Kupang – Chico Lourens duduk di bangku putih biru saat menyadari dirinya lebih tertarik ke sesama lelaki atau gay.
Chico, begitu dia disapa, tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Takut, tak terima, dan rasa tak percaya diri ia rasakan karena merasa berbeda dengan yang lain. Sadar dirinya gay membuatnya menutup diri dari kehidupan sosial.
Gay, jadi satu dari sekian ragam orientasi seksual yang ada di dunia. Dalam The Human Rights Campaign dijelaskan LGBTQ+ adalah lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer. Tanda “+” mengartikan orientasi seksual dan identitas gender lainnya yang tanpa batas.
Chico tak berani mengungkapkan jati dirinya hingga menginjak bangku kuliah. Selama itu ia mencoba mencari jawaban akan keberadaan dirinya.
Dalam rentang waktu yang tak cepat, penyalahan akan diri dan kepada Tuhan terus ada. Mempertanyakan mengapa ia punya orientasi seksual yang berbeda dari yang umumnya ada.
“Beta protes dengan Tuhan. Beta sonde (tidak) minta dilahirkan seperti ini. Kalau seandainya dulu sebelum lahir beta dikasih pilihan untuk menjadi heteroseksual atau homoseksual, pasti beta akan pilih jadi heteroseksual,” ujar Chico.
Ia tak ingin kehadirannya di dunia hanya untuk mendapat cacian, kebencian, maupun diskriminasi oleh karena dirinya gay. Namun kenyataanya ia seperti itu adanya.
Pergumulan panjang dimulai sejak Chico berumur belasan tahun.
Baca Juga: Martha Kewuan, Pejuang Hak Perempuan dari Noelbaki NTT
Minimnya informasi saat itu, membuat pria kelahiran Kupang 35 tahun lalu kemudian mencoba mencari jawaban atas dirinya.
Mengapa ia lebih menyukai sesama pria dibanding perempuan? Apakah benar yang terjadi pada dirinya ini adalah salah? Apakah ini adalah kutukan seperti yang dikoar-koarkan oleh orang-orang?
Lalu apakah benar jika dalam Alkitab pun menolak akan keberadaan orang-orang seperti dirinya? Bukankah Allah itu Kasih? Lalu mengapa ia ciptakan jika memang benar ini adalah kutukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul dan menumbuhkan rasa penasaran dalam diri Chico. Ia kemudian memilih masuk ke sekolah Teologia hingga ke jenjang S2 untuk mencari tahu dan mencoba menyelaraskan kehidupan yang ia punya dengan standar kehidupan yang dipatenkan manusia.
Baca Juga: Kehidupan Anak Pekerja Migran Yang Terabaikan
Di satu waktu saat Chico menemukan titik jawab antara yang terjadi pada dirinya dengan konsep ketuhanan, ia seutuhnya menerima dan berdamai dengan diri. Segala yang berkecamuk dalam kepala dan hati selama belasan tahun itu mulai pudar.
“Ternyata Tuhan kasih jawaban bahwa itu tidak salah. Justru itu given, anugerah yang Tuhan kasih. Sama seperti orang-orang heteroseksual, ya katong (kita) juga diberkati dan dicintai oleh Tuhan,” katanya.
Pemahaman masyarakat awam yang cenderung menafsir ayat-ayat kitab secara tekstual bukan kontekstual yang biasa dipakai untuk menolak orang-orang sepertinya, dapat ia tampik. Argumentasi atau jawaban-jawaban atas penafsiran tekstual itu Chico dapatkan dari buku, para dosen, dan lainnya.
Barulah di tahun 2014 Chico berani untuk membuka diri atau melela ke keluarga, terutama ke ibunya.
Takut sudah pasti. Namun ia memantapkan diri untuk melela agar tak lagi ia menyembunyikan jati dirinya. Entah penerimaan maupun penolakan yang akan diterima, Chico telah siap.
Cinta Tak Bersyarat dari Keluarga
“Awal-awal mama sempat diam. Tapi setelah itu mama langsung bangun peluk terus mama bilang mama bangga dengan mama punya anak,” kata Chico menceritakan kembali respon ibunya saat itu.
