Kupang – Simon Ndoen dalam usianya yang ke 36, memilih meneruskan warisan leluhurnya yang kian hari makin tergerus zaman.
Di tempat kelahirannya di Rote, NTT, masyarakat di sana sejak dulu mengolah sendiri air nira untuk dibuat cuka.
Tumbuhan yang biasa dikenal masyarakat dengan tuak atau lontar ini memang banyak tumbuh di pulau paling selatan Indonesia itu.
Baca Juga: Kadis Parekraf: UMKM Jadi Daya Tarik Wisatawan Kunjungi NTT
Pohon Nira yang disadap para petani ini akan mengeluarkan air yang kemudian difermentasi menjadi cuka. Yang kemudian dipakai menjadi salah satu bumbu dapur.
Sayangnya, keberadaan cuka tradisional ini kemudian tersisihkan dengan kehadiran cuka-cuka moderen dari luar NTT.
Ini membuat Simon memilih untuk membuat kembali cuka yang dulunya sering ia temui di dapur rumahnya, dan kemudian dipasarkan.
Produknya ia beri nama Dosa, yang berasal dari bahasa Rote, yang artinya Cuka.
“Tujuannya hanya untuk memperkenalkan saja kalau kami orang Rote ada ini cuka. Ini kan termasuk kearifan lokal juga,” kata Simon.
Ia mulai membuat cuka ini di 2021 lalu dan mulai memasarkannya di area Kota Kupang. Per botol ukuran 250 ml dijualnya dengan harga Rp 10 ribu.
“Sebenarnya bisa lebih murah. Tapi kita pakai kemasan botol kaca, ini yang buat lebih mahal,” katanya.
Baca Juga: Nyemil Tanpa Rasa Dosa, Rehany Buat Granola dan Kukis dari Oat dan Gula Semut Rote
Tanpa ada campuran apapun, air nira yang diambilnya dari petani ia simpan sampai kurang lebih dua tahun. Hal ini agar menghasilkan cuka yang lebih jernih.
“dan bau tuaknya juga kurang,” jelas Simon.
Tantangan terbesarnya kini ialah untuk menggaet minat masyarakat NTT yang sudah terlanjur mencintai produk cuka dari luar.
Walau pun membawa nama Rote dan NTT, ini jelas tak serta merta mampu membuat orang mau untuk membeli produk ini.
“Sekarang ini baru orang-orang yang sudah pernah pakai yang beli. Memang susah (menggaet minat masyarakat),” ujar Simon.
Baca Juga: Tekun Jalankan UMKM Aksesoris NTT, Nita Liwulangi Diundang ke Seoul
Padahal menurutnya, kekayaan alam yang ada di NTT seyogyanya didukung penuh dan dikembangkan untuk mengurangi pembelian produk dari luar.
Pun ini disebut budaya yang seharusnya dijaga benar keberadaannya agar tetap terjaga dan jadi identitas bagi daerahnya.***