Menenun untuk Menyintas Trauma - Katong NTT    
Sabtu, 28 Januari , 2023
  • Login
NEWSLETTER
Katong NTT
No Result
View All Result
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result

Menenun untuk Menyintas Trauma

Editor: KatongNTT
1 Februari 2022
in Opini
0
SM, warga Kabupaten TTS, Provinsi NTT menenun untuk menyintas trauma panjang akibat kekerasan oleh suami, keluarga suami, dan majikannya selama bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia. (Yuliana M Benu)

SM, warga Kabupaten TTS, Provinsi NTT menenun untuk menyintas trauma panjang akibat kekerasan oleh suami, keluarga suami, dan majikannya selama bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia. (Yuliana M Benu)

Yuliana M. Benu
(Peserta Pelatihan Membangun Karakter Melalui Penulisan Kreatif)

Setiap perempuan yang terlahir dalam budaya patriaki hidup dalam sejumlah pembatasan sosial yang mengikat bahkan memenjarakan kebebasannya. Hanya ada dua pilihan. Tunduk atau melawan. Ketika memilih tunduk, ia akan disebut perempuan ‘baik-baik’. Sebaliknya, jika memilih melawan, maka ia akan distigma sebagai perempuan ‘tidak baik-baik’.

RekomendasiUntukmu

Jacinta Kate Ardern Memeluk Keluarga Korban serangan teroris di Masjid di kota Kota Christchurch Selandia Baru pada Maret 2019 (Daily Express)

Meneladani Ardern dan Paus Benediktus Saat Memutuskan Mundur dari Jabatannya

24 Januari 2023
Ilustrasi

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Memajukan Peradaban (Bagian Kedua)

8 Januari 2023

Diskriminasi dan kekerasan, baik fisik maupun psikis, menjadi makanan pahit bagi perempuan setiap hari.

SM adalah perempuan yang memilih melawan ketika mengalami kekerasan dari suami dan keluarganya. Setiap mengalami kekerasan, SM memilih meninggalkan suami dan anak-anaknya di Kota Kupang untuk kembali ke rumah orang tuanya di kampung, di wilayah Timor Tengah Selatan (TTS).

Saat di kampung, SM terjebak mafia perdagangan orang dengan modus persekutuan doa. Seorang perempuan dari kampung tetangga, yang juga masih memiliki hubungan keluarga datang dan menyampaikan pada SM bahwa dalam sebuah penglihatan (doa), SM ditunjuk Tuhan untuk pergi bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia.

Tanpa berpikir panjang, di tahun 2014, SM memutuskan untuk pergi ke Malaysia tanpa memberitahukan hal itu pada suami dan anak-anaknya.

Di Malaysia, SM bekerja selama delapan bulan pada majikannya untuk menjaga lansia, membersikan rumah, dan memasak. Setiap hari ia dipaksa bekerja hampir 24 jam per hari. Selama masa tersebut SM mengalami kekerasan fisik, dan psikis yang luar biasa. Tubuhnya penuh darah karena tamparan dan pukulan yang bertubi-tubi, termasuk dipukul menggunakan ikan beku, giginya dan puting payudaranya dicabut majikan menggunakan tang.

Hanya satu jam dalam sehari SM diberi kesempatan untuk beristirahat.

SM yang kesakitan setiap hari dilarang majikannya untuk bertemu orang luar agar kejahatannya tidak terbongkar. SM yang menolak mati di negeri orang, berupaya diam-diam mencari pertolongan dan berhasil. Seorang tetangganya menolong SM melaporkan ke polisi Malaysia setelah ia mendapat lemparan sepotong surat minta tolong.

Setelah melalui proses pemeriksaan hukum dan perawatan medis, SM akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada 2015.

Tahun 2022. Enam tahun berlalu. SM tetap menjalani hidupnya seperti biasa. Selama mengenalnya hampir selama lima tahun, SM telah memberi kesempatan yang luas menyusuri trauma panjang yang dideritanya. Dari kekerasan berlapis yang diterimanya dari suami dan keluarga suami hingga majikan saat bekerja di Malaysia.

