6 June 2023
NTT Kekurangan Petani Milenial, Ini Dampak dan Tantangannya!
Agribisnis

NTT Kekurangan Petani Milenial, Ini Dampak dan Tantangannya!

Mei 25, 2023

Kupang – Petani milenial memang belum berkontribusi secara signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT. Namun untuk mengantisipasi kebaruan sumber daya petani maka cara satu-satunya adalah ‘menciptakan’ para petani milenial.

Menurut Doktor Ilmu Pertanian dan akademisi Fakultas Pertanian Undana, Leta Rafael Levis, kekurangan sumber daya muda ini bisa menjadi ancaman bagi pertanian NTT.

Sektor pertanian sendiri adalah penggerak utama pembangunan ekonomi di NTT. Kontribusi sektor ini terhadap PDRB NTT jadi yang tertinggi dibanding dengan sktor ekonomi lainnya, yakni 29,17 persen.

Baca juga : Sektor Pertanian NTT Terancam Minimnya Jumlah Petani Milenial

Akan tetapi salah satu tantangan pembangunan pertanian di NTT adalah masalah keterbatasan sumber daya petani. Tanpa petani milenial maka akan berpengaruh pada inovasi, kreativitas, juga pertanian NTT tetap tidak akan ada perubahan.

“Sebab, rata-rata umur petani saat ini dia atas 50 tahun,” jawab dia, Sabtu 20 Mei 2023.

Dengan umur seperti itu maka petani sulit berinovasi atau rendah mengadopsi teknologi. Berdasarkan hasil penelitian, jelas Leta, rata-rata petani di NTT berada dalam kategori ‘late majority‘ atau penganut lambat.

Baca juga : Sektor Pertanian Bertumbuh, Petani NTT Masih Miskin

Akibatnya petani ini cenderung tergantung pada pemerintah atau bantuan-bantuan lainnya, bersifat konsumtif, juga tidak cukup memiliki sumber daya alam seperti lahan.

“Bekerja semangat jika ada bantuan tetapi ketika bantuan dihentikan mereka cenderung kembali ke kondisi semula,” tukasnya.

Petani yang tidak kreatif pun hanya akan monoton menanam tanaman, monokultur dan sangat bergantung pada kemurahan alam.

Selain itu juga tidak ada perubahan atau keinginan untuk maju seperti petani-petani di tempat lain. Petani seperti ini tidak memiliki akses ke luar lingkungannya dalam kaitannya dengan berusaha tani.

Baca juga : Sensus Pertanian 2023 Menarget Usaha Tani Perorangan Hingga Non Profit

“Itu bersifat lokalit, artinya orientasi mereka hanya kepada lingkungan sekitar mereka,” lanjut Leta.

Sedangkan petani milenial memiliki karakter hampir 100 persen berbanding terbalik dengan para petani umur 50-an tahun ke atas terutama dalam penggunaan internet dan media sosial.

Petani milenial identik dengan ‘cyber peasant‘. Namun faktanya, petani mileneal ini jumlahnya belum sesuai harapan.

Hasil sensus 2018 pun menunjukkan jumlah penduduk NTT yang bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas sebanyak 1.402.071 orang.

“Atau 51,43 persen dari jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di NTT dan menjadi petani sebanyak 942.455 orang tetapi menjadi petani mileneal hanya 71.754 orang,” kata dia.

Baca juga : Pabrik Pakan Ternak di NTT Belum Terwujud, Terkendala Produksi TJPS

Sebaliknya laporan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT mneyebutkan jumlah petani milenial ini mengalami penurunan sangat drastis yakni menjadi 8.693 orang.

Kedua data di atas menunjukkan perbedaan sangat mencolok data petani milenial dan data petani yang menggunakan internet.

“Jika mencermati kondisi riil di lapangan dan kita berasumsi petani milenial adalah petani yang akrab dengan internet maka sudah dapat diduga bahwa data yang disajikan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan itu yang mendekati kebenaran,” ujarnya.

Alasannya, dinas ini memiliki perangkat kerja di lapangan yang disebut dengan penyuluh pertanian. Meskipun penyuluh tidak dapat menjangkau semua petani dalam proses pembinaan namun penyuluh bisa memantau siapa saja yang menjadi ‘cyber peasant‘ di wilayah kerjanya.

“Jumlah tersebut dipandang logis berdasarkan kondisi produktivitas pertanian di NTT,” ungkapnya lagi.

Baca juga : Pendapatan Petani di NTT Terbesar dari Peternakan dan Perikanan

Ia juga menyoroti berkurangnya jumlah petani di NTT mencapai 14 ribu petani dalam kurun waktu 5 tahun dari 942.455 orang jadi 928.269 orang.

Turunnya jumlah petani diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur semakin tua sehingga tidak bisa bekerja lagi, petani meninggal dunia, maupun tidak ada lahan garapan karena telah dijual.

“Misal dijual untuk menyekolah anak, menikahkan anak, dibagikan kepada anak-anak serta kebutuhan sosial lainnya,” ungkap dia.

Faktor yang ditegaskannya yaitu tidak adanya alih generasi dalam bertani. Poin ini adalah ancaman masa depan pertanian. Fakta di lapangan menunjukkan minat generasi muda menjadi petani masih dianggap rendah.

Baca juga : Petani Jagung NTT Kesulitan Pemasaran

Hal ini disebabkan mindset masyarakat Indonesia khususnya masyarakat NTT yang memandang profesi petani identik dengan kemiskinan, kotor, kedesaan, tidak berpendidikan serta berbagai stigma negatif lainnya.

Stigma ini pun terdapat dalam keluarga petani sendiri. Para petani mengarahkan anak mereka untuk tidak menjadi petani lagi.

Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki program khusus untuk mendidik, membentuk, maupun mengembangkan para petani milenial.

“Petani milenial yang ada saat ini sebagian besar adalah spontanitas dari kaum muda untuk mau menjadi petani,” tambahnya.

Baca juga : Visa Pertanian Australia Jadi Peluang Generasi Muda Sumba

Ia melanjutkan pemerintah hanya membangun sekolah-sekolah pertanian tetapi tidak diikuti dengan kegiatan lanjutan untuk menciptakan para milenial yang memiliki ‘passion’ sebagai petani.

Petani-petani milenial yang telah berhasil dan tekun dalam berusaha tani sebaiknya diberikan ‘bonus’ tertentu.

“Untuk memotivasi dan meyakinkan mereka bahwa bekerja sebagai petani ternyata ada pengakuan social dari pemerintah sehingga menaikan status social petani milenial,” ungkapnya.

Pemerintah pun tidak memiliki kebijakan khusus terhadap calon petani mileneal seperti disebutkan di atas maka masa depan pertanian akan terancam. ****

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *