Kupang – Fransisco de Christo Anugerah Jacob merupakan peneliti lunat atau tato suku Dawan, Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berawal dari kenyataan yang ditemuinya saat membaca orang Timor yang bertato, pria yang biasa disapa Chico itu mulai resah akan realitas yang berbanding terbalik dengan catatan sejarah yang dia temui.
“Beta menemukan sebuah buku terjemahan, itu surat-surat pendeta Belanda hampir 100 tahun yang lalu, dan di itu surat dibilang kalau rata-rata orang Timor punya lunat. Tato di badannya. Beta agak terganggu dengan pernyataan itu. Sekarang kan sonde (tidak) ada” kata pria lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta tersebut.
“Lalu beta coba cari lagi, dokumen-dokumen lain, yang seumuran dengan itu. Jadi ada dokumen-dokumen dari tahun 1907, 1923, 1910, belasan begitu. Semuanya sebut bahwa hampir semua orang Timor punya (lunat). Laki-laki perempuan punya di badan. Itu yang buat beta terganggu, dan berpikir, kenapa dia menghilang,” ujar Chico, kelahiran Kupang, 29 Desember 1994.
Semua dokumen 100 tahun lalu menyebut lunat ada dan dipraktekkan. Tapi, hanya tempo 100 tahun kenapa punah.
“Orang-orang Timor yang sekarang ketong (kita) lihat, kenapa sonde pake, atau sonde ada lunat lagi. Nah itulah yang buat beta meneliti lunat,” lanjutnya.
Dengan melakukan penelitian lapangan selama kurang lebih tiga bulan di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Chico mendapati terdapat empat faktor yang mempengaruhi punahnya lunat di masyarakat Dawan. Antaranya kristenisasi yang menyebabkan hilangnya makna religius lunat. Terputusnya transfer nilai (pengetahuan) kepada generasi penerus, stigma sebagai anggota PKI, dan larangan untuk bersekolah.
Salah satu faktor yang paling pertama disebut ialah masuknya agama Kristen di Timor. Chico menyebut, walau tidak semua misionaris, namun beberapa bahkan menanamkan doktrin jika kepercayaan tradisional adalah kafir dan hal yang jahat.
“Memang harus diakui, sejarah agama-agama di dunia ketika masuk ke sebuah wilayah, itu dia mengubah kebudayaan yang sudah ada di situ. Entah secara halus atau secara paksa. Hal yang sama juga terjadi dengan sejarah pekabaran Injil. Entah itu yang dibawah oleh misionaris-misionaris Katolik atau Protestan,” papar Chico.
Ada tabrakan dua kebudayaan di situ dan sayangnya yang lokal kalah. Jadi dalam pertarungan tabrakan antara dua budaya ini, agama Kristen kemudian masuk dan meresap ke dalam akar kehidupan masyarakat dengan mengubah banyak sekali tradisi lokal.
“Tidak hanya mengubah, tetapi dia juga memberikan label buruk kepada budaya,” jelas alumni Universitas Kristen Artha Wacana Kupang tersebut.
“Jadi ketika dia (misionaris) datang, dia membawa kebudayaan, kebiasaan di Eropa, yang oleh dia dianggap kebudayaan yang baik karena itu kebudayaan yang sudah ‘diterangi’ oleh Injil. Misalnya katakanlah seperti itu. Jadi pemikiran itu ada. Makanya orang-orang misionaris kan kemudian bilang ini (lunat) sesat, ini kafir,” tutur Chico.
Untuk itu, sebagai seorang teolog, Chico menyatakan gereja memiliki andil yang besar atas hilangnya kebudayaan di Timor. Jadi ada banyak sekali budaya yang hilang itu karena pekerjaan misionaris-misionaris gereja di masa lampau. Gereja punya utang sejarah, budaya, dengan peradaban masa kini.
“Artinya orang sekarang tidak bisa menikmati kebudayaan itu, salah satunya karena itu (Kristenisasi),” ujar Chico.
Menurutnya, hal lain yang bisa membuat suatu kebudayaan hilang ialah pemahaman akan sesuatu yang berasal dari Barat adalah yang terbaik dibanding kebudayaan sendiri.
“Yang harus diingat adalah, misionaris-misionaris yang datang dari Eropa bekerja di Timor, itu juga datang dengan sebuah kebanggaan. Sebuah perasaan bahwa kebudayaan Eropa jauh lebih tinggi dari pada kebudayaan di Timor. Nah beta melihat ketong ini sangat gampang sekali untuk terkesima dengan budaya-budaya luar,” jelas Chico.
Pria yang saat ini menjadi calon vikaris di GMIT Syalom Tonaluis Kolhua itu menyarankan masyarakat NTT mempertahankan kebudayaannya. Bangga akan budaya yang menjadi identitas diri dan mempraktekkan rasa bangga itu. Chico misalnya mengenakan sarung tenun NTT dalam setiap aktivitasnya.
“Di Belanda, di Indonesia, saya pakai ini (sarung tenun NTT). Supaya cepat rusak dan ada alasan untuk beli lagi. Karena kalau daya belinya rendah, lama-lama tenun ini hilang juga. Jadi kita harus bangga dengan ketong punya identitas.” Pungkas Chico. (Ruth)