Kupang – “Katong pung harga diri lebih rendah dari hewan. Orang beli babi anak sa’ Rp 1 juta setengah, kita dibayar Rp 100 ribu untuk kasih suara sama dia. Itu berarti kita lebih rendah dari hewan,” kata seorang pria usia lanjut dalam video yang viral menjelang pemilu 2024.
Ada cerminan praktik politik uang di tengah masyarakat yang jadi bahan amuk kakek dalam video tersebut. Transaksi suara dalam pemilihan umum memang memiliki standar harga tersendiri dan yang paling sengit adalah di tingkat kabupaten dan kota.
Sudah rahasia umum harga per suara lebih murah daripada harga seekor bibit babi yang mencapai Rp 1,5 juta. Namun tetap saja ada yang membelinya, ada pula yang menjualnya. Model transaksinya pun berbeda-beda.
Baca juga: Pemilu 2024, Keluarga dan Tetangga di Pusaran Politik Uang (1)
Salah satu penyebabnya akibat jumlah caleg yang membludak dan berbanding dengan kuota kursi yang diperebutkan.
Kota Kupang misalnya yang memiliki 5 daerah pemilihan (dapil) berdasarkan kecamatan. Ada 631 caleg yang bertarung memperebutkan 40 kursi DPRD.
Pada Dapil 1, Kelapa Lima, ada 112 caleg memperebutkan 7 kursi. Dapil 2, Kecamatan Oebobo, ada 141 caleg memperebutkan 9 kursi. Kemudian Dapil 3, Kecamatan Maulafa, ada 136 caleg juga memperebutkan 9 kursi. Adapun Dapil 4, Kecamatan Alak, terdapat 112 caleg yang memperebutkan 7 kursi. Kemudian Dapil 5, gabungan Kecamatan Kota Raja dan Kota Lama, ada 130 caleg memperebutkan 8 kursi.
Untuk mendapatkan kursi, ratusan caleg ini diberikan masa kampanye 28 November 2023 – 10 Februari 2024. Tidak puas dengan model kampanye yang diizinkan, para caleg ini, baik petahana maupun baru, menggunakan transaksi gelap demi mendulang suara.
Baca juga: Pelanggaran Hak-Hak Digital 2023 Meningkat dan Semakin Parah di Tahun Pemilu
Ada harga tawar yang kerap muncul secara konsisten berdasarkan pengakuan berbagai masyarakat yang ditelusuri sejak 3 Februari 2024.
Pada tingkat kabupaten dan kota harga suara berkisar Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu. Berbeda dengan pasar suara tingkat provinsi dan pusat yang rentangnya dari Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu khusus di wilayah Kota Kupang.
Untuk Kecamatan Kota Lama dan Kota Raja ada rata-rata harga Rp 350 ribu – Rp 500 ribu per suara. Pada Kecamatan Maulafa pun beragam, ada yang menawarkan Rp 150 ribu namun paling sering adalah Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu. Harga serupa muncul di kecamatan lainnya, tertinggi Rp 300 ribu per suara. Pemberian uang terkadang disertai stiker caleg.
Proses tawar maupun pemberian uang ini sangat jarang melibatkan caleg secara langsung. Biasanya tim pemenangan bergerilya ke masyarakat atau telah menggaet tokoh-tokoh berpengaruh di suatu wilayah. Tidak jarang mereka mendekati keluarga dengan usia pemilih yang banyak atau mengumpulkan massa untuk mempertemukannya dengan caleg.
“Ada yang tawar Rp 100 ribu. Itu timnya yang cari suara,” kata Anis salah seorang warga BTN Kolhua.
Baca juga: Sistem Pemilu Terbuka Lebih Demokratis Tapi Sarat Politik Uang
Tim ini juga yang memastikan suara yang bakal terkumpul dengan menghitung potensi suara yang bakal pindah ke calon lainnya.
Tim dari caleg lainnya juga meminta keluarga atau orang yang dituakan di lingkungan tertentu untuk bantu mempromosikannya. Dalam proses ini dijanjikan uang atau barang atas dukungan tersebut. Dalam praktiknya caleg juga meminta foto KTP warga dengan alasan agar tercatat sebagai penerima imbalan.
