Kupang – Sekitar jam 3 sore asap kotor dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Alak sudah membumbung tinggi ke langit. Angin dari arah barat beberapa kali menggiring asap yang kian tebal itu menyelimuti rumah, halaman, kebun dan ternak milik warga sekitar.
Elisabeth Nayuftimo menyaksikan itu. Kepulan asap tebal muncul lagi untuk kesekian kalinya sejak terakhir terjadi 2022 lalu. Sama dan berulangkali, asap yang selalu meninggi di antara pepohonan yang menguning.
Baca juga : TPA Alak Milik Kota Terkotor di Indonesia Terbakar Lagi
Rumahnya tak sampai 1 kilometer dari gerbang masuk TPA Alak. Di sana Elisabeth tinggal sejak tahun 1996 bersama seorang pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Kupang yang ia nikahi. Hidup mereka berdampingan dengan aktivitas TPA Alak.
Asap yang meninggi di sore yang panas Jumat 13 Oktober itu membuat para anak muda dan pria dewasa berbondong-bondong memeriksa lokasi TPA Alak. Ia menyaksikan kegaduhan itu dari halaman rumahnya yang juga leluasa dihantam asap.
Elisabeth yang masih saja penasaran lantas memastikan sebesar apa kebakaran yang terjadi di sana. Ia bertanya kepada segerombolan pemuda sepulangnya mereka dari dalam kabut asap tebal itu. Rupanya sudah banyak titik api yang muncul hingga ke bagian dalam tumpukan sampah.
Baca juga : Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tak satupun dari mereka yang tahu pasti apa penyebab kebakaran ini. Mereka menerka-nerka dan akhirnya pasrah menelan asap yang sudah pasti datang berminggu-minggu lagi.
“Memang sudah siram, ada pemadam, mobil tangki sekitar 10 lebih tapi tidak bisa. Sudah sampai ke dalam, ke tengah-tengah, mobil pemadam tidak bisa sampai ke dalam karena luas ‘kan itu sampah,” cerita Elisabeth sehari setelah kejadian itu, Sabtu 14 Oktober 2023.
Bertahun-tahun terus seperti itu. Mereka terpaksa beradaptasi, hal yang sama terjadi lagi, lalu diamlah mereka dalam keadaan yang tak pernah diatasi Pemerintah Kota Kupang.
Baca juga : WALHI NTT Pastikan Gugat Pemkot Kupang Soal Sampah
Mereka tak begitu mengkhawatirkan kesehatan diri namun justru lebih takut bila api muncul di luar TPA Alak, menyulut rumah, halaman atau menyambar kabel listrik saat mereka semua tengah tertidur. Setiap malam mereka gelisah akan hal itu.
“Kita takut saja tiba-tiba ada api kena bakar kabel listrik kalau malam pas kita istirahat itu,” ungkapnya.
Ribuan liter air memang sudah disemburkan namun tak kunjung bisa memadamkan kebakaran TPA Alak. Tinggal angin yang bisa menyapu pergi asap busuk itu yang jadi harapan terakhir.
Baca juga : Penjabat Wali Kota Kupang Targetkan Masalah Sampah Teratasi 2 Bulan
“Tadi malam kami tidur aman karena angin ke arah laut jadi kami tidak kena tapi kalau angin dari arah barat kita pasti kena,” ungkap dia.
Berbeda dengan kebanyakan warga di sana yang adalah pemulung, Elisabeth sendiri adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus petani lahan kecil.
Ia sudah tidak mau pusing, tak ambil peduli, membiasakan diri seolah-olah udara sedang tak tercemar oleh ribuan ton sampah yang tengah terbakar ini.
Kebunnya ia bersihkan dengan sapu lidi yang makin pendek. Kabut asap sesekali menggenang di lahannya. Ia memakai topi hitam bundar nan lebar tapi tak menggunakan masker sama sekali. Warga sekitar TPA Alak juga seluruhnya beraktivitas di rumah dan jalanan tanpa menggunakan masker.
Baca juga : 10 Brand Penyumbang Sampah Plastik di Perairan Kupang
Meskipun demikian bila asap sampai berlama-lama menyelimuti maka tubuh mereka akan merasakan dampak buruknya. Elisabeth pernah susah bernapas serta matanya pedih untuk beberapa saat.
Tak ada yang bisa dilakukan warga sekitar TPA Alak terutama di Kelurahan Manulai II, khususnya RT 21 RW 08. Setiap tahunnya kejadian ini berulang.
Mereka diam dan menerima mengalami kondisi ini. Lagi pula truk-truk yang membawa sampah dari seluruh Kota Kupang setiap harinya tak kunjung henti. Seluruh sampah akan dibuang ke lahan seluas 4,3 hektare yang sudah berubah menjadi ladang asap.
Baca juga : NTT Dalam Masa Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan
“Kita biar mau jaga bagaimana pun pasti akan begitu juga karena di dalam itu (mungkin) ada pemantik api, meledak karena panas, jadinya terbakar,” lanjutnya.
Lamber Talan, seorang Babinsa setempat menyampaikan keinginan masyarakat ke Pemerintah Kota Kupang untuk segera memadamkan api yang sudah berhari-hari menyala ini. Selain itu kejadian yang sama diharapkannya tak perlu berulang lagi ke depan.
Menurut anggota TNI yang sudah bertugas 5 tahun di tempat ini, kebakaran serupa terus terjadi setiap tahun terutama di bulan Agustus atau saat suhu kota benar-benar panas.
Baca juga : Suhu NTT Terasa Lebih Panas Hingga November
Kebakaran paling besar di TPA Alak terjadi tahun 2022 yang mana apinya tak berangsur padam lebih dari 2 minggu.
Dalam catatan Yayasan Pikul tahun 2022 lalu disebut sistem open dumping di TPA Alak dapat menghasilkan gas metana (CH4).
Gas ini memiliki efek yang lebih besar dari gas karbondioksida dalam pengaruhnya terhadap perubahan iklim.
Gas metana merupakan salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab krisis iklim dan bila jumlahnya berlebihan maka bisa memberi efek samping ke manusia yaitu mual, sakit kepala dan detak jantung lebih cepat.
Baca juga: Waspada, Dunia Alami Rekor Terpanas 7 Tahun Terakhir
Sistem open dumping atau pembuangan terbuka ini pun sebenarnya sudah dilarang sejak tahun 2013 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008.
Bila timbunan sampah padat yang tidak didaur ulang maka dapat melepas juga emisi karbon yang cukup besar yakni sebesar 15 persen. Jumlah ini setara dengan 21,6 juta mobil yang dikendarai selama satu tahun. ****