Kupang – Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hampir berusia 20 tahun namun memuat sejumlah pasal yang bisa diinterpretasikan lebih luas.
Siti Mazumah, mantan Direktur LBH APIK Jakarta sejak 2011 dan kini menjabat di Forum Pengada Layanan atau FPL yang menyampaikan itu, Selasa 12 September 2023.
Ia menyatakan ini dalam dialog terkait upaya pencegahan dan penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diselenggarakan Kementerian P3A.
Baca juga : UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
Pasal karet atau yang mengundang ragam interpretasi menurut pengalamannya sendiri selama pendampingan adalah pasal 44 ayat 4 UU KDRT.
Pasal ini menyinggung soal perbuatan atau kekerasan yang tidak menyebabkan penyakit dan berhalangan kerja dan aktivitas sehari-hari.
Pasal tersebut menurutnya tidak memiliki norma yang jelas sehingga penafsirannya bisa jauh lebih luas.
Baca juga : Korban KDRT Saatnya Bicara
“Pasal ini menimbulkan penafsiran berbeda antara aparat penegak hukum,” kata dia.
Demikian juga soal penelantaran dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT ini.
Apabila suami dalam kondisi ekonomi yang kurang atau belum memenuhi kebutuhan istri termasuk penelantaran maka bisa menimbulkan proses hukum.
Masalahnya, kata dia, pasal ini tidak menjabarkan perhitungan soal bagaimana seorang suami dalam kapasitas ekonominya menghidupi istrinya.
Baca juga : Pelaku Kekerasan Seksual di NTT dari Anak Usia 5 Tahun Hingga Lansia
“Pasal penelantaran pun kerap penafsirannya yang lebih luas,” ungkap dia.
Selain pasal pun terdapat praktek yang berbeda di lapangan kendati UU KDRT ini telah sah sejak 2004. Misalnya terkait alat bukti yang ternyata masih banyak mengikuti KUHAP.
Penerapan pidana tambahan dalam UU KDRT selama ini juga belum diterapkan. Pidana tambahan ini seperti konseling bagi pelaku KDRT.
Baca juga : 187 Kasus Perempuan dan Anak di Kota Kupang, Ada Pelacuran Online
UU KDRT ini pun tidak memuat soal pernikahan secara adat sedangkan dalam praktek di Indonesia banyak yang tinggal bersama karena ikatan secara adat atau keluarga.
“Bila terjadi KDRT apakah menggunakan pasal 351 terkait penganiayaan ataukah UU KDRT?” kata dia.
UU KDRT juga dapat melindungi Pekerja Rumah Tangga atau PRT tetapi yang menjadi masalah adalah bila PRT tidak menetap di rumah tersebut. Dalam UU KDRT hanya berbunyi soal perlindungan bagi orang yang menetap dalam rumah tersebut.
Baca juga : Surat dari Pekerja Rumah Tangga untuk Puan: Kapan RUU PPRT Disahkan?
Pihaknya sendiri telah menangani 5.963 kasus kekerasan terhadap perempuan selama 2021 dan 4.323 kasus di tahun 2022.
Ada kekerasan psikis yang sebanyak 1.248 kasus, kekerasan fisik 589 kasus, kemudian penelantaran 526 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 855 kasus.
Data kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi yang ditangani mereka adalah di DKI Jakarta yaitu 15.28 kasus. Untuk NTT yang ditangani sebanyak 291 kasus atau di bawah peringkat kedua tertinggi yaitu 456 kasus di Jateng.
Baca juga: Sarlina Mone Tulis Surat ke Ketua DPR Ungkap Penderitaan PRT di NTT
“Jakarta tertinggi mungkin karena pendataan yang bagus dan lebih berani mereka melakukan pengaduan,” ungkap dia.
Di sisi lain yang terjadi istri seringkali mencabut laporan kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya karena masih cinta, memikirkan soal nafkah, khawatir bapak dari anaknya yang akan dipenjara maupun rasa iba. ****