Kupang – Virus buas dan berbahaya menguasai dunia luar begitu lamanya. Rumah sakit dan pekuburan ramai dengan orang yang terpapar dan ada yang sudah tak bernyawa. Sirine ambulans dan mobil jenazah bising dimana-mana. Tiga tahun lamanya dan raksasa-raksasa itu juga tak kunjung muncul.
Para raksasa Bhuta Kala turut diam bersama manusia dalam rumah. Rupa mereka berbeda-beda tapi yang pasti menakutkan dan menantang. Tubuh Bhuta Kala adalah manusia dengan berbagai warna yang sangat asing di mata. Wajah mereka binatang, bermata besar, rambut yang urakan.
Tak ada pawai meriah untuk mereka seperti tahun-tahun sebelumnya. Kota Kupang sedang melakoni parade panjang bagi kesepian dan kematian seperti kota-kota lainnya. Tubuh raksasa yang disiapkan untuk pawai akhirnya lapuk hingga musnah dengan sendirinya.
Baca juga: Agama dan Budaya: Wahana Cinta dan Persaudaraan Nasional
Terakhir kali Bhuta Kala diarak umat Hindu sepanjang jalan dari Bundaran PU menuju Jembatan Liliba. Jembatan itu tempat jiwa berpulang dengan nahas. Mereka adalah beberapa dari kita yang karena kesukaran memutuskan terjun menuju akhir segalanya. Bhuta Kala sudah menyusuri jembatan tua tak bernyawa itu.
Kala itu manusia selalu punya pilihan. Ada yang menikmati pawai para raksasa yang bengis ini. Ada yang mengabaikan mereka. Ada yang terbius dan berpikir bisa mengalahkan Bhuta Kala. Semua berubah saat pandemi. Terakhir kali pilihan manusia yang terbaik sekaligus tersulit adalah menyepi dan menghadapi diri sendiri.
Kota Kupang sudah mulai sembuh. Manusia kini bebas berkeliaran dan seperti terburu-buru. Jelang tengah hari percik lumpur di jalanan rusak dalam pasar-pasar tradisional benar-benar tak merdu. Bunyi panjang klakson kendaraan berderu di Jembatan Liliba saat petang. Orang-orang yang lelah bekerja bergegas pulang ke rumah.
Senyap benar-benar sudah lenyap, maka para iblis-iblis raksasa itu pun leluasa dan kembali muncul. 21 Maret kemarin para Bhuta Kala berkumpul di depan Kantor Gubernur NTT dengan kelebihan mereka. Manusia dibuat tertarik dengan lidah panjang mereka. Wajah-wajah jelek mereka penuh dusta namun berhasil memikat. Bermacam hal buruk tersirat dari tubuh mereka yang kekar. Tetap saja ada yang mendekat.
Jalan El Tari jadi ramai dengan manusia. Umat Hindu Kota Kupang mengadakan sembahyang di sana, bersila di atas aspal hangat, merapalkan doa di bawah langit sore yang mendung. Warga Kota mengerubungi sekitar 1.700 umat Hindu saat itu dengan kamera yang siaga. Pecalang atau polisi tradisional menjaga aktivitas keagamaan itu agar berjalan khusuk dan tak terganggu.
Baca juga: Peneliti Sebut Gereja Berutang atas Kepunahan Tradisi Lunat “Tato”
Sebelumnya umat Hindu beramai-ramai berada di laut dan melakukan upacara Melasti. Di sana umat Hindu meleburkan segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan. Upacara itu dikawal oleh Pemuda GMIT Ebenhazer Oeba maupun GP Ansor.
Sementara hari itu di tengah keramaian kota dilakukan ritual Mecaru. Ritual ini dilakukan sehari sebelum Nyepi. Semua hal kotor dunia dipastikan harus lebur dan tiada. Umat Hindu siap memantapkan batin untuk menyepi setelah semua perarakan ini usai. Kali ini Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945. Nyepi tanpa teror pandemi.
Semua ritual ini demi penyucian diri dan menjaga keharmonisan kita manusia dengan alam. Bhuta Kala harus kalah. Raksasa-raksasa ini berasal dari dunia dan dari sisi jahat manusia. Para raksasa itu bakal diarak di tengah keramaian untuk dibinasakan. Semua menyebutnya pawai ogoh-ogoh. Tapi yang pasti umat Hindu kali ini tidak lagi membawa para raksasa itu ke Jembatan Liliba.