Ibunya, AL kepada KatongNTT mengakui, jika ia kaget dan sedih kala pertama kali Chico akhirnya melela padanya. Ia tak menyangka jika selama 35 tahun sebagai ibu, ia benar-benar tak tahu jika putra ketiganya harus bergumul sendirian menghadapi gejolak batin yang berperang dalam dirinya.
“Saya tahu bahwa untuk menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri sebagai seorang laki-laki yang menyukai sesama lelaki di tengah-tengah keluarga yang berlatar belakang rohaniawan bukanlah perkara yang mudah,” ungkap AL.
“Bahkan dia pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya karena sudah muak hidup dengan selalu dibenci dan dituding dosa oleh orang-orang di luar sana,” paparnya.
Baca Juga: Kelompok Rentan Kurang Nikmati Fasilitas Publik dan Rawan Diskriminasi
Namun Ibu Chico sebagai pelayan gereja merasa lega dan bangga. Dalam pergulatan panjang itu, anaknya mampu bertahan dan bisa menerima dirinya sendiri.
“Satu hal yang saya katakan ketika dia melela kepada saya dan ketiga saudaranya adalah, ‘untuk apa mama harus merasa betapa sakitnya melahirkan seorang anak, jika hanya karena anak mama adalah seorang gay terus mama harus usir ko atau mama buang dia? Tidak.’
“Apapun kondisi dan keberadaan Chico sonde akan menggugurkan mama punya rasa sayang, rasa cinta kepada Chico dan anak-anak mama semua,” imbuhnya.
Menurut AL, suatu saat ia pasti akan diminta pertanggungjawaban dari Tuhan bagaimana ia menjaga, mendidik, dan mencintai titipan Tuhan padanya. Sehingga ia tetap menerima anak-anaknya apapun identitas dan orientasi seksual mereka.
“Chico adalah lulusan Teologi hingga menjadi master teologi dan menamatkan studinya dengan peringkat Cumlaude. Sebagai mama tentu itu merupakan kebanggaan tak terkira ketika melihat anaknya berhasil dalam studi.”
“Apalagi ketika saya sendiri yang menumpangkan tangan pada kepalanya untuk memberi berkat dalam prosesi pemberkatan menjadi pendeta,” ujarnya bangga.
Saya tahu Tuhan sangat menyayangi dan mencinta saya dan anak-anak saya terlepas dari kondisi apapun,” ujarnya.
Cinta yang ibunya tunjukkan jadi kekuatan besar bagi Chico. Dalam ketidakberpihakan mayoritas masyarakat di NTT akan LGBTQ+, Chico terberkati dengan kehadiran ibunya yang menerima dirinya utuh tanpa tapi.
Baca Juga: Kota Kupang Peduli HAM, Jauh Panggang dari Api
Penerimaan pun datang dari saudara-saudaranya. Mereka mengatakan apapun orientasi seksualnya, tak bisa mengubah fakta jika mereka bersaudara.
Adik bungsu Chico, AM, ternyata sudah lebih dulu tahu jika kakaknya gay sebelum Chico melela ke mereka.
“Bagi beta kondisi itu sesuatu yang sonde bisa katong tolak atau katong bisa ubah karena Tuhan yang ciptakan beta punya kaka seperti itu. Beta sebagai adik sonde mungkin beta akan tolak dan benci beta punya kaka sendiri,” jelasnya.
Sanksi Gereja dan Keberadaan LGBTQ+ di NTT
Chico ditahbiskan menjadi pendeta tahun 2020 setelah sekitar dua tahun sebelumnya ia sudah melayani sebagai vikaris atau calon pendeta di satu jemaat di Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Pasca pentahbisan, di awal Oktober 2020, satu pemberitaan terkait LGBTQ+ di NTT dimuat di satu media lokal dan Chico menjadi salah satu narasumbernya. Pemberitaan itu kemudian menjadi perbincangan hangat dan keluarga Chico menuai banyak gunjingan.
