Kupang – Lelaki berusia 62 tahun itu dengan telaten mengurai tali seutas tali. Ia duduk tanpa alas tanah dengan meilipat kaki kirinya. Pada ibu jari kaki kanannya, tali yang barusan diurai itu lalu dililit. Tangannya dengan cekatan mengikatkan tali berukuran kecil dengan panjang sekita 20 sentimeter.
Di bawah naungan pondok beratap daun gewang, pria tua bernama Kaleb Fallo itu berteduh sambil mempersiapkan tali untuk mengikat rumput laut. Selangkah keluar dari pondok yang menghadap pantai Sulamu itu, setumpuk rumput laut dijemur di sana.
Kaleb berbagi pondok dengan Bernabas Dadik bersama istrinya. Mereka adalah petani rumput laut di Kelurahan Sulamu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di tepi pantai, berjejer puluhan pondok yang sengaja dibangun oleh para petani sebagai tempat berteduh saat siang hari. Bahkan ada yang bermalam di sana.
Tahun ini, para petani rumput laut benar-benar merasakan bahagia. Harga komoditas itu untuk pertama kalinya menembus nilai Rp. 38 ribu bahkan Rp. 40 ribu. Sayangnya, rasa bahagia itu tidak berlangsung lama.
Sore itu, Sabtu (24/9/20220, air laut di pantai Sulamu sedang surut. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para petani untuk bekerja. Ada yang memanen, ada juga yang sedang mengikatkan bibit rumput laut pada tali yang baru dipasang.
Baca juga: Petani Jagung NTT Kesulitan Pemasaran
Terik matahari masih menyengat meski sudah pukul 4 sore. Salah satu tali miliki Kaleb putus diterjang ombak dan ia harus segera menggantinya. Sembari bekerja, Kaleb bercerita soal nasib mereka saat ini.
“harga rumput laut kini anjlok. Bahkan sudah turun jadi Rp. 25 ribu” kata Kaleb.
Semua berawal dari kebijakan pemerintah provinsi NTT melalui Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 39 tahun 2022 tentang Tata Niaga Komoditas Perikanan. Regulasi yang terbit pada 14 Januari 2022 itu melarang pengiriman bahan baku rumput laut yang sudah dikeringkan ke luar Provinsi.
Pemerintah menunjuk tiga perusahaan yakni PT Algae Sumba Timur Lestari (Astil), PT Rote Karaginan Nusantara (RKN) dan CV Agar Kembang untuk membeli semua hasil produksi rumput laut di NTT.
Aturan itu diberlakukan mulai Agustus 2022. Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi NTT kemudian menjadi pihak yang berhak menentukan harga jual rumput laut oleh para petani.
Turunnya harga rumput laut sejak awal Agustus itu menjadi masalah baru bagi para petani. Para pengepul membeli rumput laut kering dengan harga Rp. 30 ribu dan yang basah Rp.3 ribu per kilo.
Padahal, pasca Badai Seroja harga komoditas itu terus meningkat. Para petani pun semakin bersemangat dan berlomba-lomba membudidaya rumput laut dengan harapan bisa meningkatkan perekonomian mereka.
“Kami petani senang karena dia mulai dari harga Rp. 18 ribu, besok lagi Rp. 20 ribu. Dia naik sampai Rp. 40 ribu lebih,” kata Kaleb.
Harga itu terjun bebas setelah ada Pergub. Disaat yang sama, harga BBM naik dan semakin menambah beban bagi petani.
Setiap hari, Kaleb bersama Barnabas menghabiskan satu liter BBM karena jarak rumah ke lokasi budidaya cukup jauh. Harga satu liter pertalite di Kecamatan Sulamu yang dijual eceran sebesar Rp. 13 ribu.

Tidak ada pilihan lain bagi para petani. Mereka harus terus memantau, meski sumber penghidupan itu baru bisa dipanen setelah sebulan lebih. Mereka harus memastikan bahwa emas hijau itu tidak terserang hama ataupun talinya putus diterjang ombak.
