Soe– Sekitar 400 petani muda yang sebagian besar perempuan di 25 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan akan mendapatkan pelatihan tentang pertanian dan peternakan berkelanjutan. Pelatihan yang berlangsung dari tahun 2024 hingga akhir 2025 diselenggarakan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Citi Foundation.
Plan yang telah hadir di Indonesia sejak 1969 memayungi pelatihan berkelanjutan ini dalam Program Youth Led Agri Food. Program ini diluncurkan pada Jumat, 1 Maret 2024 di area lahan pertanian Kelompok Tani Hidup Baru di Desa Noinbila, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS. Kelompok tani yang beranggotakan 10 orang muda asal Desa Noinbila sudah mendapatkan pelatihan pertanian melalui Program Plan yakni Green Skill Project tahun 2020.
Baca juga: Panen Berlimpah, Plan Indonesia Fasilitasi Sarana Belajar Petani Perempuan
Dalam peluncuran Program Youth Led Agri Food hadir Penjabat Bupati TTS, Seperius Edison Sipa, Puni Ayu Anjungsari sebagai Country Head of Public Affairs Citi Indonesia, beberapa perangkat pemerintah kecamatan dan desa. Tokoh masyarakat adat dan warga sekitar turut menghadiri acara tersebut.
Menurut Linda Sukandar, Resource Mobilization Director Plan Indonesia, program Youth Led Agri Food untuk membangun ketahanan pangan melalui agrikultur di Kabupaten TTS. Selain itu, Plan mencermati ada situasi mendesak untuk menghadirkan program ini yakni angka prevelansi stunting NTT yang tertinggi di Indonesia. Di Kabupaten TTS terdapat 8.900 anak yang mengalami stunting. Data Dinas Kesehatan TTS menyebutkan ada 22 persen anak yang mengalami stunting.
“Ada urgensi di sini, situasi dimana kita harus bekerja lebih keras salah satunya adalah terkait angka stunting atau stunting prevelansi yang tidak tahu bahwa NTT adalah salah satu provinsi dengan tingkat stunting paling tinggi di Indonesia,” kata Linda memberikan penjelasan saat peluncuran program tersebut.
Baca juga: Dampak El Nino, Pemda NTT Saran Petani Tak Lagi Tanam Padi
Sekitar 4.375 orang akan menerima manfaat dari program ini termasuk ibu-ibu hamil dan anak-anak di TTS. Mereka nantinya akan mendapatkan akses pangan secara lebih mudah. Sehingga kebutuhan protein dan gizi yang dibutuhkan untuk anak-anak mereka dapat diperoleh dengan harga murah.
“ Tak perlu menunggu dari Kupang atau bahkan lebih jauh lagi. Semua komiditas pangan yang dibutuhkan ada di desa tersebut dan terjangkau (harga-red). Dan mudah-mudahan meningkatkan perekonomian di desa tersebut,” ujar Linda.
Penjabat Bupati TTS, Seperius Edison Sipa mengatakan, prospek komoditas holtikultura sangat baik dan punya nilai ekonomi yang tidak kecil. Selain itu, tanaman holtikultura ini dapat ditanam di area dengan skala kecil seperti pekarangan rumah.
Mengingat Program Youth Led Agri Food bertujuan menjaga ketahanan pangan, Penjabat Bupati Edison menjelaskan, setiap desa diwajibkan menyediakan 5 hektar lahan untuk proram ketahanan pangan tahun 2022-2023.
Untuk musim tanam 2023, Pemerintah Kabupaten TTS mewajibkan setiap desa menyediakan 20 hektar lahan untuk menanam jagung. Saat itu sekitar 75 ribu hektar lahan siap ditanam. Namun Elnino membuat TTS menghadapi gagal tanam dan gagal tumbuh karena curah hujan yang minim.
Dengan perubahan cuaca yang tidak menentu, Pemerintah Kabupaten TTS menyarankan agar masyarakat bertanam tanaman holtikultura yang masa panennya lebih cepat dibandingkan jagung.
“Dengan perubahan cuaca seperti ini, kita mengalihkan tanaman jagung ke tanaman holtikultura yang cepat panen,” ujarnya.
Baca juga: Sektor Pertanian NTT Terancam Minimnya Jumlah Petani Milenial
Dalam konferensi pers, Linda berharap Pemerintah Kabupaten TTS mereplikasi program Youth Led Agri Food ini sehingga semakin banyak petani milenial (18-39 tahun). Sebab, program ini juga ditujukan untuk mengurangi angka pekerja migran nonprosedural keluar NTT atau bahkan ke luar negeri. Juga mengurangi angka pengangguran di TTS.