Ada juga tim tidak resmi atau sukarelawan yang bekerja bagi para caleg ini. Biasanya mereka ini tidak lain adalah kerabat atau kenalan si caleg.
Politik uang atau serangan fajar ini pun sering ditawarkan di pagi hari saat pemilih sampai ke TPS. Beberapa anak muda mengaku pernah ditawarkan oleh pihak yang disebut saksi luar TPS atau saksi tidak resmi. Uang pun akan diberi setelah dibuktikan dengan foto mencoblos caleg dimaksud.
Baca juga: Bawaslu NTT Minta Warga Melapor Begitu Dapat Serangan Fajar
“Biasa pagi-pagi di TPS itu ada yang tawar, harga macam-macam,” tambah Kris, seorang tukang ojek di bilangan Oepura pada kesempatan terpisah.
Saksi di luar TPS sendiri bekerja untuk calon tertentu. Gaji saksi TPS juga tidak diatur oleh negara layaknya KPPS. Gaji mereka tergantung dari partai masing-masing caleg.
Hanya sedikit yang mengaku bertatap muka dan diberikan uang langsung oleh caleg baik itu DPRD khususnya tingkat provinsi.
Ketua Bawaslu NTT, Nonato Da Purificacao Sarmento, tidak menampik nominal uang itu ditawarkan ke masyarakat. Ia bahkan menyebut transaksi saat ini mengalami transformasi dari 2 pemilu sebelumnya.
Kali ini secara non tunai yaitu dengan diberikan voucher game atau saldo dompet digital sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Transaksi ini menyasar anak-anak muda.
“Ada indikasi di Kota Kupang, anak-anak muda itu ditawari kalau mau pilih ini (caleg) nanti dikasih voucher game atau saldo OVO atau Dana,” ungkap dia Senin 12 Februari 2024, di Neo Aston Kupang.
Dulunya pun ada modus pengumpulan KTP dilakukan sebagai jaminan yang nantinya dikembalikan setelah proses pencoblosan.
“Makanya, seharusnya handphone tidak boleh dibawa saat pencoblosan dengan alasan apapun,” kata dia.
Baca juga: Bawaslu RI Buka Catatan Merah NTT Dalam Pemilu 2024
Pola pembelian suara yang patut dicegah, lanjut Nonato, adalah pembelian suara di TPS sehingga pengawas patut mewaspadai tim sukses tertentu yang mengintimidasi.
KPU NTT ketika dikonfirmasi 7 Februari lalu menjelaskan, uang yang dipakai untuk praktek gelap ini tidak mungkin ditelurusi lewat dana kampanye. Pembayaran bagi saksi pun tidak termuat dalam dana kampanye karena tahapannya sudah berbeda.
Sementara Bawaslu NTT sulit mendeteksi ini karena terkendala regulasi untuk mengawasi penggunaan dana kampanye. Seluruhnya menjadi kewenangan KPU dan kantor akuntan publik yang ditunjuk untuk melakukan audit.
Data Bawaslu NTT saat ini menyebut hanya satu saja kasus politik uang yang naik ke persidangan sepanjang tahapan pemilu berlangsung jelang tahap pemungutan suara.
Akademisi Hukum UNWIRA, Mikhael Feka, menilai praktek ini sebagai dark number atau angka gelap karena tidak menjadi laporan atau temuan pengawas pemilu.
“Justru di masa tenang inilah para calon tidak tenang dan menghalalkan berbagai cara untuk memengaruhi pilihan rakyat,” tanggapnya, Senin 12 Februari 2024.
Masyarakat Aminkan Politik Uang
NTT hanya memiliki satu kasus politik uang yang naik ke meja persidangan sepanjang tahapan Pemilu 2024. Kasus itu terjadi di Alor. Caleg DPRD NTT dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nurkaltim La Ovo, divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Kalabahi. Ia terbukti membagi duit Rp 50 ribu ke tiap-tiap warga di Pelabuhan Alor Kecil.
Baca juga: Suara Tanpa Pemilik
Praktik politik uang oleh Nurkaltim ini jadi sorotan publik karena videonya viral dengan adanya saksi yang memberatkan perbuatannya.