Keluarga menerima hinaan, makian, dan direndahkan oleh masyarakat. Ketua klasis sinode GMIT yang menyuarakan dukungannya atas kaum LGBTQ+ saat itu pun disebut mendapat banyak serangan.
“Akhirnya ya sudah, beta kena disipilin gereja. Padahal beta sonde buat kesalahan. Sonde membunuh, sonde mencabuli anak orang. Beta didisiplinkan hanya karena beta punya orientasi seksual,” ujar Chico.
Tiga tahun berselang, keberadaan Chico sebagai pelayan gereja akan diputuskan di sidang sinode pada 11-20 Oktober 2023.
Chico jelas punya kerinduan untuk kembali melayani jemaat. Namun segala apa yang terjadi nanti, ia serahkan pada yang Kuasa.
Jika status kependetaannya dicabut dalam sidang tersebut, menurut Chico itu sudah termasuk dalam pelanggaran HAM.
Ia beserta jaringan kelompok kemanusiaan yang lain, juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Kupang sudah siap menggugat GMIT jika keputusan itu yang akan diambil.
Baca Juga: Menanti GMIT Kawal Penegakan Hukum Predator Seksual
Pelayanannya kini pada komunitas Independent Man of FLOBAMORA atau Imof untuk membantu sesamanya dalam mendapat hak-hak dasar mereka di Indonesia khususnya di NTT.
Dalam Imof, Chico bersama kerabat-kerabatnya sejak 2010 lalu membuat organisasi ini untuk memayungi komunitas LGBTQ+ di NTT.
Awalnya, Imof adalah komunitas khusus gay dan bisexual.
“Lalu kita merasa kita terlalu eksklusif kalau hanya gay dan bisexual saja. Jadi kami kemudian mengkoordinir semua. Supaya selalu teredukasi dapat info terupdate terkait gender dan seksualitas,” jelasnya.
Tergabung dalam organisasi tersebut, mereka mengadvokasi soal hak-hak dasar (hak bekerja, berkespresi, berkarya) dari para LGBTQ+.
Direktur LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara dalam Diskusi Rekomendasi Ranperda Penyelenggaraan Hak Asasi Manusia (HAM) di Kota Kupang beberapa waktu lalu menyebut, 78 tahun Indonesia merdeka namun pemenuhan HAM masih belum terpenuhi.
“Bahkan kelompok minoritas gender dan seksual juga kelompok minoritas kepercayaan belum diakui dan bahkan belum diatur dalam undang-undang,” kata Amsy.
Baca Juga: Garamin NTT Desak Penerbitan Perwali Tentang Disabilitas
Pengakuan dan representasi yang kurang menjadikan ruang inklusif semakin sukar didapat.
Didiskriminasi, dibully, dan distigma negatif, jadi tindakan konstan yang kerap mereka dapatkan. Hal ini membuat mereka jadi sulit untuk berekspresi.
Kesehatan mental pun kerap terganggu karena kebanyakan mereka belum terbuka dengan orang tua dan keluarga.
“Itu lah yang kami advokasi untuk pemerintah, masyarakat, dan dari semua lini, rohaniawan-rohaniawan supaya lebih progresif dan bisa lebih inklusif dengan teman-teman LGBTQ+,” kata Chico.
Salah satunya dengan merancang peraturan daerah bersama LBH Apik untuk terbentuknya kota ramah HAM. Dengan begini, diharapkan bisa meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang berdasarkan standar dan norma-norma HAM, termasuk di dalamnya teman-teman LGBTQ+.
Ruang untuk mengekspresikan diri saat ini ialah lewat media sosial kata Chico.
Lewat media sosial pun masyarakat makin tahu jika teman-teman LGBTQ+ itu unik. Walaupun memang diskiriminasi dan stigma itu akan selalu ada selama manusia itu ada di bumi. Namun, kata Chico, setidaknya bisa diminimalkan.
Kini, setelah jalan panjang yang ia alami, Chico membawa diri untuk membantu teman-teman yang lain untuk menerima keberadaan mereka.
“Bahwa jangan pernah merasa bahwa katong sonde dicintai oleh Tuhan. Kita juga dicintai oleh Tuhan,” pungkasnya. ***