Pengantar:
Redaksi KatongNTT.com melakukan liputan jurnalistik tentang temuan puluhan gua pertahanan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang. Kami akan menurunkan hasil liputan secara berseri (1 – 4 tulisan) tentang benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang yang terbesar di Indonesia.
Berawal dari cerita kenangan masa kecil warga tentang gua yang mereka sebut lubang untuk bermain di masa mereka kecil. Cerita dari mulut ke mulut yang kemudian ditelusuri sepasang pendeta majelis Gereja GMIT Mizpa di Kampung Bonen. Hasil penelusuran itu mengungkap kemungkinan gua-gua ini sebagai benteng pertahanan bawah tanah pasukan Jepang. Temuan ini dinilai memperkaya sejarah peran Pulau Timor dalam Perang Dunia II yang kurang mendapat perhatian serius pemerintah daerah selama ini.
Dinamai “Kristal” karena air yang masuk ke dalam gua sudah mengkristal, seperti Labirin belum ditemukan ujungnya.
Kupang – Tepat pada 3 Juni 2022 kami memulai penelusuran puluhan gua warisan tentara Jepang di Kampung Bonen, Desa Baumata, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasinya tidak jauh dari Kota Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit naik sepeda motor dari arah bandara El Tari.
Perjalanan perdana kami, tim KatongNTT.com membutuhkan kesabaran untuk mencari informasi letak gua. Beberapa kali bertanya pada warga yang dijumpai tentang keberadaan gua Jepang ini. Semuanya menjawab gua peninggalan Jepang hanya ada di depan gereja Lanud El Tari, Penfui.
Kami pun bergegas ke tempat yang ditunjuk warga, namun tempat tersebut tak sesuai dengan informasi yang kami dapatkan. Tim komunikasi Ketua Dekranasda NTT, Julie Laiskodat melalui pesan Whatsapp menginfokan tentang temuan gua di Kampung Bonen. Bahkan istri Gubernur NTT ini memutuskan menyusuri gelap dan lembabnya gua menjelang matahari terbenam.
Hampir tidak ada informasi tertulis tentang keberadaan puluhan gua di Kampung Bonen. Informasi di website berita pun baru ditemukan pada kurun waktu akhir 2021. Ketika seorang pendeta bernama Otniel Dhany Liu atau disapa Dhany memuat informasi tentang gua-gua itu pada akun Facebook miliknya.
Kami tak sengaja bertemu Pendeta Ishak yang melayani di Jemaat Lanud Penfui. Dia tidak mengetahi keberadaang gua itu, namun dia mengetahui keberadaan Gereja Mizpa di Kampung Bonen.
“Mari, saya antar tidak jauh dari sini,” kata Pendeta Ishak sambil membawa keluar sepeda motornya dari dalam rumah.
Kami melintasi jalanan tanpa aspal menanjak dan berbatu menuju Gereja Mizpa. Sepasang pendeta yang bertugas di gereja tersebut sudah menunggu kami.
Dhany bersama istrinya, Pendeta Deazsy Liu-Tatengkeng menyambut kami dan berbagi banyak cerita tentang puluhan gua itu. Cerita-cerita itu mereka peroleh dari masyarakat setempat. Pasangan suami istri inilah yang berinisiatif membongkar kembali gua-gua di Bonen. Tak hanya satu, tapi gua yang sudah terbuka sekarang kurang lebih 52 gua. Masih ada gua lainnya yang belum dibongkar.
Beberapa Jemaat Mizpa Bonen menjadi saksi mata saat Jepang menguasai Pulau Timor dan membangun benteng pertahanan di kampung tersebut. Beberapa yang berusia lebih muda mendapatkan cerita dari orang tua mereka terkait kehadiran pasukan Jepang.
Dhany yang juga punya kertarikan lebih akan sejarah, menceritakan dengan antusias tentang penemuan gua-gua itu. Dia berinsiatif menggali gua-gua dengan mengajak warga Bonen. Mereka menamai kegiatan itu ekspedisi.
Hasilnya, mereka menemukan lokasi gua ada tepat di depan, samping, belakang, bahkan di bawah rumah-rumah warga. Bahkan di sisi kanan Gereja Mizba ditemukan gua.
Memberi Nama Gua
Selain itu berbekal riset data, Dhany membuat analisa terkait mengapa Jepang memilih kampung Bonen. Dan, bagaimana konstruksi di dalam gua berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan Jepang saat itu.
Hal ini membuat kami makin penasaran untuk segera menelusuri gua yang disebut sebagai benteng pertahanan terbesar Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II.
Kami lalu diajak menyusuri beberapa gua yang sudah lebih dulu ditelusuri oleh Dhany dan pemuda setempat. Bahkan, mereka sudah mengidentifikasi dan memberikan nama sementara pada beberapa gua yang telah ditelusuri.
Pada tepat jam 12.19 waktu setempat, kami memasuki dua gua Barak Tentara yang terhubung langsung dengan gua Pantau Satelit.
