Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta pemerintah daerah mempercepat pendataan stunting dan kemiskinan ekstrem guna mendukung optimalisasi program di masing-masing wilayah.
“Seluruh kabupaten/kota diharapkan memiliki target untuk segera memenuhi dan menyelesaikan pengisian data stunting serta kemiskinan ekstrem,” kata Muhadjir Effendy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Baca : Kemenkes Bakal Terapkan di NTT Strategi Sumedang Turunkan Angka Stunting
Dia menjelaskan, pendataan perlu dilakukan hingga tingkat desa agar intervensi program yang tengah dilaksanakan semakin tepat sasaran. “Terutama untuk data kemiskinan ekstrem, akurasi sangat diperlukan agar program dapat berjalan sesuai target, pemda bisa berkoordinasi dengan Kemenko PMK terkait dengan data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem atau P3KE,” katanya.
Baca : Limbah Ikan Tuna Dapat Cegah Stunting
Menko juga mengingatkan agar pemerintah daerah dapat memaksimalkan penggunaan dana desa untuk mendukung program penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem.
“Dana desa dapat dimaksimalkan penggunaannya untuk ketahanan pangan, penanganan stunting, dan kemiskinan ekstrem,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani heran alokasi biaya dalam program stunting belum diprioritaskan sesuai kebutuhan. Adapun sub kegiatan paling menyedot anggaran pemberantasan stunting adalah koordinasi, yang mencapai Rp 240 miliar. Sementara itu, anggaran untuk makan bayi dinilai masih sangat kecil.
Baca : BTN Edukasi Warga TTS Soal Stunting, SurfAid Cegah Gizi Buruk di Sumba Barat
“Item yang betul-betul untuk bayi stunting, yaitu memberikan makanan dari bayi khas daerah hanya Rp 34 triliun. Bayangkan, yang betul-betul sampai ke mulutnya bayi atau ibu yang hamil untuk bisa mencegah stunting itu hanya porsi yang sangat kecil. Karena ada 283 kegiatan, termasuk yang tadi disampaikan Pak Menteri PPN/Bappenas (Suharso Monoarfa) ganti pagar Puskesmas masuk dalam kategori stunting,” katanya.
Dia mengakui struktur biaya yang kurang proporsional itu menggambarkan betapa pekerjaan rumah (PR) di Indonesia banyak sekali. “Seperti tadi saya sampaikan, yang paling berat adalah mensimplifikasi birokrasi kita sendiri. Bagaimana birokrasi tidak self serving hanya untuk sekadar naik pangkat, namun betul-betul bekerja menyelesaikan masalah yang ada di dalam perekonomian dan bangsa kita,” imbuhnya. [K-02]