Pemasaran masih menjadi kendala bagi petani jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT). Banyak petani masih kebingungan memasarkan hasil produksi jagung dalam jumlah besar.
Hal itu disampaikan Midzon Johannis, Head of Bussines Sustainability Syngenta, perusahaan penyedia teknologi dan jasa pertanian terbesar dunia dalam Webinar Sehari bertema Peluang dan tantangan pengembangan industri jagung di Nusa Tenggara Timur pada Kamis, 17 September 2021. Webiner diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor.
Johannis mengatakan, belasan tahun lalu, pihaknya pernah melakukan demonstrasi bersama petani di NTT dalam pengembangan pertanian jagung. Hasilnya saat itu sangat bagus dan mereka berpikir para petani akan bahagia.
Namun kenyataannya, para petani seperti dirundung persoalan baru. Petani bingung kemana produksi jagung sebanyak itu akan dijual.
Johannis menilai, pemerintah dalam mengembangkan pertanian jagung di NTT tidak bisa berjalan sendiri. Perlu sinergitas dengan berbagai pihak, terutama yang bergerak di bidang industri jagung. Sehingga mampu menyediakan pasar bagi para petani jagung.
Ia menyebut potensi pengembangan jagung di NTT ibarat intan. Hanya perlu orang menemukan dan mengasahnya untuk menjadi berharga.
Gerakan menjadikan NTT sebagai Provinsi pariwisata, harusnya berimbas pada pertanian. Para petani, kata Johannis, harus mendapatkan keuntungan dari banyak kunjungan wisatawan.
“Wisatawan tidak hanya butuh tempat tidur, tapi butuh makan juga. Daging sapi dan daging ayam diproduksi dari pakan ternakyang dibuat dari jagung,” jelas Johanni.
“Dan petani harusnya bisa memproduksi lebih banyak jagung untuk mendapatkan keuntungan dari kunjungan wisatawan.”
Head of Seed Bussines Syngenta, Fausi Tubat pun menyebutkan, persoalan terbesar adalah pemasaran. Untuk menggenjot produksi pertanian jagung, petani seharusnya tahu tentang pasaran yang berkelanjutan tidak hanya sekali saja.
Data BPS NTT tahun 2019 menyebutkan, produksi jagung di NTT berada pada 2,6 ton per hektar dengan luas lahan 0,3 juta hektar. Dan total produksi 0,88 juta ton.
Hasil produksi jagung NTT masih jauh di bawah daerah-daerah lain seperti NTB dengan produksi 6 ton per hektar. Meski luas lahan di NTB hanya 0,20 juta hektar. Namun NTB mampu memproduksi hingga 1,2 juta ton jagung.
Fausi menjelaskan, pemanfaatan jagung untuk konsumsi di Indonesia hanya 2 persen saja. Selain itu, jagung yang digunakan untuk pakan ternak sebesar 7 persen. Sektor paling besar adalah industri makanan dan minuman yang berbahan baku jagung.
“Industri makanan dan minuman berbahan baku jagung ini berkembang pesat,” kata Fausi.
NTT harus melihat kebutuhan itu sebagai peluang dalam pengembangan jagung. Peningkatan produksi perlu dilakukan melalui perluasan area pertanian dan peningkatan produktivitas.
NTT harus bisa meningkatkan produktivitas dari 2,6 ton per hektare sekarang menjadi 5 atau 6 ton per hektare.
Founder NTT Cerdas, Const Joel Tukan menyebutkan, perlu adanya input pertanian yang berkualitas. Kemudian akses terhadap pengetahuan pemanfaatan teknologi. Selain itu, pasar dan harga jual jagung sangat penting dalam mendorong petani jagung untuk meningkatkan produktivitas.
Joel menyebutkan, luas lahan di NTT untuk pertanian di tahun 2017 sebesar 313.150 hektare. Namun yang digunakan untuk pertanian jagung pada tahun 2019 itu sebesar 55.800 hektare. Artinya, masih ada 257.350 hektare yang belum diolah.
Lahan-lahan tidur itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menambah jumlah produksi jagung di NTT. Luas lahan tersebut menjadi potensi yang besar ditambah jumlah petani di NTT 522.000 petani.
Persoalannya, petani sering kewalahan dalam menyimpan jagung agar tidak cepat rusak. Petani masih menggunakan cara tradisional secara turun-temurun dengan menyimpan jagung di loteng rumah mereka.
“Saya kira alumni IPB kurang memberikan edukasi terkait pemanfaatan teknologi dalam penyimpanan jagung agar tidak cepat rusak,” ujar Joel.
Wakil Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy menyebutkan, jagung sangat banyak digunakan untuk pakan ternak, termasuk unggas. Di Sumatera Barat, terdapat 12 juta lebih ternak ayam. Pihaknya pun belum mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak unggas dari jagung.
Di NTT, kata Audy, jumlah unggas masih sangat sedikit. Hal itu dinilai menjadi pelung usaha yang bisa mendorong produksi jagung di NTT.
Maxdeyul Sola mengatakan, NTT punya peluang besar dalam pengembangan jagung. Namun perlu gerakan massal dalam meningkatkan produktivitas jagung.
Program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) yang dilakukan oleh Pemerintah NTT dinilai sudah cukup bagus. Meski demikian, Sola menilai gerakan tersebut belum masif.
Perlu kolaborasi dan sinergitas dengan berbagai pihak, termasuk industri jagung. Hal itu untuk menyediakan pasaran yang bisa membuat petani jagung bahagia, dan tidak hanya menanam jagung untuk konsumsi, namun juga untuk dijual.
“NTT punya peluang besar meningkatkan produktivitas jagung karena punya lahan yang luas sehingga hanya perlu mengganti variatas jagung yang ada saat ini,” kata Sola.
Heri Soba, Sekjen Masyarakat Singkong Indonesia yang menjadi moderator dalam diskusi itu menekan, sinergitas perlu dilakukan dengan berbagai stakeholders. Banyak peluang dan tantangan dalam pengembangan jagung di NTT. Kerja sama itu, akan mampu mendorong peningkatan produksi jagung di NTT.
“Kalau stakeholder tidak ada yang bergerak, maka DPD Himpunan alumni IPB NTT harus mengambil inisiatif itu,” kata Heri. (Joe)