Kupang – Praktik politik uang di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak berbeda selama 10 tahun terakhir dan pernah dipublikasikan oleh akademisi FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana), Rudy Rohi.
Dalam buku yang diterbitkan 2015 itu disebut politik uang dan bantuan saja tidak cukup tapi harus diikuti dengan ancaman dan bila perlu sedikit bukti kekerasan.
Temuan ini diterbitkan PolGov dengan buku berjudul Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientelisme di Pemilu Legislatif 2014.
Baca juga : Pemilu 2024, Oma Nabaga Hingga Usia 105 Tahun Tak Tergoda Politik Uang (3)
Praktik politik uang seringkali terjadi tidak saja sebagai kasus tunggal tapi disertai dengan intimidasi atau kekerasan dan ancaman secara langsung.
Misalnya di Sumba pada 2014 lalu ada orang yang kudanya disembelih lalu dibiarkan tergeletak begitu saja. Teror ini sebagai ancaman agar pemiliknya jangan sampai tidak memilih calon tertentu.
Intimidasi dan ancaman terhadap masyarakat dilakukan secara langsung maupun lewat orang-orang tertentu.
Ada pula ungkapan : silakan ambil uangnya, tetapi jangan pilih calonnya. Ungkapan ini kerap muncul di bagian barat Sumba yang mana digaungkan kalangan aktivis untuk mencegah politik uang atau pembelian suara.
Baca juga : Pj Bupati Lembata Komentari Kasus Bunuh Diri Anak ASN
Namun ungkapan itu dibalas tim sukses : silakan ambil uangnya dan tidak pilih calonnya tapi parang dan korek api menyusul. Ungkapan ini jadi simbol ancaman pembunuhan dan aksi pembakaran yang menanti.
Dalam setiap pemilu selalu ada tim sukses yang dibentuk dengan orang-orang yang tugasnya mengoordinasikan kampanye calon legislatif (caleg) di tingkat kelurahan atau desa. Mereka dibentuk hingga ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pada 2014 itu ada juga calon DPRD TTU dari Partai Nasdem yang merangkap tim sukses calon dari DPR RI. Ia menerangkan soal lingkaran setan politik uang ini dengan beralasan kalau pendekatan kepada masyarakat mustahil tak membutuhkan uang.
Baca juga : Caleg Miskin Gagasan Andalkan Politik Uang
Begitu pun DPR RI, seorang petahana dari Partai Gerindra senada dengan argumen ini. Rokok, sirih dan pinang harus selalu ada untuk membuka komunikasi dengan masyarakat.
”Dalam setiap hari kunjungan ke masyarakat, rokok dan sirih pinang harus selalu ada. Jika tidak, maka sulit membuka komunikasi dengan masyarakat.” jawab politisi yang diwawancarainya saat itu.
Pada tahun 2014 itu pemberian uang dengan strategi pertemuan tatap muka dengan pemilih juga dilakukan. Tidak segan juga ada caleg yang membayar langsung penyelenggara di TPS.
Baca juga : Panwas Diminta Tegas Cegah Politik Uang di TPS
Misalnya seorang anggota tim sukses calon DPR RI dari Partai Golkar mengaku membayar Rp 12 juta kepada para penyelenggara di tiga TPS untuk meningkatkan jumlah perolehan suara. Perolehan suara yang minta dinaikkan ini ialah tiga orang calon dari Partai Golkar yaitu calon DPRD Kota Kupang, DPRD Provinsi, dan DPR RI.
Ada pula seorang personel pengawas pemilu (panwaslu) yang berani mengundurkan diri karena mengetahui praktik kotor ini. Ia mengundurkan diri ketika mengetahui ada anggota panwaslu lain yang membantu calon anggota DPRD Kota Kupang dari PAN lantaran sama-sama berlatar etnis Flores Timur.
Ketua Bawaslu NTT, Nonato Da Purificacao Sarmento, juga menegaskan adanya 306 TPS yang rawan kekerasan dan memang yang terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu 80 TPS.
Baca juga : Bawaslu Kabupaten Kupang Temukan Ribuan Data Pemilih Ganda dan Salah TPS
Lalu ada 247 TPS dengan riwayat intimidasi kepada penyelenggara pemilu dan terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya juga yaitu 71 TPS.
“Ada pula 183 TPS dengan riwayat praktik money politics pada masa kampanye dan masa tenang dan terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu 6 TPS,” kata Nonato, Senin 12 Februari 2024. ***