Mobil jenazah milik RSUD Yohanes Kupang terparkir di halaman depan kargo bandara El Tari Kupang. Orang-orang datang berkerumun saat pintu belakang mobil jenazah dibuka. Mobil itu memuat sebuah peti mayat berisi jenazah seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Suster Laurentin dari Tim Kargo berdiri dekat peti jenazah. Tangannya ditumpangkan diatas peti, lalu mengajak semua yang ada mendoakan jenazah.
Sejak 2016, bersama Pdt. Emy Sahertian dan beberapa orang yang peduli dengan kemanusiaan, Suster Laurentin aktif membantu korban PMI yang meninggal di tempat kerja. Tim Kargo membantu pemulangan jenazah PMI asal NTT terutama mereka yang bekerja melalui jalur nonprosedural.
Kehadiran Tim Kargo menjembatani keluarga korban untuk mendapatkan informasi yang jelas terkait kondisi korban. Suster Laurentin bercerita kepada KatongNTT, sebelumnya banyak keluarga korban seperti jatuh tertimpa tangga. Mereka sudah kehilangan keluarga, tapi masih juga diperas oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab.
“Kadang-kadang jenazah terbengkalai di sini selama beberapa hari karena alamat tidak jelas,” kata Suster Laurentin di halaman kargo Bandara El Tari Kupang, Selasa (25/1/2022).
Yang paling banyak terkendala adalah PMI nonprosedural. Biasanya identitas mereka akan dipalsukan. Mulai dari nama, tempat dan tanggal lahir, alamat hingga agama pun bisa dipalsukan.
Suster Laurentin menilai, banyak warga NTT yang terjebak untuk bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur yang resmi karena dijanjikan kemudahan dan gaji yang tinggi. Tanpa banyak syarat yang harus dipenuhi, tawaran menggiurkan itu sering diterima tanpa berpikir panjang.
“Biasanya mereka (penyebab meninggal) itu sakit ya. Sakit kronis karena tidak bisa berobat ke rumah sakit. Karana banyak yang nonprosedural atau tanpa dokumen,” ujara Suster Laurentin.
Jumlah korban PMI yang meninggal ditempat kerja paling banyak merupakan PMI nonprosedural. 90 persen korban meninggal adalah mereka yang bekerja nonprosedural.
Tahun 2021, dari 121 kasus PMI meninggal dunia, 120 merupakan PMI yang berstatatus nonprosedural. Dan korban terbanyak itu bekerja di Malaysia sebanyak 116 orang. Semuanya bekerja di Malaysia melalui jalur yang tidak resmi atau nonprosedural.
Merujuk pada data penempatan PMI yang dikeluarkan oleh BP2MI NTT, tahun 2021 penempatan PMI resmi dari NTT hanya 18 orang. 13 orang bekerja di Singapura, 4 orang ditempatkan di Hongkong dan 1 orang bekerja di Papua New Guenea. Artinya, tahun 2021 tidak ada PMI yang berstatus prosedural di Malaysia.
Jumlah korban meninggal pada 2020 sebanyak 87 orang. Hanya 10 orang yang berstatus prosedural, 6 diantaranya meninggal di Malaysia. Sementara 76 orang PMI nonprosedural meniggal di Malaysia pada ditahun yang sama.
Tahun 2018, total PMI asal NTT yang meninggal sebanyak 105 orang. 102 orang bekerja di Malaysia. Dari jumlah itu, 100 orang merupakan PMI nonprosedural. Kemudian pada 2019, jumlah korban meningkat menjadi 119 orang. 117 orang meninggal di Malaysia dan hanya 1 orang korban yang berstatus resmi. Jenazah PMI nonprosedural pada tahun itu sebanyak 117 orang.
Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia, Gabriel Goa mengatakan, Pemerintah daerah di NTT terkesan mengabaikan persoalan ini. Sementara jumlah PMI nonprosedural yang meninggal setiap tahun ini bertambah banyak.
“Ini miris karena ada perangkat Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Kota di NTT pasif. (Mereka) tidak mencari tahu mengapa anak-anak NTT, saudara-saurada kita ini bermigrasi ilegal (nonprosedural,red) dan rentan Human trafficking,” kata Gabriel Goa kepada KatongNTT awal bulan ini.
Pemerintah tidak memperhatikan proses dari hulu. Proses pengawasan terhadap perusahaan ilegal yang menyebarkan agen-agennya untuk merekrut tenaga kerja nonprosedural tidak terkontrol. Proses hukum pun masih tumpul terhadap perusahaan-perusahaan yang mendapatkan banyak keuntungan dari perekrut yang tidak prosedural ini.
Pekan lalu, ada 11 orang calon PMI nonprosedural asal NTT yang dikembalikan. 4 orang kembali ke NTT pada 25 Januari 2022. 2 orang berasal dari Flores Timur, 1 orang dari Kabupaten Kupang dan 1 orang dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Tiga hari kemudian, 7 orang dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dipulangkan ke NTT.
2 dari 4 orang yang dipulangkan lebih dulu, direkrut oleh agen perusahaan ilegal. Sampai saat ini, agen-agen tersebut masih berkeliaran. Dan tidak menutup kemungkinan akan ada lagi anak-anak NTT yang bermigrasi tanpa melalui proses yang resmi.
“Kesalahan pertama tentu saja dimulai dari Negara dalam hal ini Pemerintah. Mengapa mereka (warga NTT yang bermigrasi nonprosedural) tidak bisa disalahkan karena lapangan pekerja yang disediakan belum memungkinkan di NTT untuk mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak,” ungkap Gabriel.
Pengalaman tersebut dialami oleh Abdulaharis Masan Gawe. Abdulharis yang pernah bekerja di Malaysia selama 8 tahun mengatakan, dia memilih merantau untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Sehingga, meskipun berangkat secara tidak resmi, Dia memberanikan diri untuk kembali ke Malaysia.
“Kalau soal gaji, kita merantau ini untuk cari yang lebih baik,” kata Abdulharis di Kantor BP2MI NTT pekan lalu usai memberikan keterangan kepada petugas.
Sejak 2016, MoU antara Indonesia dan Malaysia untuk penempatan dan perlindungan pekerjaan migran sudah berakhir. Pembaruan kesepakatan itu baru dimulai pada November tahun lalu. Kedua Negara baru mematangkan draf MoU tersebut pada 24 Januari lalu.
Situasi ini, kata Gabriel dimanfaatkan oleh para mafia untuk merekrut dan memberangkatkan warga NTT melalui jalur yang tidak resmi. Keseriusan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat untuk melindungi warganya pun dipertanyakan. Pada saat dilantik, Laiskodat dengan tegas mengatakan, akan mematahkan kaki para pelaku yang merekrut warga NTT untuk dipekerjakan secara tidak resmi.
“Langkah selanjutnya adalah ketegasan dari Presiden Jokowi dan Gubernur Viktor Laiskodat,” kata Gabriel. Komitmen pada apa yang disampaikan oleh para pemimpin mampu menekan perekrutan tenaga kerja yang tidak prosedural.
Suster Laurentin Negara bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan warga negaranya. Apa pun resikonya, negara harus hadir dan memberikan jaminan serta perlindungan.
“Meskipun mereka prosdeural maupun nonprosedural, Negara harus hadir. Seperti slogan BP2MI yang juga menjadi motto mereka, akan melindungi pekerja migran dari ujung kaki sampai ujung rambut. Semoga mereka (Pemerintah) bisa membuktikan itu,” ujar Suster Laurentin yang dijuluki Suster kargo. (K-04)