“Perempatan El Tari Kupang dipilih kali ini karena menunjukkan empat arah mata angin dan kita sembahyangnya nanti ke Timur. Pawai ogoh-ogoh ke arah barat sampai Patung Kesetiakawanan Sosial Nasional,” kata Ari Wijana selaku ketua panitia upacara hari itu.
Ada 8 ogoh-ogoh diarak di bawah 20 penjor yang telah dipasang di sepanjang jalan El Tari. Semua penjor terbuat dari bagian daun pohon kelapa maupun lontar. 20 penjor ini dipasang oleh perwakilan 17 rayon atau tempekan di Banjar Dharma Agung Kota Kupang. Para raksasa itu pun mereka ciptakan secara swadaya.
Kaum wanita yang melalukan tari-tarian saat itu. Mereka membawakan juga Tari Pendet. Tugas mereka selanjutnya adalah membawa gebogan atau sesajen di awal pawai ini. Para raksasa Bhuta Kala membuntuti mereka dari belakang.
Baca juga: Generasi Muda Helong Merawat Budaya Warisan Leluhur
Perarakan dimulai jam 4 sore yang kali ini dikuasai awan cerah. Ogoh-ogoh raksasa itu bergerak di antara lautan massa yang telah memenuhi jalan yang seringkali digunakan orang kota ini sebagai arena Car Free Day. Berbagai alat musik tradisional mengiringi. Anak-anak kecil membawa ogoh-ogoh mereka sendiri. Sementara ogoh-ogoh yang besar itu digotong para lelaki dewasa.
Mereka beratraksi dengan berputar dan mengayunkannya ke arah penonton. Aroma keringat, bau alkohol, tangisan anak, tepuk tangan, segala tawa, saling berdempetan, berebutan mengambil video dan foto.
Seluruh raksasa itu dimusnahkan, dibakar, di ujung rangkaian alur Tawur Agung Kesanga ini. Namun mereka tidak mati begitu saja. Manusia harus melawan raksasa-raksasa jahat di dalam diri masing-masing saat Nyepi.
Menurut Ari, melalui Catur Brata Penyepian ini umat manusia diajarkan untuk memerdekakan diri atau mahardika. Ada pantangan yang dilakukan saat Nyepi seperti Amati Geni atau tidak boleh menyalakan api atau listrik. Amati karya atau tidak boleh bekerja. Amati lelungan atau tidak bersenang-senang. Amati lelanguan atau tidak boleh jalan-jalan.
“Makanya di Bali seluruh umat menjalankan ibadah di rumah masing-masing saat Nyepi begitu juga di Kota Kupang,” terangnya.
Manusia harus merdeka dari semua belenggu jahat dalam diri mereka sendiri. Iblis raksasa yang menguasai diri manusia itu harusnya mati. Menurutnya, tidak ada satu pun yang bisa memberikan diri untuk sesama dan negaranya bila tak sejalan dengan nuraninya sendiri.
“Setelah kita merdeka untuk membuang hal-hal negatif maka secara fisik kita harus mengabaikan diri pada negara. Kita kaitkan kepada negara adalah bagaimana kita tegar membangun maupun juga tegar berdemokrasi,” ungkap Ari.
Nyepi kali ini memang diapit berbagai momentum. Ada masa awal puasa bulan Ramadan maupun masa Paskah. Secara nasional saat ini Indonesia dalam ancang-ancang kontestasi politik. Ia menerjemahkan demokrasi dimulai itu dari hati masing-masing pribadi. Untuk berbagi dunia yang damai dengan sesama manusia dan alam maka manusia terlebih dulu bijak dengan dirinya.
“Karena bagaimana pun pesta demokrasi sudah mulai dicanangkan. Umat Hindu di seluruh Indonesia juga ikut tegar berdemokrasi dengan kemerdekaan yang dimilikinya,” imbuh Ari.
Penyucian bumi dan segala isinya usai dilakukan hari itu. Kota Kupang dipayungi gelap dan para raksasa itu berpencar di tengah kemacetan. Umat Hindu dan para penonton pawai bubar dan bercampur dengan pengguna jalan lain. Lampu jalan yang berhiaskan penjor juga telah dinyalakan.
Tugas terakhir umat Hindu adalah menghadapi diri sendiri dalam gelap, sunyi dan tanpa kebisingan apapun. Kemerdekaan akan dirayakan dengan Ngembak Geni seiring mereka menang atas ego sendiri.
Ngembak Geni akan menandakan kemerdekaan mereka dengan bersilahturahmi dengan sesama dan bersembahyang di pura sebagai tanda syukur. (Putra Bali Mula)