Hari Hak Asasi Manusia (HAM) diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 10 Desember. Tahun ini peringatannya jatuh di hari Minggu, saat umat Kristiani memasuki Minggu Adven kedua menjelang Natal.
Deklarasi Universal HAM yang diperingati sebagai Hari HAM sedunia pada tahun ini genap berusia 75 tahun. Peristiwa bersejarah yang melahirkan Deklarasi Universal HAM dihasilkan dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris, Prancis pada 10 Desember 1948.
Baca juga: Mahasiswa Coba Bunuh Diri, Rektor Undana Soroti Dosen dan Layanan Psikolog
Dokumen Deklarasi Universal HAM Ini menegaskan tentang hak-hak yang dimiliki setiap orang sebagai manusia yang wajib dilindungi. Hak-hak ini dimiliki setiap orang tanpa memandang ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal kebangsaan atau sosial, harta benda, kelahiran, atau status lainnya.
Dekalarasi Universal HAM memuat 30 pasal yang mengatur tentang antara lain hak hidup yang tak dapat dicabut dengan alasan apapun. Kemudian hak merdeka dari perbudakan atau perdagangan manusia, hak dilindungi dari penyiksaan, hak diperlakukan sama di depan hukum, hak menyatakan pendapat atau buah pikirannya secara merdeka, hak berkumpul atau berserikat, hak mendapat pekerjaan, hak mendapat pendidikan, dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan .
Baca juga: Kisah Ina Pehe di Usia 75 Tahun Masih Berjualan di Pantai Tedis Kupang
Ada delapan Prinsip HAM seperti dikutip dari Hukumonline.com:
- Bersifat universal. Semua orang di seluruh dunia tidak peduli agamanya, warga negaranya, ahasanya, etnisnya, identitas politik dan antropologisnya, dan terlepas dari status disabilitasnya, memiliki hak yang sama sebagai manusia.
- Tak terbagi. Ini artinya semua HAM adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya.
- Saling bergantung. Terpenuhinya satu kategori hak tertentu akan selalu bergantung dengan terpenuhinya hak yang lain.
- Saling terkait. Ini artinya keseluruhan HAM merupakan bagian tidak terpisahkan dari yang lain. Seluruh kategori HAM adalah satu paket dan satu kesatuan.
- Kesetaraan. Ini prinsip HAM yang sangat fundamental. Setiap orang diperlakukan setara dalam situasi yang sama, begitu juga dalam situasi berbeda. Kesetaraan juga sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Contohnya kesetaraan gender, kesetaraan di depan hukum, keseteraan akses pendidikan dan kesehatan.
- Nondiskriminasi.atau tidak ada perlakuan berbeda.
- Martabat manusia. Pada dasarnya manusia harus dihormati, diperlakukan secara baik, dan dianggap bernilai.
- Tanggung jawab negara. Pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM merupakan tanggung jawab negara melalui aparat pemerintahannya. Di dalam pasal 8 Undang-undangHAM nomor 39 tahun 1999 tegas disebutkan: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
Lebih dari 500 bahasa telah menterjemahkan Deklarasi Universal HAM ini. Bahkan disebut sebagai dokumen yang paling banyak diterjemahkan di dunia!
Baca juga: Sejarah Gereja Katedral di Kupang yang Diresmikan Jokowi
Jauh Panggang dari Api
Hari HAM yang diperingati tahun 2023 bertemakan Kebebasan, Kesetaraan, dan Keadilan bagi semua. Tema ini membawa saya pada situasi reflektif tentang perlindungan dan penegakan HAM di negeri ini, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam konstitusi kita, UUD 1945, ada pernyataan yang tegas menyebut 7 hak asasi yang tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun (non-derogable rights):
- Hak untuk hidup.
- Hak untuk tidak disiksa.
- Hak merdeka untuk berpikir dan berpendapat.
- Hak untuk tidak diperbudak
- Hak untuk memeluk agama dan kepercayaan.
- Hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum.
- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Lalu Qua Vadis tema HAM tahun ini di Provinsi Nusa Tenggara Timur? Pertama-tama saya memang fokus pada provinsi tempat saya bekerja sebagai jurnalis dan mengelola media KatongNTT.com.
Baca juga: RSUP Ben Mboi Punya Peralatan Canggih, Pasien Tak Perlu Berobat Keluar NTT
Ungkapan “jauh panggang dari asap”, begitulah saya mencermati penerapan tema Hari HAM 2023 di provinsi kepulauan ini. Terutama dalam masalah kekerasan yang dialami perempuan, kekerasan seksual anak, perdagangan orang berkedok bekerja di luar negeri dan kembali pulang dalam peti mati.
Hampir tidak terdengar suara Pemerintah Daerah NTT dengan sungguh-sungguh menggugat atau mencari tahu tentang masalah HAM di atas. Mengapa warganya bekerja di luar negeri pulang dalam peti mati? Mengapa anak-anak mereka kerap menjadi korban kekerasan seksual yang pelakunya justru anggota keluarga terdekat? Bagaimana sampai demikian masif kebejatan ini? Mengapa sampai semakin banyak angka anak bunuh diri bahkan orang dewasa bunuh diri karena depresi menghadapi ekonomi yang sulit?
Saya mencermati belum ada kebijakan strategis yang dilakukan secara terpadu melibatkan semua stakeholders dari hulu (RT/dusun/desa /kecamatan) hingga di hilir (pemda/ pusat). Padahal NTT sedang menghadapi masalah degradasi nilai kemanusiaan yang mengerikan.
Baca juga: Belajar dari Elit Politik: Tidak Ada Musuh dan Kawan Abadi, Pendukung Santuy Aja
Tapi sikap orang-orang di legislatif dan yudikatif pun tak menunjukkan situasi ini sudah layak dikategorikan sebagai darurat kemanusiaan. Sehingga seharusnya butuh solusi cepat dan tepat.
Sebagai pembanding , pemerintah NTT dengan sigap mendorong pemberlakuan status kasus luar biasa dalam penanganan virus rabies di Kabupaten Tengah Selatan (TTS). Pemerintah pusat sigap meresponsnya. Ini bagus sekaligus ironi jika dihadapkan dengan situasi kemanusiaan. Di mana kesigapan itu dalam masalah hak hidup warganya telah dilenyapkan? Di mana kesigapan pemerintah ketika PMI NTT dijadikan budak atau dijerat jejaring perdagangan orang, atau ketika mereka disiksa?
Baca juga: Kasus Kematian Naik Drastis, 11 Daerah di NTT Terpapar Rabies
Mengapa belum ada intervensi segera agar anak-anak dicegah menjadi target predator seksual ? Sementara jumlah anak-anak menjadi korban kekerasan seksual terus bertambah? Mereka hidup dalam trauma panjang yang menguburkan keceriaan masa anak-anak dan menghancurkan impian masa depan mereka.
Kita cepat merespons angka-angka kejahatan yang bergerak naik, tapi kenapa begitu sulit membuat kebijakan terpadu dan strategis untuk segera dapat diimplementasikan. Ini semata-mata untuk menyelamatkan kemanusiaan yang sudah di titik nadir.
Perlu ada keberanian para perumus dan pelaksana kebijakan di NTT untuk mencabut “the bottleneck” yang membuat proses kerja sama atau kolaborasi sinergi sulit berjalan. Ini bukan lagi pekerjaan “business as usual”, sekadarnya, biasa-biasa saja, atau bahkan basa-basi. Kecuali hati nurani sudah tumpul, masing-masing cari selamat, cuci tangan Pilatus atau pelukan Judas Iskariot. *****