“Bisa hitung berapa pengeluaran kami dalam sebulan hanya untuk beli BBM, sedangkan harga rumput laut ini semakin turun,” ujar Kaleb.
“Belum ada Pergub itu kita ramai-ramai datang karena hasilnya bagus, hasil jualnya tinggi jadi katong (kita,red) senang. Tapi sekarang harga turun jadi katong kecewa sekali dengan ini harga,” kata Barnabas menambahkan.
Baca juga: Australia Latih Petani Sayur di Kota Kupang Membuat Pupuk
Sekitar 700 meter dari pondok Kaleb, Valery Lona mengeluhkan hal yang sama. Bahkan ia menilai Pergub tersebut tidak berpihak pada petani rumput laut.
“Kita punya mata pencaharian hanya rumput laut. Sekarang BBM naik, harga rumput laut drop, itu yang kami sesalkan disitu,” ujar Lona.
Sebelum terbitnya Pergub, banyak pembeli rumput laut yang berdampak pada meningkatnya harga komiditas itu. Petani pun tidak harus menunggu lama untuk menjual hasilnya. Kondisi tersebut tidak dirasakan sekarang. Bahkan sudah hampir dua minggu beberapa petani belum menerima uang hasil jualan emas hijau itu.
“Menurut kami petani, tiga perusahaan daerah ini tidak bisa tampung semua rumput laut petani. Contohnya sekarang, harga dari Rp. 38 ribu sudah turun jadi Rp.25 ribu. Rp. 25 ribu juga petani butuh uang, pengepul tidak ada uang karena mereka kirim ke Sumba uangnya masih tertahan di sana,” kata Lona.
Dengan kondisi itu, petani masih membeli bibit sendiri untuk budidaya. Haji Manek Tjandring bercerita, petani bisa menyediakan bibit sendiri. Namun yang dijadikan bibit adalah yang berusia 25 hari.
Kendati demikian, bila rumput laut terkena hama atau pun talinya putus, resikonya petani harus membeli bibit. Tjandring menilai ada ketimpangan antara harga bibit dan harga jual rumput laut basah.
“Kita beli bibit per kilo Rp. 5 ribu, tapi sekarang kita jual mentah dengan harga Rp. 3 ribu per kilo,” kata Tjandring.
Meski Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi sudah menetapka harga beli rumptu laut kering di bulan September senilai Rp. 28 ribu dan basah Rp. 2.800, namun pengepul membeli dengan harga dibawah.
Petani tidak punya pilihan lain. Kebutuhan yang terus mendesak, mereka terpaksa melepas dengan harga yang tidak sesuai. Yasinta Derosari, petani lainnya menceritakan sulitnya kehidupan mereka. selain harga yang anjlok, mereka tidak bisa lagi menjual dalam jumlah yang banyak.
“Sekarang ini kita tidak bisa timbang banyak, paling sedikit saja. Bisa terima dengan 25 kilo, 30 kilo.Dulu itu kalau kita timbang sampai ratusan kilo juga langsung dibayar,” kata Sinta.
“Itu sangat meresahkan kami. Kasian kami. Begitu harga bahan baku naik, kami juga petani ada yang harus setor pinjaman bank, terus regulasi untuk kami timbang itu juga terlalu berat karena kami tidak bisa langsung ke pengepul yang besar,” ungkap Sinta.
Yosefina Mau, petani rumput laut di Kota Kupang merasakan hal yang sama. Bahkan rumput lautnya yang sudah dikeringkan belum dijual. Ia terakhir menjual pada Agustus lalu. Ia pun mengaku kecewa dengan Pergub tersebut, lantaran mereka sudah merogoh kocek untuk membeli bibit dan tali.
“Kita punya hidup disitu . Kita merasa kecewa juga karena sudah beli tali banyak-banyak, beli bibit, habis harganya jatuh begitu,” ungkap Yosefina. *****
Baca juga; Pemkot Kupang Sunat Dana TPP ASN Pendidikan