Kupang – Sistem pemilu proporsional terbuka diduga menjadi penyebab para petugas pemilu kelelahan hingga menjadi korban jiwa pasca tahapan perhitungan suara.
Hingga saat ini tercatat ada 5 petugas pemilu di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia. Petugas yang sakit pun yakni 5 orang PPK, 4 orang PPS, 69 orang KPPS dan 5 orang linmas. Ada pula 5 petugas yang mengalami kecelakaan yaitu PPK dan PPS masing-masing 1 orang dan 3 orang KPPS.
Baca juga : 5 Petugas Pemilu di NTT Meninggal Pasca Pemungutan Suara
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, John Tuba Helan, menilai sistem pemilu proporsional terbuka cara kerjanya rumit dan panjang karena pemilih harus mencari partai dan mencermati nama-nama calon legislatif (caleg).
Tidak sedikit pemilih yang akhirnya asal-asalan memilih caleg DPRD hingga DPR RI atau memberi suara cuma-cuma pada caleg yang tak mereka pahami kualitasnya.
Kerumitan ini pun memuncak saat proses perhitungan suara. Para petugas KPPS harus mencatat satu per satu suara yang diurutkan sesuai nama caleg yang sudah dipilih. Proses ini sangat memakan waktu hingga matahari terbit kembali.
“Mereka bekerja itu kalau saya amati paling cepat itu selesai jam 4 dini hari,” tukasnya saat dihubungi Kamis 22 Februari 2024.
Baca juga : Jumlah Anak Usia Dini Hidup Miskin di NTT, Tertinggi Kedua di Indonesia
Petugas tentunya tidak akan tahan terhadap sistem kerja yang bisa memakan waktu lebih dari 24 jam tersebut. Terbukti kini dengan adanya korban jiwa maupun sakit.
Sebelumnya pun Mahkamah Konstitusi (MK) dikabarkan akan mengubah sistem Pemilu dari coblos nama caleg menjadi coblos gambar partai atau sistem proporsional tertutup.
Sebelumnya sistem proporsional tertutup sudah dianut Indonesia, jelas John, sehingga untuk pileg yang dipilih adalah partai bukan calegnya.
“Maka seharusnya kita pilih partai bukan pilih orang. Kalau pilih partai mungkin bisa selesai lebih cepat karena saat ini saja ada 18 partai,” tukasnya.
Baca juga : Caleg Miskin Gagasan Andalkan Politik Uang
Ia mencontohkan jumlah caleg DPRD kabupaten atau kota saat ini saja di atas 100 orang maka pada perhitungannya pun akan rumit ketimbang menghitung suara partai.
Saat ini juga surat suara yang diterima seorang pemilih dinilai sudah terlalu banyak dengan ukurannya yang besar dan banyak nama.
Berbanding dengan pilkada yaitu pemilihan bupati atau wali kota dan pemilihan gubernur yang tidak akan seribet pemilihan legislatif yang ditambah pemilihan presiden ini.
“Bila sistem ini begini terus maka masalah ini akan terulang terus di pemilu berikutnya,” ungkap John.
Baca juga : Pemilu Ulang di Sumba Barat Daya, KPPS Dipecat
Usia KPPS memang telah dibatasi maksimal 55 tahun akan tetapi jam kerja seperti itu sama saja tidak manusiawi sekalipun petugasnya usia muda.
Surat keterangan kesehatan pun tidak menjamin karena bisa jadi hanya format awal tanpa ada pemeriksaan yang lengkap.
Intinya adalah sistem ini harus diubah, lanjut John, sebab masyarakat akan lebih banyak tertarik pada partai yang memiliki ideologi, perjuangan, maupun prestasi tersendiri.
“Karena partai berlangsung terus dibandingkan orangnya. Jadi partai punya peran menyusun nomor urut tingkatan prestasi dan kualitas dalam kader partai mereka,” kata dia.
Baca juga: KPU NTT Cek Berkas Bacaleg ke Pengadilan Hingga Rumah Sakit
Money politics juga bisa ditekan dengan sistem pemilu tertutup ini. Selain itu sistem ini akan menyaring dengan jelas mana kader-kader yang berkualitas dalam tubuh partai. Kaderisasi ini akan lebih ketat ketimbang sistem terbuka di mana siapapun bisa maju menggunakan partai mana pun secara kilat.
“Kan sekarang ada yang pensiun hari ini tapi besok terima kartu tanda anggota partai langsung jadi caleg. Dari segi teori demokrasi ini tidak benar,” ungkap dia.
Kaderisasi partai pun harus berlangsung bertahap dan memerlukan waktu yang lama dengan kinerja yang bagus dalam partai sebelum diorbitkan jadi caleg.
Baca juga : Jembatan Putus, Truk Logistik Pemilu ke Amfoang Terobos Sungai
“Itu pun bertahap dari caleg DPRD kota atau kabupaten dulu lalu terus nanti baru naik ke provinsi. Sekarang tidak, langsung ada yang caleg di pusat memang,” tukasnya.
Akademisi Hukum muhamadiyah Kupang, Ahmad Atang, pun menilai sistem proporsional terbuka ini rumit sejak 2019 dan menjadi pengalaman buruk akibat banyak yang meninggal.
Baca juga: Pemilu di NTT, Jalur Maut Distribusi Logistik – Petugas Masuk RS
Pada tingkat pemungutan suara petugas harus mengelola banyak suara peserta legislatif dari 18 partai ditambah dengan surat suara DPD dan pilpres.
Tuntutan kerja yang tinggi itu pasti menguras stamina karena suara merupakan mahkota pemilu yang dihasilkan dalam tempat pemungutan suara (TPS).
“KPU harus memastikan jika model rekruitmen dan syarat harus diperketat agar menghasilkan KPPS yang mampu bekerja penuh waktu secara maksimal,” tukasnya. ***