Bawaslu NTT menduga money politics masih marak terjadi dan karena budaya permisif masyarakat membuatnya sulit diungkap secara terang-terangan.
Permisif secara harafiah berarti sikap yang membolehkan, mengizinkan atau mengamini hal-hal yang sebenarnya tabu atau sangatlah tidak pantas. Hal yang tidak layak ini kemudian menjadi budaya atau dianggap biasa karena tanpa kontrol atau dibiarkan saja. Money politics ini tak ubahnya borok dalam demokrasi.
Masyarakat pun cenderung tak melaporkan ini kepada petugas sehingga temuan di lapangan tidak begitu signifikan. Akibatnya praktik ini mungkin akan masif lagi dalam masa tenang menuju hari pencoblosan, 14 Februari ini.
“Masyarakat harus berani melapor meskipun di lain sisi budaya kita ini kan budaya permisif. Masyarakat harus berpendirian dan punya keberanian,” tanggap Ketua Bawaslu NTT, Nonato Da Purificacao Sarmento, 10 Februari lalu Auditorium Universitas Nusa Cendana.
Tidak ada lagi pemilu yang berintegritas dan bermartabat, sambung Nonato, saat kecurangan atau pelanggaran seperti itu didiamkan.
Baca juga: Orang Muda NTT Diminta Kreatif Lawan Politik Uang di Pemilu 2024
Catatan Bawaslu NTT, ada 11 kasus pelanggaran pidana pemilu yang dominan terjadi saat kampanye dan 2 di antaranya adalah politik uang.
Selain Alor, kasus ini ditemukan juga di Kabupaten Kupang namun belum sampai ke persidangan. Ada temuan berupa pemberian barang yang bukan kategori bahan kampanye.
Memang pemberian barang bahkan menjanjikan imbalan tertentu sudah termasuk praktik money politics sesuai Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017.
Bahan kampanye yang dimaklumi pun hanyalah selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat makan-minum, kalender, kartu nama, pin, atau alat tulis yang apabila dikonversi dalam bentuk uang paling tinggi Rp 100 ribu.
“Kalau di luar bahan kampanye dan menjanjikan pada saat itu maka bisa dikenakan money politics, kan sama pasalnya,” tanggap Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu NTT Melpi Marpaung.
Baca juga:Panwas Diminta Tegas Cegah Politik Uang di TPS
Praktek ini mungkin marak di akar rumput namun tak ada laporan dari warga. Hal yang lebih menyulitkan atau menjadi kendala besar adalah warga yang enggan bersaksi.
“Kita kewalahan bila tak ada yang melapor. Proses pidana juga membutuhkan minimal 2 alat bukti dan saksi harus ada,” jawabnya di ruang kerjanya Jumat, 9 Februari lalu.
Tak harus laporan secara resmi, apabila ada dugaan tentang praktek semacam itu pun sebenarnya bisa disampaikan ke petugas sebagai informasi awal untuk ditelusuri. Memang pembuktikannya paling lama 7 hari sejak diketahui atau dilaporkan.
Kasus ini akan diproses oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang terdiri dari Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan sehingga dibutuhkan bukti agar bisa naik ke tahap penyidikan.
“Misalnya dari video, itu jadi informasi awal, kita telusuri cari bukti, saksi dan baru bisa berproses, kalau tidak cukup (bukti) tidak bisa pidana,” jelas dia.
Namun kembali lagi pada kendala di atas. Keengganan masyarakat untuk mengungkapkan praktik demikian akan menjadi tirai besi lagi.
“Jika ada bukti bisa dilaporkan. Bukan juga ada yang pura-pura tidak tahu karena bukan tidak menutup kemungkinan beberapa hari ini akan ada temuan,” kata dia.
Selain politik uang, ada juga kasus pengrusakan alat peraga kampanye (APK) dan sudah ada yang berproses di kejaksaan. Ada ditemukan juga kasus penggunaan fasilitas negara di Manggarai Timur yang masih dalam penyidikan. Sementara 2 kasus lainnya terjadi saat tahapan pencalonan yaitu pemalsuan dokumen. *****