SM tidak tinggal dalam trauma yang berkepanjangan, melainkan berupaya melawan dan menyintas trauma itu. Menenun adalah caranya menyintas motif-motif luka dan trauma untuk berproses menyembuhkan diri.

Berbekal warisan pengetahuan dari ibunya, tahun 2019 SM memulai tenunannya baik itu selimut, selendang, dan sarung dengan motif-motif khas TTS seperti tokek dan cicak yang memiliki tutur sejarahnya. Jika tenunan diidentikkan dengan SM, ada motif-motif luka yang menganga di tubuhnya. Tentu ini bukan sebuah keindahan yang patut dikagumi seperti kebanyakan tenunan-tenunan NTT dengan motif-motif yang menarik. Tapi, itu menjadi tanda pengingat bagaimana kekerasan yang dialaminya.

Ketika bertemu dengannya, bekas kekerasan tampak di tubuhnya seperti di wajah. Hidungnya ada bekas luka karena dipukul majikan pakai ikan beku. Di bagian telinga dan bibir tanda bekas robek karena majikan menamparnya berulang-ulang.

Setiap kali mulai menggulung, menyusun dan merangkai benang sesuai motif yang dipilihnya, SM berproses bersama ingatan tentang luka dan traumanya. Ia bergumul dengan perasaan marah, kesal, dan kecewa.

Pada titik ini, SM mengurai luka-luka batin menjadi energi positif untuk membawa perubahan bagi hidupnya dan anak-anaknya. SM menenunnya menjadi simbol harapan.

“Ketika beta selesai tenun, beta pegang ini kain lalu bilang: ‘Tuhan… ini beta punya hasil karya’,” tutur SM sambil tersenyum memegang sekaligus memeluk setiap kali tenunannya selesai ditenun.

Ada kepuasan dalam diri SM ketika tubuhnya yang penuh bekas luka itu mampu menghasilkan karya-karya tenun. Proses menyintas trauma ini adalah cara SM membebaskan dirinya dari perasaan-perasan marah dan kecewa. SM berhasil melakukannya.

Selama lebih dari dua tahun SM menenun, banyak selendang, sarung, selimut yang dihasilkannya laku terjual. Walaupun sulit untuk memasarkan hasil tenun di tengah maraknya penjualan tenun beberapa tahun terakhir. Hal ini tidak mematahkan semangatnya menenun. Ia selalu girang saat menenun.

Biasanya, hasil penjualan itu menjadi sumber penghasilan ekonomi keluarganya dan juga mendukung pendidikan anak-anaknya.

Setiap pembeli yang membeli tenunannya, SM selalu menyematkan doa bagi mereka. Ia mengingat mereka sebagai bagian dari prosesnya menyintas trauma melalui tenun.*****

Previous Post

Memaknai Imlek Bagi Warga Tionghoa di Kupang

Next Post

Majikan Adelina Sau untuk Pertama Kali Hadir di Persidangan

KatongNTT

KatongNTT

Media berita online berkantor di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus pada isu-isu ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Next Post
Majikan Adelina Sau, Ambika M.A. Shan (Malay Mail)

Majikan Adelina Sau untuk Pertama Kali Hadir di Persidangan

Gempa terjadi di Maluku Barar Daya pada 2 Februari 2022. gempa juga terjadi dii dua wilayah lainnya (BMKG)

Hari Ini Gempa di 3 Wilayah di Indonesia, yang Pertama Berkekuatan M 6,2

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Anggota dari :

  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami
  • Iklan
  • Kontak Kami
  • Redaksi

© 2022 KatongNTT

No Result
View All Result
  • Peristiwa
    • Kekerasan Berbasis Gender
    • Pekerja Migran
    • Lingkungan
    • Inspirasi
  • Ekonomi dan Bisnis
    • Industri Pariwisata
    • Dekranasda NTT
    • Agribisnis
  • Sorotan
  • Perspektif
    • Opini
  • Pemilu 2024

© 2022 KatongNTT

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In