Kupang – Di satu lorong sempit di kawasan kecamatan Kota Lama di ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa lampion merah tergantung.
Ukiran nama di gapura pada satu bangunan di kawasan itu sudah pudar. Tapi patung berbentuk naga berwarna hijau kokoh berdiri di atas gapura itu.
Di ujung lorong, satu gedung bertembok kuning dengan aksen merah menyambut tiap pengunjung yang datang.
Di dalam, bau dupa menyerbu masuk indra penciuman. Terlihat tiga wadah disediakan di tiga tempat yang berbeda untuk menancap dupa-dupa yang telah dibakar. Warna merah dan emas mendominasi ruangan tersebut.
Suasana perayaan Imlek pada Sabtu kemarin terasa di dalam ruangan.
Sering orang menyebut ini sebagai klenteng. Sejatinya ini adalah Rumah Abu Siang (keluarga) Lay, di Kupang, NTT
Baca Juga: Memaknai Imlek Bagi Warga Tionghoa di Kupang
Tepat di tengah gedung, terdapat tiga meja berisi banyak jenis makanan dan beberapa minuman.
Sehari sebelum perayaan Imlek, yang disebut seperti perayaan tutup tahun bagi umat Nasrani, beberapa orang datang dan menjalankan tradisi leluhur yang mereka tahu sejak kecil.
Tiap mereka datang dan membakar beberapa dupa. Berdiri di tiap tiga meja bertaplak merah. Lalu sejenak menutup mata, melafalkan doa, dan menunduk sebanyak tiga kali. Sambil dupa yang sudah dibakar dipegang diujung telapak tangan yang dirapatkan. Kemudian diangkat setinggi dahi.
Satu meja pertama paling tinggi, ditempatkan di tengah. Wadah dupa digantung di depan meja. Nampak dua lilin besar serta beberapa kue, buah-buahan, dan minuman tersaji di meja tersebut.
“Itu diperuntukkan untuk Tuhan,” kata Ferry Ngahu. Penjaga rumah abu. Yang adalah suami dari Yunni Layandri, salah satu keturunan marga Lay yang punya rumah abu di Kupang.

Meja kedua lebih besar ukurannya. Banyak makanan seperti olahan babi, ikan, buah-buahan, dan kue-kue berjejer di meja tersebut.
Untuk meja kedua ini diperuntukkan kepada leluhur dan orang tua. Mereka percaya, walau orang tua mereka sudah tak lagi di dunia, mereka punya kehidupan selanjutnya di alam lain. Sehingga meskipun raga tak lagi terlihat, penghormatan kepada orang tua mereka masih tetap ada.
Di meja ketiga, nampak lebih kecil ukurannya, namun yang tersaji masih sama.
“Bumi yang kita pijak, kita tempati ini, harus kita jaga. Kita bisa berlangsung hidup ini karena kita ada di atas bumi,” kata Ferry. Untuk itu sajian kepada bumi pun ada.
Makanan dan minuman yang disediakan adalah bentuk persembahan yang disampaikan anak cucu. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan, leluhur, orang tua, dan bumi. Yang mana sudah memberi banyak rezeki.
Ferry menyebut, satu makanan yang wajib ada ialah kue keranjang. Kue yang ada perpaduan manis dan legit ini melambangkan keharmonisan dari silahturahmi yang ada.
Dalam perayaan tutup tahun versi tradisi China ini, mereka juga membakar Jinzhi, atau lembaran kertas bercap emas dan perak sebagai bentuk persembahan pula pada Tuhan dan leluhur, serta orang tua.
Saat Imlek, warga keturunan Tionghoa di Kupang biasanya hanya mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturahmi.
Rumah Abu milik marga Lay ini
telah ada sejak 1865. Dua orang keturunan Tionghoa, yaitu Lay Lan Fi, dan Lay Foet Lin memprakarsai rumah abu ini.
Rumah abu sendiri sudah mengalami beberapa perubahan. Di 1945, mengalami kerusakan di beberapa bagian di bubungan atap akibat Perang Dunia II.

Di 1976, dibuatkan teras. Ventilasi udara di depan yang dulunya berbentuk bulat, kini dalam bentuk kontak.
Baca Juga: Menelusuri Gua di Kampung Bonen, dari yang Megah, Labirin Tak Berujung, Hingga Mistis (Tulisan 3)
Namun perubahan-perubahan itu tidak mengubah bentuk asli bangunan.
Ferry mengatakan, di Kota Lama awalnya terdapat juga rumah abu milik marga Siang Cung yang berada di jalan Siliwangi. Namun sudah tidak ada lagi dan menjadi pertokoan. Sehingga yang bertahan hingga saat ini ialah milik Siang Lay.
Di rumah abu itu terlihat pula papan yang menempel nama-nama para leluhur keluarga Lay yang abunya ditempatkan di gedung yang sudah berumur 158 tahun itu.
“Jadi sudah sampai keturunan ke delapan yang (abunya) ditempatkan di sini. Sudah delapan generasi,” ujar Ferry.
Fungsinya sejak dulu jelas Ferry ialah untuk menempatkan abu dari pada leluhur keluarga Lay. Sehingga kebanyakan yang datang melaksanakan sembahyang di tempat ini ialah yang abu orang tua atau leluhurnya ditempatkan di sini.
“Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk keturunan Tionghoa lainnya yang mungkin datang ke sini dan ingin sembahyang. Kita juga membuka untuk melakukan persembahyangan,” jelas Ferry.
Persembahyangan untuk keluarga Lay di tempat ini dilakukan tiap Sabtu, bulan satu hari dan 15 hari (setelah Imlek), menyambut tahun baru Imlek, dan biasanya dilakukan pada Oktober (jadwal persembayangan seluruh keluarga Lay).
Ferry menyatakan, ini hanyalah untuk menjalankan tradisi. Bukan kepercayaan. Karena kebanyakan keturunan Tionghoa di Kupang sudah masuk ke Kristen Protestan maupun Katolik. *****