadi krusial untuk dipertimbangkan. Selain persoalan longsor, hal lain yang penting dipertimbangkan adalah sedimentasi.
Salah satu studi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Baki yang merupakan daerah tangkapan air hujan Bendungan Tilong menemukan persoalan sedimentasi yang cukup serius. Hasil penelitian Nuban (2015 dalam Riwu Kaho, et al (2016) menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan tanah dari 6 lokasi pengamatan di DAS Baki melalui erosi aktual on site adalah 6.17 ton/ha/tahun.
Dengan demikian, hal ini tentu membawa dampak terhadap kemungkingan terjadinya sedimentasi (pengendapan) termasuk pada bendungan Tilong yang berdampak pada penurunan kapasitas tampung (carrying capacity) bendungan. Pada usia ke 18 tahun bendungan Tilong mengalami penurunan drasti volume tampungan akibat sedimentasi, dari 19,7 juta M3 menjadi 3 juta M3 pada tahun 2020 (Media Indonesia 22/08/2020).
Kasus ancaman sedimentasi juga terjadi pada infrastruktur sumber daya air lain seperti embung. Sebuah studi dengan melakukan survei langsung terhadap tiga unit embung di Kota Kupang (Dethan & Pelokilla, 2014). Hasil kajian menemukan bahwa volume tampungan embung sangat terancam karena tingginya sedimentasi pada kolam tampungan embung.
- Aspek DAS
DAS merupakan suatu bentang lahan yang dicirikan dari punggung bukit/gunung yang sama yang berfungsi sebagai batas (river divide) dimana setiap presipitasi (hujan) yang jatuh pada setiap outlet DAS akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui satu sungai utama. Hatmoko & Adidarma (2014) menyatakan, besarnya debit aliran sungai dan jumlah air di danau, embung, bendungan atau waduk bergantung pada input curah hujan pada DAS dan karakteristik DAS seperti tata guna lahan, topografi, geologi serta campur tangan manusia dalam menggunakan air.
Untuk daerah tangkapan air rencana bendungan Kolhua berada pada DAS Liliba. Luas keseluruhan DAS tersebut berdasarkan analisis GIS adalah 1.665 hektare, termasuk kategori DAS berukuran sangat kecil (di bawah 10.000 ha). Sedangkan luas daerah tangkapan air hujan untuk calon bendungan Kolhua berkisar antara 80 – 100 hektare.
Potensi tampungan rencana bendungan Kolhua adalah 6.1 juta m3. Kapasitas tampungan tersebut lebih kecil dari bendungan Manikin (28,2 juta m3) yang sedang di bangun di kabupaten Kupang.
Di Manikin hampir tidak ditemui persoalan sosial sebagaimana terjadi di Kolhua. Ketika air baku di Tilong dapat dialirkan ke Kota Kupang, mengapa tidak merencanakan hal yang sama untuk bendungan Manikin yang lebih dekat dengan Kota Kupang. Bukannya infrastruktur distribusi air baku lebih murah dari pembangungan bendungan? Mengapa tidak ada terobosan manajemen distribusi air baku dari sumber-sumber pasokan air yang ada?
Selain persoalan sosial yang nyata sekarang, ada persoalan lingkungan lain yang perlu dipertimbangkan. Sebuah kajian di DAS Liliba menemukan bahwa perubahan tataguna lahan cukup signifikan (Soetedjo, Rozari dan Leo 2021). Hasil studi menunjukkan penutupan lahan tipe pemukiman meningkat dari 20.39% pada tahun 2008 menjadi 48.47% pada tahun 2018. Penurunan semak belukar sebesar 19.73% pada tahun 2008 menjadi 0% pada tahun 2018.
Penurunan kawasan hutan sekunder dari 15.45% pada tahun 2008 menjadi 10.14 % pada tahun 2018. Perubahan penutupan lahan tersebut dapat mengganggu kualitas air baku di DAS Liliba. Ini menunjukkan bahwa daya dukung DAS Liliba rendah.
- Modernisasi Pengembangan Sumber Daya Air
Pilihan pembangunan bendungan untuk memenuhi kebutuhan air baku merupakan pendekatan berbasis supply management. Ciri-cirinya antara lain perencanaan terpusat, pemerintah sebagai perencana dan pelaksana, harus ada pembangunan infrastruktur baru, sumber pendanaan adalah uang negara. Sejak tahun 1980an, pendekatan ini telah ditinggalkan berbagai negara. Namun di NTT, pilihan ini masih menjadi idola pemerintah karena serapan dana yang fantastis.
Dalam modernisasi pengelolaan sumber daya air, pilihan yang digunakan adalah demand management. Ciri dari pendekatan ini adalah melihat keterbatasan air sebagai fakta, mengembangkan metode penghematan air bagi setiap konsumen termasuk daur ulang penggunaan air, mengurangi pemborosan air, pendekatan ekonomi terhadap pemanfaatan air, penciptaan insentif terhadap pemanfaatan air yang memenuhi syarat efisien, menghindari investasi baru yang mahal, menghindari kerusakan lingkungan, dan ada peran sektor swasta dalam pengelolaan air.
Untuk hal yang terakhir, sebagian warga Kota Kupang mengandalkan air tanki (swasta) dalam penyediaan air untuk kebutuhan domestik karena ada kepastian suplai dan harga. Sedangkan air dari jaringan perpipaan PDAM beroperasi sekali seminggu dengan jumlah pasokan yang tidak pasti.
Hingga saat ini belum ada inovasi tentang penghematan air di Kota Kupang. Kita belum menemukan fasilitas publik yang memiliki area penampungan air hujan skala besar yang kemudian dapat dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan misalnya toilet, taman dan lain-lain.
Lahan penampungan air hujan dapat dibuat di bawah lahan parkir ataupun hall gedung-gedung publik. Dengan demikian lokasi penampungan air tidak mengganggu peruntukan kawasan secara spasial. Kita juga belum menemukan daur ulang penggunaan air domestik. Ada potensi sungai bawah tanah di Kota Kupang tetapi belum dioptimalkan. *****