Gelap, lembab, dan dingin. Begitulah suasana gua saat pertama kali kami masuk. Dengan nyala senter yang dibawa Dhanny, kami menelusuri lebih dalam lagi.
Hujan baru saja mengguyur wilayah tersebut sekitar satu atau dua hari yang lalu, membuat tanah yang kami di dalam gua lembab. Pada gua pertama, kami menyaksikan coretan-coretan di dinding gua yang dicurigai sebagai huruf kanji Jepang. Tentunya memiliki arti bila diteliti lebih lanjut.
Dinding yang lain bekas pahatan, tanpa ada coretan berarti. Beberapa pahatan ditemukan di dinding gua saat kami menyusuri lebih dalam. Dhanny menyebutnya sebagai tempat penyimpanan lampu atau obor saat itu.
Semakin dalam menelusuri gua, kami merasa sejuk seperti menggunakan pendingin ruangan. Akar pohon tampak melintang di jalur lorong gua. Kelelawar beterbangan.
Saat tiba ke gua Pantau Satelit, perjalanan kami harus dilakukan sambil jongkok karena pahatan gua yang rendah. Lalu sedikit menunduk, dan beberapa meter ke depan kami berjalan berdiri karena konstruksi gua yang sudah lebih tinggi.
Di penghujung gua, kami harus naik ke tingkatan gua yang lebih tinggi, namun tak ada tangga. Untuk itu, Dhanny beserta beberapa pemuda kampung Bonen meletakkan tangga kayu .
Setelah itu kami naik ke tingkatan gua yang lebih tinggi yang menembus ke bukit Fatusuba. Kini sudah ada pahatan tangga yang terbentuk. Berakhir di atas bukit Fatusuba, yang secara jelas di bagian Barat menunjukan wilayah laut dan bandara Lanud Penfui di Kupang, di bagian timur wilayah Australia.
Menjadi masuk akal saat kenyataan itu terlihat. Memaparkan secara tersirat mengapa kampung Bonen dipilih Jepang sebagai benteng pertahanan mereka saat Perang Dunia II. Pemilihan lokasi yang strategis ini tidak lepas dari mata-mata tentara Jepang yang sudah lebih 10 tahun di Pulau Timor.
Tiga minggu berlalu, pada 24 Juni 2022, kami kembali ke Kampung Bonen. Misi kali ini adalah menyusuri beberapa gua lainnya. Sekitar jam 10.00 pagi kami tiba di Geraja Mizpa Bonen. Setelah menunggu beberapa saat, kami bersiap melakukan penelusuran didampingi Dhany.
Gua Berkonstruksi Unik dan Mistis
Penelusuran ini menjadi perjalanan yang lebih berkesan karena mengunjungi beberapa gua dengan konstruksi unik dan mistis. Ini berbeda dari gua lainnya.
Pertama, gua Panglima Perang. Untuk masuk ke dalam, kami turun melalui sekitar 32 anak tangga. Sampai ke bawah, kami masuk ke satu kamar yang disebut Dhanny sebagai kamar panglima. Pemberian Nama “panglima” berdasar pada luas kamar yang melebihi luas gua-gua lainnya, serta dinding gua yang sangat halus. Seperti dilapisi dengan semen. Tak kasar seperti dinding gua lainnya.
Lalu ada dua gua di dekat sungai besar di Bonen, yaitu gua Kristal dan gua Bar. Dinamai “Kristal” karena di dalamnya air yang masuk ke dalam gua tersebut sudah mengkristal dan semakin memperindah gua tersebut. Gua ini belum ditemui ujungnya di mana karena gua berkamar-kamar dan seperti labirin.
Kemudian gua Bar, yang di dalamnya dipahat serupa etalase yang bisa disimpan minuman-minuman dan bisa dijadikan tempat duduk.
Yang paling berkesan adalah saat kami menelusuri gua Paul Pandie. Gua ini disebut mistis karena konon ada seorang pria bernama Paul Pandie tewas di dalam gua tersebut. Hal ini membuat warga kampung Bonen bahkan tak berani dekat ke area gua tersebut.
Oleh karena hantaman Seroja pada April 2021 membuat tanah di sekitar gua longsor, serta pohon bambu yang tumbang, membuat susah perjalanan kami menuju mulut gua Paul Pandie. Menaiki tanah longsor, kami pun tiba di mulut gua.
Posisi gua Paul Pandie yang rendah membuat kami jongkok memasukinya. Dan memang sejauh mata memandang ke dalam, kondisi gua terlihat tidak rapi seperti gua lainnya. Diduga akibat tanah yang longsor tersebut.
Perjalanan kami menyusuri gua-gua berakhir saat matahari meredup di Kampung Bonen. Warisan sejarah Perang Dunia II ini masih perlu diteliti secara lebih komprehensif oleh para ahli . Sejauh ini, belum ada yang sungguh peduli. Ironis karena 80 tahun lalu Jepang sudah mengetahui betapa strategisnya Kampung Bonen! (Ruth/Joe/Rita)