Tantangannya, menurut Linda, memotivasi orang muda TTS agar sungguh-sungguh menjalankan profesinya sebagai petani. Sehingga tidak mudah tergoda untuk mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang. Sementara ada lahan pertanian yang belum dikelola sebagai sumber penghasilan.
Meti dan Jenete yang Menginspirasi
Maria Yumetri Omenu, 32 tahun, merupakan satu dari beberapa orang muda di NTT yang berprofesi sebagai petani atau biasa disebut petani milenial. Berdasarkan data Badan Pusa Statistik NTT, jumlah petani milenial baru sekitar 225.185 orang atau 25,48 persen dari 883.667 petani di NTT.
Meti, begitu dia disapa, merupakan champion dari Green Skill Project yang diselenggarakan Plan 2017. Dalam peluncuran Program Youth Led Agri Food, Meti hadir sebagai fasilitator bagi kelompok tani di Desa Noinbila. Dia tersenyum sumringah ketika menjelaskan asalnya dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), bukan TTS.
Meti kemudian menjelaskan, dirinya sudah delapan tahun menggeluti dunia pertanian hortikultura. Di atas lahan seluas 1,5 hektar dia menanam cabe, tomat, kubis, dan wortel. Ketekunannya membuahkan hasil hingga dalam kurun waktu sekitar 3 tahun, Meti sudah balik modal.

Baca juga: Kisah Perempuan NTT Bertahan Dari Mahalnya Harga Beras
Dalam sejumlah kegiatan yang diadakan Plan, Meti mendapat pelatihan mengelola keuangan dan melakukan analisa pasar. Dia terbantu dengan memiliki keterampilan untuk mengelola keuangan sehingga uang hasil jerih payahnya sebagai petani digunakan sesuai kebutuhan.
Dari hasil pertanian holtikulturanya, Meti membiayai perkuliahan adik bungsunya di Universitas Nusa Cendana dan membeli lahan seluas 500 meter untuk memperluas lahan pertaniannya. Dia bahkan mendirikan perusahaan yang menjual kebutuhan pertanian. Meti juga menabung dana hasil penjualan produk hortikulturanya untuk membeli rumah dan menikah.
“Dua tahun lagi ada rencana menikah,” ujarnya tertawa.
Keputusan Jenete Mellianti Tokuan menerima tawaran Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) untuk mengikuti Green Skill Project tahun 2020 tidak sia-sia. Program ini telah mengubah cara pandangnya tentang bertani. Keterampilan bertani pun bertambah.
Kedua orangtua Jenete merupakan petani di lahan kebun milik mereka di Desa Noinbila, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jenete sejak kecll membantu orangtuanya bertani.
Baca juga: Lima Kabupaten di NTT Terbanyak Kirim PMI di 2023, Mayoritas Perempuan
Setelah berjejaring dengan Plan, Jenete bersama 9 orang muda Desa Noinbila membentuk kelompok tani. Mereka memberi nama kelompok taninya Hidup Baru. Jenete ditunjuk sebagai ketua kelompok tani.

Dalam perjalanan, Kelompok Tani Hidup Baru mendapat dukungan teknologi pertanian maju sehingga memudahkan mereka bekerja di lahan yang penuh karang dan ketersediaan air yang terbatas.
“Ada teknologi seperti irigasi tetes, solar panel, cultivator,” kata Jenete kepada KatongNTT.com pada Sabtu, 2 Maret 2024.
Di atas lahan seluas 600 meter dari 1 hektar yang dikelola, Kelompok Tani Hidup Baru menanam beberapa jenis bibit holtikultura seperti cabai, wortel, dan tomat. Dalam tiga tahun terakhir, mereka sudah panen beberapa kali. Hasil dari penjualan produk hortikultura, Jenete dan 9 temannya telah menikmati hasilnya.
“Setelah dikurangi biaya, untuk tabungan kelompok tani, setiap anggota kelompok mendapat Rp 3 juta. Itu untuk 2,5 bulan (dihitung dari saat mulai menanam hingga panen dan produk dijual-red),” ujar Jenete.
Baca juga: Jumlah Perempuan NTT Yang Nganggur Kembali Bertambah
Meti dan Jenete terbantu dengan kehadiran teknologi informasi digital, sehingga pemasaran dan penjualan produk pertanian mereka dilakukan secara online. Sehingga mereka menghemat ongkos transportasi. Selain itu, mereka tidak perlu menghabiskan waktu menjual produk pertaniannya di pasar tradisional.
Sepertinya anggapan profesi petani identik dengan kemiskinan, kotor, bau, dan buang-buang waktu dan tenaga, terkikis perlahan.*****