Belo – Melihat potensi yang besar di bumi Nusa Tenggara Timur, Ferdinand Latuheru memutuskan membangun satu pabrik garam di Belo, Kupang, NTT.
Bagaimana tidak, provinsi yang memiliki sekitar 1.200 pulau ini luas wilayah daratannya hanya 47.931.54 km². Selebihnya dikelilingi perairan yang luasnya mencapai kurang lebih 200.000 km² di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Ditambah dengan musim kemarau di NTT yang bisa mencapai 8-9 bulan tiap tahunnya membuat NTT berpotensi menghasilkan garam yang melimpah. Namun belum ada pabrik garam beryodium di NTT. Garam hanya diolah secara sederhana oleh masyarakat dengan teknik dimasak.
Berangkat dari hal ini, Ferdinand di tahun 2013 meminjam uang di bank untuk membangun pabrik garam di Belo, Kota Kupang. Pabrik miliknya menjadi pabrik garam beryodium pertama di NTT.
Ferdinand saat itu pegawai di Disperindag Provinsi NTT. Dia merupakan ahli garam sejak masih bertugas di Timor Leste dan dipercaya untuk membina para petani garam.
Dari situ ia mulai mengumpulkan data tambak mana saja yang mampu memproduksi bahan baku garam sesuai standar SNI.
Hingga bangunan pabriknya selesai dibuat pada 2015, Ferdinan mulai beroperasi dengan bahan baku yang diambil dari tambak-tambak petani garam di daratan Timor. Seperti PT. Garam Bipolo dan dari Kabupaten Sabu Raijua.
“Kami ambil dari Bipolo, dari Toineke, TTS. dan juga Oesoko, Ponu TTU,” ungkap pria 63 tahun ini.

Bahan-bahan baku yang telah terkumpul kemudian disortir untuk memastikan tak ada kotoran yang ikut tercampur.
Kemudian bahan baku garam yang masih berbentuk kristal dibakar lalu diberi yodium untuk selanjutnya dihaluskan. Setelah halus, garam siap dikemas dan dipasarkan.
“Awal-awalnya itu masih manual. Belum ada mesin. Jadi masih pakai tangan semua. Di 2017 baru sudah ada mesin,” cerita Ferdinand.
Setelah mesin-mesin produksi telah lengkap, pembuatan garam beryodium di CV. Raja Baru milik Ferdinan mampu memproduksi hingga 2 ton garam per harinya.
“Kapasitas ril nya 1 ton per hari. Jadi rata-rata satu bulan itu 20-25 ton per bulan” jelas pria dengan lima anak ini.
Mereka kemudian menjualnya dengan harga Rp7 ribu per kilogram. Ini berarti setiap bulannya Raja Baru mampu mendapat hingga Rp 175 juta per bulan.
Keadaan ini bertahan hingga akhirnya badai siklon tropis seroja menghantam NTT pada 4 April 2021. Tambak-tambak garam para petani porak-poranda. Sejak saat itu bahan baku garam mulai berkurang.
Kualitas Tambak
Standar untuk mendapat garam yang berkualitas ditentukan dari kualitas tambak.
Garam harus mengandung natrium klorida 94,7% dengan proses penguapan dan pengkristalan di waduk yang berbeda. Lalu dengan kandungan magnesium di bawah 1%, garam harus yang putih bersih.
“Untuk putih bersih ini kita pakai teknologi Geomembran namanya. Jadi kita alas. Kita pasang itu untuk memisahkan air dengan tanah.
Kalau tambak konvensional garam ada yang menguap ke atas, ada yang menyerap ke tanah,” jelasnya.
Selain kualitas tambak, perubahan iklim yang terjadi kini pun jadi pemicu minimnya bahan baku.
“Sebelumnya itu bahan baku dari tahun lalu bisa bertahan sampai sekarang,” ujar laki-laki yang pernah mengikuti pendidikan di PT. Garam di Madura ini.
Kalaupun kini ada bahan baku yang dijual sekarang, harganya dipastikan naik. “Bisa sampai Rp 4000 per kilo. Standarnya itu ya Rp700,” ungkapnya.
Ini jadi satu tantangannya dalam mengumpulkan bahan baku yang berkualitas.
Tambak garam di NTT banyak, namun menurutnya yang berkualitas sesuai standar SNI hanya beberapa di daratan Timor.
Bisa saja ia mengambil bahan baku dari pulau lain di NTT, namun tingginya harga ongkos kirim jadi satu hambatan lainnya yang harus ia hadapi.
Ini yang membuatnya tak bisa menjual produknya langsung ke luar pulau Timor. Ia hanya memasok ke Dekranasda NTT dan di dua distributor lainnya yang ada di Kota Kupang.
“Terlalu mahal biaya logistiknya. Nah ini nanti kita jual dengan harga berapa? Sedangkan saingan kita garam yang dari pulau Jawa,” kata Ferdinand.

Pemerintah Harusnya Berperan Aktif
Melihat ini, Ferdinand mengatakan pemerintah harusnya berperan aktif dalam membantu para petani garam. Bukan hanya sekadar memberi alat, namun harus didampingi terus sehingga para petani tahu benar bagaimana memproduksi garam yang berkualitas tinggi.
“Sekarang ini sudah tidak ada lagi (pendampingan ke para petani),” ungkap pria asal Maluku ini.
Padahal, jika melihat kembali di 2019, presiden Joko Widodo sampai datang ke desa Nunkurus, Kabupaten Kupang. Satu daerah dengan penghasil garam di NTT.
Kala itu Jokowi dan pemerintah NTT seolah memberi angin segar bagi para petani garam dengan menggaungkan jika NTT ke depannya akan menjadi pemasok garam nasional.
Ini dikatakan mereka dengan membangun tambak garam di kurang lebih 21.000 hektar lahan di NTT.
“Tapi harus dilihat juga tempatnya bagaimana. Jangan sampai hujan datang, banjir rob datang, hancur itu tambak. Buat gudang juga. Tapi sekarang saja tambak-tambak yang mereka bilang mau bangun ribuan hektar itu, di mana? Tidak terdengar kabarnya,” ungkapnya.
Akibat minimnya bahan baku ini, CV. Raja Baru saat ini absen beroperasi. Para pekerja dirumahkan. Pabrik yang awalnya sibuk kini hanya terdengar bunyi dengungan mesin pembakar dan pencetak.
“Kami terakhir produksi itu Februari. Sampai sekarang tidak produksi. Bahan baku tidak ada. Ini saja sampai Mei ini masih hujan. Kemungkinan pertengahan juni baru di tambak bisa panen. Itu baru kita bisa produksi,” pungkasnya. *****